Part 44

609 87 2
                                    

Ini kali kedua Harvey menginjakkan kaki di ruang direktur. Tempat yang paling tidak nyaman di rumah sakit ini.

Ruangan ibunya selalu sedingin kamar mayat tapi dengan suasana yang jauh lebih tidak enak.

"Mio kamu bawa kemana?" Tanya ibu Harvey tanpa basa-basi bahkan sebelum Harvey sempat duduk di kursi tamu ibunya yang mewah dan nyaman.

Harvey tersenyum, "Sekarang Mio ada di unit apartemen Setiabudi Garden."

Mata ibu Harvey menyipit marah, "Kamu biarin Mio tinggal di rumah pribadimu?!"

"Iya." Harvey dengan santai menjawab, "Toh unit itu nggak pernah di pakai nyaris setahun."

"Ingat Harvey. Kamu nggak boleh tinggal di rumah selain rumah mama. Karena mama nggak mungkin tinggal di rumah mama itu sendirian."

"Ada delapan asisten rumah di rumah mama. Apa masih kurang? Kenapa mama masih merasa sendirian?"

"Pokoknya kamu nggak boleh pindah rumah. Apalagi sekarang. Dengan Mio ada di situ. Atau mama bakal laporin Mio ke polisi." Ancam ibu Harvey dengan jari mulai gemetaran marah.

Harvey tertawa terbahak-bahak, "Yakin mama mau ngelapor polisi? Yakin mama mau Harvey melepas jabatan dokter, masuk penjara, mencoreng nama keluarga?"

"HARVEY! SUDAH GILA KAMU!!!"

"Harvey di panggil kesini untuk di ajak bertengkar? Kalau begitu lebih baik Harvey sekarang visit bangsal."

Ibunya meletakkan tangannya di dada. Dadanya bergerak naik turun tak beraturan. Wajah beliau semakin stress, "Harvey. Bukan berarti mama ngelarang Altair dengan Mio itu artinya kamu boleh dengan Mio. Anak mama itu nggak boleh ada yang menikah dengan Mio."

"Anak mama tumbuh dalam lingkungan terpelajar. Kalian semua sukses. Pintar. Perpendidikan. Kalian bisa dapatkan semua perempuan yang kalian mau. Tapi jangan Mio. Tolong."

"Mama tau. Mama keterlaluan. Tapi jangan munafik. Mama memegang banyak warisan dari papa kalian. Dari nenek kakek kalian. Warisan itu nggak sedikit. Harus di kelola sebaik-baiknya. Tanah, uang, deposito, harta bergerak. Sebanyak itu."

"Anak-anak mama harus menikah dengan orang yang benar. Yang mama yakin bisa mengatur dan menjaga harta kalian. Seorang ibu dimanapun selalu ingin yang terbaik untuk anaknya."

"Yang bisa didik anak sebaik-baiknya. Yang tau dunia. Apalagi kamu kan dokter anak Harvey. Kamu juga paham konsep genetika. Kepintaran ibunya juga mempengaruhi anak.  Jangan sampai kamu salah milih istri karena kasihan anakmu nanti."

"Oke." Harvey mengangkat tangannya dengan sopan memotong kalimat ibunya, "Mama tau dari mana kalau Mio nggak bakal jadi ibu yang baik? Atau apa dia tolol, atau apa dia akan menghabiskan seluruh harta keluarga kita?"

"Ya insting mama."

"Lalu perempuan yang baik untukku dan Altair menurut standart mama yang seperti apa?"

"Seenggaknya jodoh itu adalah cerminan diri, Harvey."

"Cerminan diri?" Harvey tergelak geli sendiri, "Menurut mama cerminan diri ku seperti apa? Sesama dokter? Perawat? Struktural rumah sakit?"

"Seenggaknya yang.... Sederajat."

"Oke. Kalau cari yang sederajat dengan Altair mungkin susah. Setinggi itu yang mama inginkan dari seorang menantu."

"Tolong dengarkan mama. Mama sungguh-sungguh bilang; Kalau kamu menikah dengan orang yang sama dengan kamu. Kamu nggak akan begitu susah menyesuaikan diri."

Harvey tergelak semakin kencang, "Mama sadar nggak? Justru kata-kata mama membuat Harvey makin paham kenapa Harvey dan Altair tertarik dengan Mio."

Ibu Harvey seketika terperanjat, "maksud kamu?"

"Mama sebenarnya tau. Mama juga dokter." Jawab Harvey kalem.

Harvey tersenyum puas. Dalam hati terdalam Harvey tau, Altair dan dirinya memang punya penyakit hati yang sama.

Masa kecil yang hilang.

Sosok orangtua yang ada namun sebenarnya tiada.

Sejalan dengan Mio.

Tiga orang dengan masa kecil yang menyakitkan. Di kumpulkan dalam tempat yang sama dalam waktu dan kondisi yang salah.

Catatan Mio Where stories live. Discover now