Part 69

293 58 5
                                    

Harvey menincingkan mata, tatapannya jatuh pada metromini usang full musik di depannya.  Metromini itu tak ubahnya sekaleng virus tetanus. Harvey bahkan juga bisa melihat bagian bawah pijakan kaki penumpang yang sudah ringsek, jadi setiap penumpang sudah pasti bisa melihat aspal jalan dari sela-sela lubang, atau bisa jadi sekalian terjeblos satu kaki ke bawah. 

Harvey berusaha berpikir jernih, ia memang bukan seorang backpacker.  Pelesiran nya yang paling jauh hanya ke pulau kecil sekitar Jawa. Sebagai relawan pembagian vaksin sekaligus penyuluhan. Kurang lebih kondisi nya sama, tapi bedanya ditempat-tempat antah berantah yang datanginya sewaktu itu, Harvey selalu di temani sepeleton tim, tidak pernah sendirian. 

"Harvey!"

Harvey secara reflek memejamkan  mata singkat, ia hafal suara itu di luar kepala. Suara berat yang biasanya  membangkitkan euforia semangat kini malah membuat kepala Harvey berdenyut. 

Harvey mau tidak mau menoleh dengan rasa malas yang sulit di jelaskan, perasaan campur aduk. Di antara beberapa orang yang masih berdiri di depan bandara, ada seseorang yang sangat Harvey kenal. 

"Altair." Balas Harvey kecut. 

Altair nyengir. Cengiran yang membuat Harvey merasa seperti sedang berkaca. Karena Altair memang foto kopi dirinya dari ujung kepala hingga ujung kaki. 

"Kamu pasti di telepon mama." Ucap Harvey disaat langkah kaki Altair hanya tinggal beberapa jengkal kaki darinya.

Senyum Altair berubah sinis, "Ratusan kali."

Harvey menghela nafas. Saling bertatapan mata dengan kakaknya selama sepersekian detik.  Harvey tidak butuh mendengar Altair menjelaskan panjang lebar kenapa Altair bisa ada disini bahkan sebelum Harvey mengabari siapapun jadwal penerbangan dan kedatangannya ke pulau Cemara kecil. 

Altair cerdas, kemampuan logikanya selalu di atas rata-rata sejak kecil. Harvey tidak kaget melihat kakaknya ada disini dan hampir  bisa menebak bahwa kakaknya memang pasti akan ada, entah dia sendiri atau orang suruhannya.

Orang seperti Altair sudah pasti bisa membaca situasi hanya lewat beberapa kalimat ibunya, atau hanya dari perubahan frekuensi telepon ibunya. Dia bahkan pasti juga hafal jadwal penerbangan keluar  masuk Cemara kecil yang memang tidak banyak hingga memperhitungkan kapan kedatangan Harvey tanpa perluh di beri tau. 

"Mio. Dia ada disini.  Cemara kecil. Iya kan?" Harvey membalas senyum sinis kakaknya dengan wajah galak. 

"Never beat around the bush." Altair terkekeh disaat yang sama tatapan matanya jatuh pada tas usang tua milik  Mio yang di bawa oleh Harvey. 

"Saya kesini untuk mengembalikan ini."

Alis Altair terangkat ngejek, "Kamu bisa nyuruh salah satu dari belasan pengurus rumah, atau kirim paket. Nggak perluh harus antar sendiri."

"Harus di antar sendiri." Potong Harvey.

"Apa yang sebetulnya harus di antar? Barang Mio atau perasaanmu?" Balas Altair datar sementara jemarinya mengambil tas Mio yang di letakan Harvey di lantai. 

Harvey sedikit tercengang. Harvey tau kakaknya sudah pasti tau. Tapi sebanyak apapun Harvey bisa menebak, situasi apapun selanjutnya setelah ini tidak akan pernah membuatnya benar-benar siap. 

Selama satu menit Harvey hanya berjalan mengikuti kakaknya menuju lapangan kecil di samping bandara tanpa kata. Hanya di terpa udara kering  dan sinar matahari yang menyengat. Hingga akhirnya dirinya dan Altair sampai ke salah satu mobil Jeep. 

Altair meletakan tas Mio di jok belakang dan sebelum ia menyalakan mobil ia berkata pelan, "Kamu suka jenis mobil kayak gini juga kan."

"Iya." Harvey mengangguk.  Teringat deretan diecast mobil sejenis Jeep di kamarnya. 

"Selera kita selalu sama."

"Dari dulu."

"Dari kecil kamu selalu suka mainan, game, film apapun yang aku punya. Makanan apapun yang aku makan. Jenis les apapun yang ku ikuti. Setiap aku belajar sesuatu, kamu selalu nyoba untuk belajar hal yang sama. Semuanya, hampir selalu....sama." Altair menghela nafas menatap kaca depan mobil tanpa sekalipun menatap Harvey, "Ku kira setelah kita dewasa. Kita bakal mulai berbeda. Sayang ya untuk berbeda selera pada akhirnya sulit juga."

Harvey menggertak kan gigi, ia akui. Memang sulit. Satu-satunya keluarga laki-laki terdekatnya hanya Altair. Sosok tertua yang hampir Harvey anggap ayah.

Bagi Harvey, Altair memang pantas menjadi seorang panutan. Altair tidak pernah salah menilai. Instingnya selalu tepat. Altair selalu menjadi terbaik di bidang apapun yang geluti, serba bisa melakukan apapun, sosok selalu yang bisa di andalkan. 

Harvey tidak bisa pungkiri, kebiasaan nya sejak kecil sekarang telah menjadi pola. Menjadikan kakaknya sebagai kaca. Terpatri begitu dalam untuk mempercayai bahwa semua keputusan kakaknya selalu yang paling baik.

Termasuk pilihan nya pada Mio. 

Kenyataannya, kakaknya lagi-lagi benar.  Mio, pendamping pilihan Altair, ternyata juga menjadi perempuan pertama yang benar-benar membuat Harvey jatuh hati. Sungguh-sungguh jatuh hati. 

"Harvey?"

Harvey tersentak, suara kakaknya memanggil namanya datar tenang namun seperti membakar Harvey hidup-hidup, "Dari awal aku tau, vey.  Seharusnya aku tau. Kamu pasti akan jatuh hati juga dengan Mio."

Catatan Mio Where stories live. Discover now