Part 67

321 61 2
                                    

Harvey

Harvey menelan ludah. Matanya terbelalak. Pemandangan di balik jendela terlihat jelas, Di sampingnya baling-baling pesawat yang ia naiki mengeluarkan asap. Ini bukan adegan film laga atau syuting dalam balutan green screen. Tapi kenyataannya. Sungguhan.

Harvey tidak menyangka bahwa, bisa jadi inilah caranya ia menghadap ke tuhan. Mati berkeping-keping jatuh bersama pesawat menabrak laut dan menjadi makanan ikan. Bagi Harvey, kematian dengan cara apapun tidak pernah menyenangkan, tapi nggak begini juga. Harvey tidak rela kalau nasibnya berakhir begini.

"Oohhh." Mendadak penumpang di samping Altair bergumam tidak jelas. Ikut menolehkan kepala ke arah jendela. Jelas menatap hal yang sama tapi dengan raut berbeda.

Tidak ada kengerian di wajah beliau. Hanya kumisnya saja yang bergerak-gerak bersamaan dengan rentetan bahasa Melayu yang Harvey tidak pahami.

"Maaf, bisa saya permisi sebentar? saya mau lewat." Ucap Harvey, berusaha sesopan mungkin di detik-detik terakhir hidupnya.

"Mau kemana pak?"

"Saya harus bilang soal ini ke pramugari." Ucap Harvey sambil menunjuk jendela. Sambil dalam hati mengumpat, apa pemandangan di balik jendela ini kurang jelas untuk si bapak

"Loh buat apa?"

Altair terdiam. Mulutnya ternganga sampai rahangnya seperti hendak jatuh menggelinding duluan dan sebelum ia sempat menjawab apalagi mengumpat sungguhan, bapak penumpang di sebelahnya malah tertawa, "Nak bukan asli pulau Cemara kecil ya?"

"Maaf bicara nya nanti saja, saya harus ke pramugari dulu. " Potong Harvey.

Bapak tersebut mengangguk-angguk, dan tau-tau beliau menoleh kebelakang, langsung berteriak begitu saja seperti kernet dalam bus Kopaja. Memanggil pramugari.

Pramugari bergegas datang, berbincang sebentar sebelum ia pergi ke ruang pilot dan semua itu berlangsung tidak lebih dari lima menit. Tidak ada kepanikan atau orang-orangi di sekitar mereka mendadak menangis.

Seluruh penumpang pesawat yang jumlahnya hanya beberapa hanya terdiam termenung. Seperti orang pasrah tapi lebih tepatnya seperti tidak peduli. Membuat Harvey di landa keheranan yang amat sangat, antara dirinya yang lebay atau seluruh penumpang di pesawat ini memang sudah tekan kontrak berani mati dari awal menginjakkan kaki di pesawat mereka sekarang,- pesawat baling-baling tua berukuran kecil yang tampaknya di beli di zaman orde baru itu juga dalam kondisi bekas dengan perawatan seadanya.

Bapak di samping Harvey mendadak tertawa kembali, tawa yang memancing Harvey untuk merasa sewot.

"Ah iya. Berarti benar, nak ini pasti bukan warga Cemara kecil apalagi Serasan."

"Bapak sendiri warga asli sana?"

"Iya. Iyaa. Baling-baling pesawat ini mah sudah biasa berasap. Paling juga mati mesin satu. Tapi yang penting kan mesin nya ada dua. Jadi mati satu tidak masalah! Haha."

Harvey ikut tertawa, tapi sumbang minta ampun dan terpaksa, "jadi ini normal...."

Bapak tersebut mengangguk, "Ini masih belum ada apa-apa nya, kalau bapak nanti naik kapal dari Cemara Kecil ke pulau Serasan, lebih seru. Lebih menegangkan pak. Kapalnya sudah tua, karatan, jelek Tapi tenang saja. Kalau sudah waktunya ya di terima saja. Toh semua orang bakal mati. Ngomong-ngomong saya bawa buku doa. Mau baca?"

Catatan Mio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang