Part 66

333 59 3
                                    

"Mio nggak istirahat? Nak tidur di atas sofa saja, biar saya gelar kasur lipat di lantai." Kata Bu Harto, Setelah memperhatikan Mio sedari tadi hanya diam memandangi neneknya yang tidur dan jam dinding secara bergantian. 

Mio menggeleng, "Saya baru mau tidur kalau mas Altair sudah datang kesini lagi. "

Alis Bu Harto bertaut, "Pak Altair kayaknya setelah telepon tadi tidak bakal balik ke ruang sini lagi, nak. Mungkin beliau ada kerjaan mendadak. Atau tidur lorong rumah sakit seperti kemarin."

"Tidur di lorong?!" Tanpa sadar suara Mio naik satu oktaf lebih tinggi, terkejut "Kenapa mas Altair tidur di lorong?!" Ulang Mio kelu.

"Dari sejak beliau cuti kerja ya begitu itu. Ikut tidur di rumah sakit dengan saya. Tapi beliau mungkin nggak enak tidur satu ruangan dengan saya makanya milih tidur di lorong." Ucap Bu Harto dengan nada Melayunya yang khas dan naik turun serupa Opera sebelum beliau menambahkan bertanya heran, "Ini sudah jam sembilan malam, nak Mio istirahat saja. Tapi ngomong-ngomong nak Mio kesini, rumah sakit, apa nggak bawa tas apa-apa?"

Mio menggigit bibir. Rasanya ia bahkan tak sanggup untuk menjawab pertanyaan Bu Harto. Yang Mio tau, dengan sendirinya ia mengikuti insting. Berjalan cepat keluar ruangan.  Mengabaikan suara bingung Bu Harto dalam latar belakang.

Rumah sakit Cemara kecil berbeda jauh dari rumah sakit tempat Harvey bekerja. Rumah sakit ini lebih kecil, tidak mewah, serupa puskesmas di Jawa. Terdiri dari lorong-lorong seperti labirin. Beberapa tempat juga masih berdinding batu sisa peninggalan zaman dahulu dan hanya diterangi lampu kuning temaram. 

Tidak sulit bagi Mio untuk menemukan Altair. Karena hanya ada beberapa jejeran kursi panjang di rumah sakit yang tadi sempat Mio lihat sekilas dalam perjalanannya menuju kamar nenek. 

Seperti kata Bu Harto, Altair terduduk sendirian di atas kursi panjang. Matanya terpejam. Tangannya terlipat di depan dada, Di belakangnya, tertata sederhana taman rumah sakit dengan pohon Cemara besar di tengahnya.

Perlahan, Mio duduk di samping Altair. Menatap Altair yang tertidur dalam diam. Memperhatikan bulu mata beliau yang panjang, alisnya yang tebal, bibir tipisnya di bingkai garis dewasa yang tidak bisa di sembunyikan. 

Mio pernah dengar, bahwa semua cerita selalu terdengar berbeda tergantung dari siapa kita mendengar cerita itu. Tapi segala cerita yang Mio dengar dari neneknya, Bu Harto, semua pengurus rumah Altair, dari semua orang;  hampir selalu sama. Altair tidak pernah di ceritakan dalam bentuk jelek.  Ia selalu jadi favorit semua orang. Dan, dari semua cerita itu selalu berakhir dengan kesimpulan yang sama; betapa beruntungnya Mio menjadi pilihan terakhir Altair.

"Apa ada yang aneh dari cara saya tidur?"

Mio tersentak, kaget karena mendadak Altair membuka matanya dan menoleh menatap langsung mata Mio. 

"Maaf." Seru Mio buru-buru mengalihkan pandangan. 

"Kenapa setiap kamu bicara dengan saya, kamu selalu minta maaf."

"Karena saya memang salah."

Altair tersenyum kecil, "Kamu nggak pernah salah. Terutama dengan saya."

Mio meringis, hatinya yang tadinya seperti teriris seketika remuk, dalam rasa yang tidak bisa dijelaskan, "Kenapa mas Altair nggak pulang aja atau tidur di penginapan?"

"Kamu sendiri lebih milih untuk tidur disini." Jawab Altair kalem disaat yang sama tangannya mengambil tas dari sampingnya, "Kamu belum ganti baju sejak perjalananmu dari Jawa kan? Ini tas isi baju saya. Boleh kamu pakai sampai orang kiriman saya datang kesini bawa baju kamu dari Serasan, - saya juga sudah telepon bibimu untuk siapkan tas isi baju ganti mu disana."

Mulut Mio terbuka, bibirnya semakin kelu, Kini di tambah dirinya diterpa rasa malu yang amat sangat sampai suara selanjutnya yang keluar dari bibirnya terdengar seperti tersendat, "Maaf, saya selalu aja ngerepotin mas Altair."

"Kenapa kamu malah minta maaf lagi." Altair tertawa geli, "Saya yang seharusnya minta maaf, karena keluarga saya kamu sampai kabur pulang tanpa bawa koper."

"Bukan salah keluarga mas Altair." Seru Mio, terkejut. 

"Ini bentuk tanggung jawab saya." Potong Altair, mengabaikan suara protes Mio, " Memang kadang-kadang ibunya saya bisa agak terlalu keterlaluan."

"Nggak kok." Balas Mio putus asa, "Ibunya mas Altair baik."

"Oh ya?" Satu alis Altair naik, wajahnya seperti menahan tawa,  Membuat Mio merasa seperti menghadapi anak laki-laki berusia enam tahun yang dulu sering ngeledek dirinya sambil tertawa, "Setelah semua yang di lakukan ibu saya ke kamu? Apa kamu kira saya nggak dengar cerita apa-apa soal cara ibu saya memperlakukan kamu selama disana?"

"Tapi memang ibunya mas Altair hebat."

"Karena beliau direktur rumah sakit?"

"Bukan." Mio menggeleng, Seketika Altair berhenti tersenyum namun tatapan tetap tertuju penuh pada Mio saat Mio melanjutkan berkata, "Tapi mas Altair ada di dunia karena beliau ada..."

Catatan Mio Where stories live. Discover now