Part 18

648 106 1
                                    

Harvey berjalan perlahan. Malas-malasan. Kalau semua staff lain dalam rumah sakit ini akan langsung sigap lompat lari begitu di panggil oleh direktur utama rumah sakit ini yang terkenal tegas dan galak, maka Harvey kebalikannya; sebisa mungkin ia bakal berjalan sepelan siput. Kalau bisa justru malah lebih pelan lagi.

Ruang direktur ada di gedung terpisah dari gedung poliklinik tempat Harvey bertugas. Gedung itu jadi satu dengan segala tetek bengek urusan manajemen rumah sakit. Letaknya di dekat pintu masuk UGD. Harvey hafal betul tempat ini, sedari kecil ibu Harvey sudah sering mengajaknya dalam lingkungan rumah sakit. Rumah sakit ini malah bisa di bilang rumah kedua Harvey sejak dulu, bahkan sebelum Harvey resmi bekerja disini.

Tapi ruang direktur itu agak asing. Harvey hampir tidak pernah kesana.  Letaknya di lantai tiga paling pojok lorong. Di tutupi berlapis-lapis pintu kaca sesuai dengan bagian pengurusan manajemen.

"Siang Bu Dir.." ucap Harvey setelah mengetuk pintu ruang direktur tiga kali, " Anda memanggil saya?"

Ibu Harvey duduk dengan wajah di tekuk di kursi kerja mewah di depan meja kerja yang tak kalah mewahnya namun kalah tampilan karena di tutupi tumpukan dokumen rumah sakit.

"Duduk, Harvey." Kata ibu Harvey sambil menunjuk salah satu kursi yang paling dekat dengan meja beliau.

"Kenapa Bu? Mau ngomongin uang JP, -jasa pelayanan?"

"Jangan ngomong sembarangan." Potong ibu Harvey sambil mengetuk-ngetuk jemarinya di atas meja, "Dan jangan panggil mama, 'bu direktur' disini."

"Oh, Harvey kira mama lebih suka di panggil begitu di lingkungan kantor."

"Kalau nggak ada orang, kamu nggak perluh manggil Mama begitu." Gerutu ibu Harvey.

"Jadi, aku di minta kesini buat apa?" Tanya Harvey, langsung ke inti.

"Mama udah ngecek jadwal poli dan visit bangsalmu, malam ini kamu kosong kan?"

"Mau apa?"

"Mama mau ajak Mio dan kamu makan malam sebagai tanda maaf karena kejadian tadi pagi." Lanjut ibu Harvey masih dengan muka cemberut.

Harvey mengerutkan kening, kemudian tersenyum, "Makan malam tulus minta maaf karena merasa bersalah kan? Bukan untuk ngerjain Mio lagi kan?"

"Kenapa reaksimu masih aja kayak gitu sih, Harvey?" Protes ibu Harvey ketus, "Emang Mio cerita apa aja ke kamu?"

"Mio nggak cerita apa-apa. Dia malah hampir nggak pernah ngomong apa-apa."

Ibu Harvey mendengus, "Sebetulnya malam ini, mama harusnya pergi makan malam dengan Melanie. Tapi apa boleh buat. Mau gimana lagi. Malam ini mama makan malam dengan kamu dan Mio saja."

Harvey tanpa sadar tertawa mendengar nama Melanie disebut, "Mama mau punya menantu Melanie itu demi kebaikan Altair atau kebaikan mama?"

Seketika mata ibu Harvey terbelalak kaget,"Maksud kamu?"

"Supaya mama bisa cerita kemana-mana kalau mama punya menantu dokter atau supaya ada bahan basa-basi sewaktu pertemuan antar direktur rumah sakit?"

"Demi kebaikan Altair lah!" Jawab ibu Harvey cepat sambil membuang wajah.

Harvey menggertakan gigi. Ia paham betul ibunya selalu memalingkan wajahnya saat berbohong, "Ma, kita itu kerja dalam lingkungan yang sama. Rekan kerja kita sama. Harvey paham, gimana iklim kerja disini dan paham betul gimana karakter rekan sejawat mama."

"Mama harus lebih realistis. Mama paham profesi dokter bagaimana. Jam kerjanya. Melanie itu dokter. Selalu sibuk. Apa bisa dia mengimbangi Altair yang juga sibuk kerja apalagi di luar pulau? Apa menurut mama hubungan mereka bisa jalan?"

"Jalan lah, buktinya mereka pacaran bertahun-tahun kan?!"

"Tapi apa mereka yang terbaik untuk satu sama lain? Dengan keadaan mereka seperti itu, apa mereka bahkan bisa besarin anak yang cukup kasih sayang orangtua?"

"Kamu jangan merendahkan Altair atau Melanie. Apalagi merendahkan profesi seorang dokter."

"Mama sendiri tau, seberapa banyak anak dokter yang akhirnya tumbuh besar cuma di temani baby sister? Banyak yang harus di korbankan untuk menjadi seorang dokter. Mama tau itu. Mungkin alasan Altair bersikap begini karena ia tau gimana rasanya jadi anak seorang dokter dan dia nggak mau anaknya ngerasain hal yang sama."

"Asal mereka berdua bisa bagi waktu, semua masalah bisa di atasi." Bantah ibunya.

"Oke." Harvey menarik nafas. Mencoba menenangkan hatinya yang mulai kesal, "Kalau gitu kita mulai dari hal yang hal paling sederhana dulu. Bukannya mama netapin standart perempuan harus WAJIB bisa masak? Tapi Altair pernah bilang kalau Melanie sama sekali nggak bisa masak. Gimana menurut mama?

"Tapi kan Melanie dokter!"

"Nah, sudah kejawab kan motif asli nya mama."

Catatan Mio Where stories live. Discover now