Part 43

589 83 2
                                    

Harvey menarik nafasnya panjang-panjang. Berusaha memusatkan pikirannya pada pasien kecil di depannya. Anak kecil berusia empat tahun yang belum bisa bicara dengan gejala autism yang membutuhkan terapi untuk speech delay.

Hampir kebanyakan pasien Harvey selalu datang dengan penyakit-penyakit tertentu yang sebetulnya bisa di cegah dengan menjadi orangtua yang koperatif dan bertanggung jawab.

Hal-hal sepele yang sebenarnya bisa di usahakan. Membatasi screen time untuk anak usia dini. Meluangkan waktu untuk mengobrol dan berbicara dengan anak-anaknya. Mendengarkan dan tanggap pada kebutuhan anaknya. Semudah itu.

Semudah dengan tidak merokok pula di dekat anak.

Tapi anehnya itu susah bagi sebagian besar orangtua di Indonesia. Parenting yang gagal, perasaan acuh, belum siap menjadi orangtua dan masalah inner child yang belum selesai. Maka wajar saja sekarang juga bertebaran anak SD dengan gejala depresi.

Dulu Harvey tidak pernah membayangkan untuk menjadi seorang dokter anak yang setiap hari berjibaku dengan tangisan bayi dan keajaiban jiwa yang baru lahir. Dalam bayangannya ia akan menjadi dokter jantung seperti ayahnya yang tiap hari berjibaku dengan orang-orang tua yang bisa setiap saat di panggil tuhan mendadak. Suprise.

Tapi kelahiran berbeda dengan kematian. Kita tidak tau kapan mati. Tapi manusia bisa memilih untuk kapan mengandung. Bisa memprediksi kelahiran dan mempersiapkannya.

Kalau ada yang bilang, ini kehamilan yang tidak di rencana. Maka itu bullshit. Dengan tidak memakai kondom dan berhubungan badan, sebenarnya mereka berharap apa selain menghasilkan bayi? Toh tidak mungkin yang akan keluar TV tabung 21 inch.

Ternyata, dunia anak-anak menarik perhatian Harvey lebih dari yang Harvey kira. Harvey tau ia telah kehilangan masa anak-anaknya. Menjadi dewasa sebelum waktunya. Selalu berharap ia kembali menjadi anak kecil.

Bebas seutuhnya.

Kembali dalam kondisi lebih bahagia.

Sayangnya waktu, sekalipun hanya sedetik tidak akan pernah bisa kembali dan Harvey belajar satu-satunya cara ia bisa kembali. Seakan kembali adalah dengan melihat anak kecil. Membayangkan dirinya adalah anak kecil itu. Memperlakukan pasienya seperti Harvey ingin di perlakukan ketika kecil.

"Jangan denial dengan keadaan anak. Banyak-banyak di ajak bicara. Eksplor tempat baru. Luangkan waktu untuk anak. Batasi screen time." Ucap Harvey sambil menulis resep dokter dan penjadwalan terapi.

"Tapi dok, saya hanya ibu rumah tangga. Sementara suami saya kerja nggak pernah ada waktu di rumah. Kalau saya nggak ngasih anak saya Hp. Dia ngamuk. Saya jadi nggak bisa ngelakuin apa-apa. Pekerjaan rumah saya numpuk berantakan." Balas ibu pasien dengan mata berkaca-kaca.

Harvey menghela nafas. Masalah klasik ibu rumah tangga di seluruh Indonesia. Bukan sepenuhnya salah ibunya, pekerjaan ibu rumah tangga itu berat. Peran ayah tidak ada juga bertanggung jawab dalam kondisi anak pula.

Harvey sebetulnya ingin bicara banyak hal. Dari hati ke hati. Tapi pasiennya menumpuk banyak hari ini. Harvey berkejaran dengan waktu.

Kondisi RS Indonesia yang juga nggak kalah banci. Pasien membeludak mengantri banyak dengan jumlah dokter yang tidak seberapa. Karena itu Harvey hanya bisa berkata, "Siapa yang seharusnya saat ini pegang kendali dalam rumah? Ibu atau anak? Ibu yang harus memegang kendali dengan benar. Dengan bijak. Dengan cara yang baik. Hanya untuk lima tahun lagi. Demi kemajuan terapi adik. Setelah itu baru perlakukan anak sebagai teman. Teman bicara yang bisa di andalkan."

Ibu pasien mengangguk lemas. Di bantu oleh perawat sementara perawat lainnya memanggil pasien selanjutnya.

Lucunya ia pasien kecil dengan wajah oriental yang mengingatkan Harvey pada Mio yang ia tinggal di unit apartemennya pagi buta tadi.

Harvey tanpa sadar tersenyum. Mengabaikan handphonenya yang berdering tanpa henti oleh entah Altair, ibunya atau entah siapa.

Catatan Mio Where stories live. Discover now