Part 71

273 44 4
                                    

Seperti kali pertama, Harvey melihat Mio. Seakan mengulang kenangan yang sama. Seseorang dengan poni rata, berambut lurus panjang, berwajah oriental, kulit porselen, bibir penuh kemerahan dan wajah serupa boneka, boneka kiku, boneka jepang menatapnya dengan mata membulat berkelopak tegas.

Harvey terpaku, di saat yang sama Mio seperti ikan yang terkena kejutan listrik tegangan tinggi. Ia langsung berdiri tegak dari kursi disamping tempat tidur pasien. Mematung takut.  Tatapannya terang-terangan jatuh ke belakang Harvey dan Altair, seakan menunggu monster akan mendadak muncul dari balik pintu. 

"Mio." Ucap Altair tenang mendahului Harvey mendekat, menepuk pundak Mio lembut, "Ibu saya nggak ikut kesini."

Bibir Mio terbuka, nafasnya masih memburu. Untungnya semburat darah mulai mengalir di pipinya yang tadi pucat. Detik berikutnya tatapan mata Mio jatuh pada Harvey.  Tatapan mata yang tidak terlukiskan. Tidak terbaca, "Mas Harvey."

"Mio." Harvey berusaha tersenyum.  Mengabaikan suara pelan ragu Mio saat menyebut namanya, "Kamu ninggalin semua barang punya mu di apartemen saya.  Jadi gimana saya bisa ngelupain kamu?"

Kalimat Harvey sukses membuat mata Mio membulat lebih lebar. Disampingnya alis Altair terangkat, sementara satu perempuan tua yang Harvey tidak kenal yang berdiri di samping jendela kamar pasien tampak seperti mau lompat dari jendela saking salah tingkahnya. 

"Maaf." Jawab Mio setelah keheningan yang terasa lama walau sebetulnya hanya sekian detik. 

Harvey berusaha cuek, walau sadar keberadaan nya saat ini dan suasana yang ia munculkan ketika dirinya datang lebih parah dari yang ia sebelumnya bayangkan. 

Sayangnya lagi, entah karena ini rumah sakit kelas teri dan berada di daerah ujung negara. Yang jelas kedisiplinan nya butuh di tinjau ulang karena di saat yang sama, pintu kamar mandi ruang pasien terbuka.   Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun berparas menyebalkan keluar dalam posisi merokok. 

Bibir tebalnya mengeluarkan asap tebal putih, menjijikan. Bau aroma rokok buatan sendiri yang di linting dengan takaran seenaknya menyeruak. Mata beliau langsung jatuh pada Harvey dengan tampang congkak.  Tidak perluh di jelaskan siapa dia oleh siapapun, Harvey langsung paham identitasnya. 

Harvey tersenyum sinis, "Ini pasti pamanmu, Mio."

Mio mengangguk samar, jemarinya gemetaran meremas ujung baju lengan panjang usangnya. 

Harvey berjalan mendekat.  Suara langkah kakinya menggema dalam ruangan.  Sebelum nenyodorkan tangannya untuk berjabat tangan dengan tampang sama congkaknya dengan Paman Mio. 

"Kamu siapa ?" Tanya paman Mio, beliau mendongak menatap Harvey. 

Harvey hanya tersenyum semanis madu walau mulutnya pahit sementara tangannya menggenggam jemari paman Mio se erat mungkin. 

Paman Mio berjengit kaget, buru-buru hendak melepas tangannya, mulutnya berseru serentetan bahasa Melayu yang Harvey tidak paham. Dari belakang Harvey, Harvey juga bisa mendengar suara pekikan kaget ibu-ibu tua di samping jendela. 

"Maaf sakit ya? Saya sepertinya terlalu sering olahraga.  Saya juga nggak ngerokok.  Mungkin karena itu tenaga saya kadang agak susah di kontrol."

Wajah paman Mio memerah, giginya menggertak, "KURANG AJAR! Kamu niat nya apa? Mau ngapain kau! Memang kau sebetulnya siapa?!"

"Saya adiknya Altair. Wajah kami mirip kan? Oh ya. Profesi saya dokter dan saya nggak mengajurkan bapak merokok dalam ruang pasien kalau bapak nggak mau gantian di rawat disini."

"Sudah Vey." Ujar Altair. Ia berjalan.  Berdiri di antara Harvey dan paman Mio. Merusak suasana. Padahal Harvey berharap melihat seberapa marah paman Mio yang bisa di buat Harvey. 

"Mio, bisa ajak Harvey jalan-jalan sekitar sini sebentar?  Tadi dia sepertinya suka lihat pantai." Lanjut Altair, dengan kalem meletakan kunci mobil di kantung jaket Harvey kemudian menepuk bagian jantung Harvey dua kali sambil berkata pelan, "Tolong pergi sekarang, Vey."

Catatan Mio Where stories live. Discover now