Part 53

409 68 4
                                    

Altair menarik nafas. Duduk di kursi kayu reot di samping sekarung bawang putih berbau tengik yang sebentar lagi akan busuk. Baunya luar biasa. Belum termasuk bau terasi yang menguar entah darimana. Disebuah bangunan penginapan yang lebih cocok di sebut rumah hantu dengan lorong panjang remang-remang yang mengingatkannya pada bangunan zaman Belanda yang angker.

Bau itu membuat pusing. Mengacaukan niat dan pikiran Altair. Ia semakin tidak paham alasan kenapa kakinya dengan sadar mengayuh sepeda ke tempat ini jam delapan malam sepulang langsung dari kantor. Bahkan sebelum ia mengganti seragam kantornya.

Yang ia tau selama dua Minggu, pikirannya selalu berkecamuk. Rasa penasaran, kasihan dan entah apa campur aduk. Altair mengutuki diri sendiri, ia hafal kebiasaan jeleknya ini. Ia selalu lemah dengan rasa kasihan. Padahal seluruh anggota keluarganya sudah bolak balik menasehati, entah jangan terlalu dermawan, atau apalah.

Mereka selalu ngomel setiap Altair dengan mudahnya menyumbangkan hampir separuh gajinya untuk pembangunan panti asuhan, menyumbang dalam jumlah besar ke aplikasi peduli sesama, atau memborong koran di lampu merah untuk di bagi-bagikan kembali ke orang lain atau sekedar di tumpuk menggunung di rumah untuk kembali di loakan oleh pengurus rumahnya. Yang terparah bahkan juga menerima pernyataan cinta pasangannya sekarang, hanya dengan modal rasa kasihan.

Cukup lama Altair termenung-menung sampai akhirnya muncul seorang wanita sudah sangat tua dari balik pintu yang sedari tadi memang terbuka. Wajahnya sangat keriput, ringkih, rambutnya putih total dan jalannya sedikit bungkuk.

"Mohon maaf, nak menunggu lama ya." Ucap nenek itu seraya tersenyum lembut, "silahkan, silahkan masuk. Tidur di dipan ini saja tidak apa-apa ya? Maaf kalau terlalu sederhana."

Altair menelan ludah. Berdiri seperti robot dan berbalik menuju ke pintu yang terbuka. Bau berbeda menguar. Bau ramuan rempah, lembab, ruangnya panas khas pulau Serasan tapi di kali empat lipat. Serasa di rebus mendidih dalam panci sayur. Disana ada dipan sederhana dengan kasur tidak kalah sederhana dan penerangan seadanya.

Bukan dipan itu yang jadi masalah tapi nenek Mio. Beliau sudah terlalu tua. Rasanya salah meminta di pijat oleh nenek Mio. Seharusnya Altair yang memijat beliau bukan kebalikannya.

Altair menghela nafas. Terpaksa duduk di atas dipan. Menelan seluruh rasa malu, tidak tega dan harga dirinya saat Nenek Mio memintanya melepas kemeja bagian atas dan mulai membaluri Altair dengan minyak berbau tidak enak yang katanya buatan beliau.

Altair mencoba memejamkan mata. Tapi benar-benar tidak ada sensasi menyegarkan. Yang ada tubuhnya seperti di cakar anak kucing. Memunculkan rasa bersalah semakin besar. Bukan salahnya ia jarang punya lemak dan kebanyakan otot karena ia biasa kerja lapangan. Tapi rasa tidak tega tetap membuatnya muak.

Maka Altair menunggu selama sepuluh menit demi kesopanan sebelum Altair meminta nenek Mio berhenti.

Altair duduk kembali di dipan. Mengangkat tangannya. Berakting seakan tubuhnya terasa sangat enak sekali sebelum tersenyum pada nenek.

"Apa betul badannya sudah benar-benar enak?" Tanya nenek Mio ramah.

"Sudah, sudah nek. Sudah cukup." Jawab Altair selembut mungkin, "Badan saya rasanya sudah enakkan."

"Nak sopan sekali, padahal tenaga saya memang sedang tidak banyak." Nenek Altair mengangguk tanpa beban, mengutarakan isi hati Altair tanpa ampun, dengan senyuman.

"Beneran kok nek, badan saya sudah lebih enakan."

Nenek mengangguk dan melanjutkan berkata santai, "Sebentar-sebentar saya panggilkan cucu saya dulu untuk gantikan saya."

"Mio?" Mata Altair membulat. Tanpa sadar menyebut nama Mio di depan neneknya.

Nenek Mio mengangkat alis, tersenyum penuh makna, "Ya dia. Nak sudah tau kan."

Altair mengalihkan pandangan terdiam agak lama sebelum mengangguk. Ada perasaan aneh yang membuatnya yakin bahwa Nenek Mio entah bagaimana bisa menguliti isi hati Altair hidup-hidup.

"Sebentar, saya panggil dia sebentar."

"Tidak perluh nek." Jawab Altair dengan cepat dan langsung menyodorkan beberapa lembar uang.

Senyum di bibir nenek Altair sedikit pudar namun sorot mata beliau mengingatkan Altair pada almarhum neneknya. Altair hanya pernah bertemu dengan neneknya sendiri selama beberapa tahun sebelum beliau meninggal. Itu sorot mata yang sama dengan rasa nyaman yang di tinggalkan sama.

"Kenapa banyak sekali?" Tanya beliau tanpa mengambil uang yang di sodorkan oleh Altair.

"Nenek sekarang sedang tidak enak badan kan?"

"Wah." Nenek Mio tertawa, "Belum pernah ada yang memperhatikan keadaan Nenek sebaik kamu."

Altair dengan cepat memotong, "Uang ini siapa tau lebih bermanfaat untuk nenek daripada saya."

"Nenek tidak suka menerima pemberian cuma-cuma." Nenek tertawa pelan, hangat, "Nenek juga tidak bisa menerima pemberian nak sekarang."

"Lalu saya bayar nenek dengan cara apa?"

"Sering-sering datang saja. Ajak nenek bicara." Ucap Nenek lembut, "Karena umur nenek mungkin sudah tidak akan lama lagi."

Catatan Mio Where stories live. Discover now