Part 63

319 57 1
                                    

"Mio...."

Mio berdiri, menatap neneknya yang duduk di kursi depannya sambil mengelus rambutnya penuh sayang, "Nenek lagi apa? Kok dari tadi nenek diam aja? Nenek sudah makan?"

"Nenek sedang berdoa, sayang."

"Nenek lagi doain ayah?"

"Ya. Nenek doakan ayahmu dan kamu."

"Kenapa nenek berdoa buat Mio? Kan yang meninggal ayah." Mata Mio membulat heran sebelum meletakan kepalanya di pangkuan nenek yang selalu ada sejak Mio membuka mata pertama kalinya di dunia

"Justru kamu, Mio yang harus selalu didoakan. Karena nenek nggak akan selamanya bisa ada disamping mu. "

"Emang nenek mau kemana?"

"Nenek nggak akan kemana-mana." Ucap nenek pelan, suaranya sedikit bergetar oleh sesuatu yang belum bisa  Mio pahami, "Tapi nenek percaya doa nenek yang akan selalu jaga kamu disaat nenek tidak ada."

Mata Mio mengerjap, sorot herannya berubah menjadi gelisah, "Kenapa nenek percaya doa?"

Bibir nenek tersenyum pedih, menatap cucu beliau satu-satunya. Anak perempuan kecil berusia enam tahun. Garis terakhir dalam trah. Tanpa saudara kandung, tanpa keluarga dekat, di umur yang sedemikian muda ditinggal sendirian di dunia, darah terakhir dalam keluarga. 

"Justru Mio yang  buat nenek percaya." Ucap nenek dan dirinya tidak tahan lagi untuk tidak memeluk cucunya. Matanya mulai berair, perasaannya bercampur aduk. Ia tidak bisa menceritakan semuanya pada Mio. Mio masih terlalu kecil untuk mencerna bahwa dunianya telah jungkir balik dalam sekejap sejak ayahnya meninggal.

Sekarang, ia dan Mio tidak punya apa-apa. Tempat bergantung di masa tua, rasa aman dan kasih sayang tanpa pamrih dari sosok ayah.  Hanya tersisa sekelebat kenangan kecil; Mio dan doanya.

Mio kecil sudah pasti tidak menyadari ini. Betapa seringnya disaat-saat  acak, Mio mendongak menatap langit dan mengatakan apa yang di inginkan nya, kemudian bergerak lagi seakan-akan melupakan permintaan nya namun dalam hitungan waktu singkat, doanya terkabul. 

Dalam diam nya nenek memperhatikan itu. Kekuatan doa dari seorang anak kecil yang bahkan tidak sadar bahwa permintaan nya adalah sebuah doa, Hal hal sepele. Keinginan remeh temeh. Doa singkat yang polos. Bukti betapa hebatnya tuhan mengabulkan doa seseorang

Kini hanya itu, doa.  Satu-satunya yang bisa dilakukan disaat segala usaha sudah di lakukan. Tempat berpijak di saat harapan hanya satu-satunya pegangan untuk menjaga Mio, cucu tersayangnya. 

  
............

"Mio?"

Mio tersentak kaget, di hadapannya berdiri seorang laki-laki yang ia kenal namun disaat yang sama terasa asing.  Altair berdiri dengan kaos hitam, celana jeans dengan kulit sedikit terbakar matahari; mungkin berbulan-bulan terakhir beliau terlalu sering terpapar sinar matahari di rig tengah laut. Namun yang paling mengganggu; senyum Altair. 

Sorot matanya yang hangat menatap Mio, di bingkai rahang tegas, rambut dipotong pendek rapih, tubuhnya yang tinggi. Juga rasa nyaman yang secara misterius selalu muncul, menjalar seluruh urat nadi, melumpuhkan pertahanan Mio. Mematikan instingnya untuk bersikap waspada pada siapapun.  Membuat nya merasakan hal yang sama seperti saat tidur di pangkuan nenek. 

"Tunggu sebentar." Altair menatap Mio lebih lekat sementara Mio hanya bisa mematung mendongak memandang wajah Altair, "Tas mu dimana?"

Kalimat Altair membuat Mio seketika menundukkan kepala dan menggeleng kikuk, "Nggak ada."

"Waktu kamu berangkat, bukannya kamu bawa tas kan?"

"Huum." Mio lagi-lagi hanya bisa menganggukkan kepala seperti anak kecil gugup di tanyai oleh orangtuanya. Lalu tanpa sadar dirinya melirik orang lain disekitarnya yang sibuk keluar dari dalam bandara membawa koper. Mio benar-benar satu-satunya penumpang yang turun dari pesawat hanya membawa badan. 

"Tasmu hilang!?"

"Nggak." Mio buru-buru melanjutkan bergumam jujur, "Tas saya ada di apartemennya mas Harvey."

Alis Altair seketika bertaut, "Kenapa bisa disana?"

"Karena...." Mio menelan ludah, bibirnya kelu. Satu-satunya yang ia bisa lakukan sekarang hanya memandang wajah Altair. Tidak ada sorot curiga, menuntut atau marah disana. Hanya tatapan mata sabar penuh pengertian. Ternyata benar kata neneknya, wajah adalah jendela jiwa dan jiwa Altair yang baik terpampang jelas dari cara beliau memandang segalanya, "Mas Altair hari ini sibuk?"

"Saya ambil cuti seminggu, seharusnya kan saya yang jemput kamu di Jawa."

Bibir Mio tanpa sadar bergumam  tidak jelas dan dirinya berusaha memusatkan pandangannya pada hal lain. Mencari sesuatu untuk mengalihkan pikiran sembari menyusun kalimat. Ia tidak pernah berniat untuk berbohong atau menutupi semuanya. Hanya saja Mio tau, memulai pengakuan nya itu tidak mudah. Sayangnya sejauh apapun matanya memandang, tidak ada yang menarik dari pemandangan bandara pulau Cemara kecil. Apalagi setelah Mio melihat betapa bagusnya bandara di pulau Jawa dan Sumatra  

Kini bandara di pulau Cemara kecil yang tadinya membuat Mio terpukau karena di pulaunya Serasan tidak ada bandara, sekarang berubah menjadi tak ubahnya terminal bus kumuh.  Kecil, tak berseni dan sepi. 

"Mio?" panggil Altair, memaksa Mio untuk mau tidak mau memusatkan kembali perhatiannya pada Altair, "Nenekmu di rumah sakit. Ada bawahan saya yang menunggu beliau. Kamu mau ketemu nenek sekarang?"

Setelah beberapa detik, Mio akhirnya memutuskan untuk menggelengkan kepala. 

"Kamu capek? Maaf, seharusnya kamu memang harus istirahat dulu.  Boleh saya pesankan penginapan?"

"Bukan. Maksudku..." Potong Mio cepat-cepat, semakin gelisah "Tapi, boleh saya ngobrol dengan mas Altair sebentar sebelum ke rumah sakit?"

Sesaat Altair terdiam sebelum akhirnya beliau mengelus puncak kepala Mio sambil tersenyum kecil, dengan cara dan rasa yang sama seperti yang di timbulkan saat kepala Mio di tepuk-tepuk oleh neneknya, "Kenapa ngobrol saja harus ijin?"

"Jadi, boleh?"

"Ya. Tapi lain kali kamu nggak perluh minta ijin lagi."

"Kenapa?"

"Karena saya suka dengar suaramu dan saya suka ngobrol dengan kamu, Mio."

Catatan Mio Where stories live. Discover now