Part 70

314 51 2
                                    

"ini bukan masalah seberapa banyak uang Panai yang bisa kita kasih. Bukan masalah siapa yang bisa menghadapi mama. Ini soal siapa yang paling pantas untuk Mio."

Harvey sontak terkekeh, "apa kamu ngerasa lebih pantes?"

Altair balas mengulum senyum, dengan santai ia membelokkan mobilnya menyusuri jalan raya yang jelas sangat ia hafal, "Yang menentukan siapa yang paling pantas itu Mio kan?"

"Mio." Ulang Harvey, menyebut nama yang membuat jantungnya secara otomatis berdetak lebih cepat di sertai bayangan seorang perempuan bermata hazel tersenyum lucu dalam hatinya, "gimana keadaan nenek Mio?"

"Nggak bagus, dokter sampai heran beliau bisa bertahan sampai sejauh ini tanpa pengobatan memadai."

"Apa nggak bisa di usahakan? Aku mungkin bisa bantu untuk pemindahan beliau ke rumah sakit di Sumatra yang lebih memadai."

"Nggak." Ada jeda sesaat sebelum Altair melanjutkan berkata, "Tujuan beliau bertahan sekarang bukan untuk sembuh, tapi untuk nemenin cucunya sampai ia yakin ada yang bisa jaga cucunya setelah ia meninggal nanti."

Harvey menggertak kan gigi, "Kondisi vitalnya?"

"Beliau baru keluar dari ICU sekitar seminggu lalu. Tapi nggak begitu lebih baik."

Harvey menarik nafas, pandangannya jatuh ke luar jendela mobil, ke deretan batu-batu karang sangat besar yang berjejer di pantai samping jalan raya di kelilingi  butiran  pasir putih dan deburan ombak biru. Pemandangan spektakuler yang seumur hidup belum pernah Harvey lihat. Sayangnya Harvey melihat ini semua dengan keadaan hati bergemuruh.

"Waktu beliau nggak akan lama vey."

"Makanya kamu mau nikah diam-diam tanpa ngabari keluarga ?"

Bibir Altair tertarik sedikit kesamping seperti sedang tersenyum walaupun Harvey yakin perasaan Altair juga sama sepertinya, "Nggak ada pilihan lain."

"Nikah nggak sekedar nikah Al, gimana dengan dokumen-dokumennya? Semua surat-surat mu semua masih terdaftar di Jawa."

"Mau bantu urus?"

"Nggak." Gerutu Harvey. 

"Untuk dokumen negara bisa di urus nanti. Kami bisa nikah secara adat dulu. Untuk masalah mama, kalau sudah terlanjur terjadi dia pasti bisa terima."

Harvey mengacak rambutnya gemas.  Perasaannya semakin campur aduk.  Seakan ia sekarang terjebak dalam pasir hisap tanpa bisa menjerit minta tolong, "Gimana dengan Mio?! Apa dia setuju? Apa dia benar-benar mau menikah? Bukan karena terpaksa menikah?"

"Gimana kalau urus urusanmu sendiri dulu? Gimana dengan mama yang tau anak bungsunya ngajuin cuti setengah ngancam tetap bakal pergi sekalipun nggak dapat ijin? Sampai nekat keluar dari rumah tinggal di apartemen lalu pergi ke pulau Serasan dengan niat untuk bawa pulang lagi calon istri kakak nya ke pulau Jawa?"

Harvey mendecakkan bibir, "Tapi nggak separah tiba-tiba mau nikahin cewek antah berantah dari pulau terpencil diam-diam. Tanpa tau suku aslinya ternyata dari mana."

"Seenggaknya setelah menikah, Mio aman disini, bukannya jadi oleh-oleh kembali ke Jawa. Di paksa tinggal dengan mama di rumah dan di perlakukan kayak pembantu."

"Waah. Kita lagi adu mekanik nih? Siapa yang paling bisa menyiksa Mio gitu?"

Altair berdeham, "Memang sejak kapan kamu suka Mio? Sejak aku minta kamu ngerawat dia? Bukannya dokter nggak boleh naksir pasiennya?"

"Boleh.  Asal bukan dokter hewan." Jawab Harvey kecut. 

Altair tertawa, tawa yang menular membuat Harvey mau tidak mau ikut tertawa.  Karena ini memang yang seharusnya terjadi seandainya Mio tidak pernah ada.  Selama ini Harvey belum pernah bertengkar dengan kakaknya dan di setiap pertemuan yang jarang sekali terjadi, biasanya hanya diisi dengan bercanda tanpa pembicaraan penting.

Sayang tawa tetap harus terhenti dan seperti kata Mio sebelumnya, seorang tidak akan pernah menertawakan lelucon yang sama berkali-kali, "Vey, sebentar lagi kita bakal sampai di runah sakit.  Disana ada Mio.  Aku nggak akan ngelarang kamu untuk ajak bicara Mio atau apapun dan apapun yang terjadi nanti itu pilihan Mio.  Aku cuma minta kita harus mulai sama-sama untuk bicara baik-baik dengan Mama.  Aku juga nggak mau mama sampai kenapa-kenapa. Kita coba untuk jelaskan; Kenapa kita bisa-bisanya jatuh cinta ke satu perempuan yang sama."

Catatan Mio Where stories live. Discover now