Part 62

387 64 10
                                    

Altair belum pernah bertemu dengan seseorang seperti Mio. Anehnya, sedari awal Mio seperti seseorang yang sudah di kenal lama oleh Altair. Seperti menemukan sambungan puzzle yang telah lama hilang. Teman lama. Sahabat. Seseorang yang tidak membuat Altair canggung dalam kesunyian. Seseorang yang membuat Altair bersedia untuk duduk berjam-jam mendengarkannya bercerita.

Di umur ini, di saat hasrat keinginan emosi meledak Altair mereda. Saat ia sudah jauh melampaui kata dewasa. Disaat Altair tidak membutuhkan lagi api yang membakar. Saat dirinya sadar; bahagia tidak harus susah payah di cari. Bahagia itu sederhana. Sesederhana rasa nyaman. Perasaan damai. Sedamai membayangkan dirinya kembali ke rumah melihat seseorang menunggunya untuk bertukar cerita remeh temeh. Sesuatu yang Altair tidak pernah dapatkan sejak kecil; teman cerita.

Altair tau dirinya dididik untuk bersikap tertutup. Keluarga,-ibunya bersikap keras. Disiplin, tidak boleh manja, anak laki-laki tidak boleh nangis, tidak boleh lemah, harus mandiri.

Altair ingat, sejak kecil sepulang sekolah. Ia hampir tidak pernah melihat ibunya. Harinya pun tidak pernah bebas. Jadwalnya penuh dengan sekolah dan berbagai macam les. Kegiatan sehari-hari nya terisi dengan pindah dari satu tempat les ke tempat les lain lalu pulang dalam keadaan lelah untuk melihat ibunya malam-malam masih terduduk di meja kerja dengan setumpuk berkas.

Selalu sama bertahun-tahun, meja makan yang diisi kesunyian tanpa cerita, tanpa liburan keluarga di luar acara keluarga yang di koordinir rumah sakit, -kantor ibunya. Hanya tepukan singkat saat nilai rapotnya bagus atau omelan panjang lebar bila nilai rapotnya jelek.

Tidak ada sosok ayah. Tidak ada tempat berbagi perasaan sepele. Hanya adik kecilnya, Harvey yang serupa fotokopian dirinya, namun sedikit lebih keras dan kaku.

"Mas Altair?" Suara Mio yang serupa gulali menyeruak dalam bisikan di telinga Altair, membuat Altair melepaskan pelukannya. 

"Mas Altair?" Panggil Mio sekali lagi.

"Hmm?" Gumam Altair dan sesaat matanya bertemu dengan wajah Mio yang merona, bibir Altair seketika tersenyum. 

"Mas, ayo pulang."

Senyum Altair memudar, di gantikan raut serius, "Tapi sebelum kita pulang, kamu harus janji. Besok kamu harus periksa semua lukamu di dokter puskesmas atau saya terpaksa harus memaksa kamu periksa di klinik kantor saya."

Mio bergidik kecil, "Tapi kalau saya ke puskesmas, orang-orang bakal tau saya luka. Mereka bakal tambah benci dengan paman saya. Nanti tidak ada lagi, sama sekali, yang mau belanja di toko paman. Kalau sampai tidak ada pemasukan. Paman marah. Itu semua bakal kembali lagi ke saya."

Altair mendesis jengkel, "Lalu alasan kenapa kamu nggak mau di periksa di klinik kantor saya karena takut pak Dahlan tau?"

"Hu'um." Mio mengangguk, matanya membulat lucu dengan dua alis naik seperti bayi dan bisa-bisanya di saat paling tidak tepat ini dia tanpa sadar bertingkah imut.

Altair mengacak rambutnya, perasaannya semakin campur aduk, gemas dengan dua hal berlawanan arah, "Besok malam tunggu saya, saya bakal datang lagi. Tolong, jangan kemana-mana. "

"Eh?" Mio buru-buru menggelengkan kepala, "Mas Altair jangan datang lagi ke penginapan. Kalau mas Altair sering datang. Orang-orang bakal salah paham."

"Kamu kira saya takut jadi bahan pembicaraan?" Altair tersenyum dingin. 

Tanpa mempedulikan reaksi Altair, Mio menambahkan berkata, "Mas juga jangan antar saya pulang sekarang. Mas pulang duluan, nanti saya nyusul di belakang."

"Maksudmu, kamu mau pulang sendirian dari tempat segelap ini? Kalau kamu kenapa-napa dan ternyata ada orang lain yang melihat saya yang terakhir pergi bersama kamu, menurutmu gimana?"

Mio menggigit bibir putus asa, "Tapi saya sering pergi sendirian, diam-diam malam-malam, lihat bintang. Nggak akan ada apa-apa, mas Altair tenang aja."

Altair menyipitkan mata, ekspresi nya jauh lebih dingin dari sebelumnya. 

"Aku nggak takut kok. " Tambah Mio. Seakan kalimat nya barusan bakal berefek menenangkan.

"Bukan kamu, tapi saya, Saya yang takut." Geram Altair,  "Saya takut kamu kenapa-napa. Tolong, Mio. Jangan keluar lagi malam-malam diam-diam tanpa ijin atau pergi sendirian tanpa di temani siapapun."

"Tapi kalau saya ijin, saya nggak akan di bolehin pergi keluar."

"Memang jangan. Keadaan diluar nggak akan selalu selamanya aman, Mio." Tegas Altair sekali lagi, sembari menatap Mio lekat- lekat. Berharap seandainya Mio memiliki kemampuan untuk melihat dirinya sendiri dari mata Altair; Mio tak ubahnya gulali berjalan. Menggoda mata. Makhluk kecil tak berdaya. Kecil rapuh. Wajah oriental nya, mata hazel bulat di bingkai bibir merah pucat, kulit porselen dan rambut lurus panjang Mio yang kini tertiup berantakan oleh angin laut. Semua itu, semua bagian dirinya, "Sekarang sudah terlalu malam, saya antar kamu pulang. Saya nggak peduli ada orang lain lihat kamu bersama saya atau pamanmu tau kamu pulang dengan saya."

Mio berjengit kaget, buru-buru menggelengkan kepala keras-keras. Menolak terang-terangan disaat Altair berkata, "Lagipula saya harus bertemu dengan pamanmu malam ini juga."

"Huh?!" Mio membelalakkan mata, "Buat apa!?"

"Untuk melamar kamu, Mio"

Catatan Mio Where stories live. Discover now