Part 14

708 108 2
                                    

Sepanjang jalan Harvey termenung. Bisa jadi ibunya betul, pikir Harvey ragu; kakaknya, Altair memang terlalu cepat memutuskan menikah. Terlalu ambil resiko. Tidak berpikir panjang, karena orang idiot mana yg memutuskan untuk menikah tapi bahkan tidak betul-betul tau suku asli calon istrinya.

"Kamu benar-benar asli orang orang Jawa?" Tanya Harvey sekali lagi untuk menegaskan ketidakpercayaannya.

"Iya."

"Terus kenapa bisa tinggal di pulau Serasan?" Tanya Harvey sambil membelokkan setir mobilnya melewati bundaran jembatan tol. Dengan sengaja memilih jalur yang lebih jauh untuk pulang.

"Ya begitu." Jawab Mio singkat. Tanpa bertele-tele apalagi terpancing untuk cerita.

Harvey menghela nafas, berusaha sabar, "Oke. Kalau gitu gimana ceritanya kamu bisa kenal Altair?"

"Mess nya mas Altair ada di sebelah penginapan keluarga saya"

"Lalu?"

"Beliau juga sering datang ke toko milik keluarga saya."

"Jadi keluarga kamu punya toko kelontong dan penginapan?"

Mio mengangguk tanpa kata. Mau nggak mau Harvey memperhatikan; kelihatan jelas wajah Mio selalu meredup setiap ia membicarakan soal keluarganya, "Keluargamu cukup mampu, punya toko dan penginapan. Lalu kenapa kamu nggak kuliah?"

Pertanyaan itulah yang akhirnya membuat Mio menolehkan kepala memandang Harvey. Disaat yang sama ketika Harvey menolehkan kepalanya tanpa sengaja. Dalam sekejab, mata Harvey bertemu kembali dengan mata Hazel itu. Mata bulat dengan kelopak tegas. Wajah boneka kiku. Boneka kokeshi. Bentuk wajah yang tidak pernah Harvey lihat sekalipun dalam keramaian, dalam dunianya.

"Nggak." Jawab Mio singkat. Bahkan wajahnya masih juga sedatar aspal jalanan.

Harvey mendengus gemas. Kali ini kesabarannya sudah sampai dalam ambang batas. Ia paling nggak tahan berbicara dengan seseorang yang sengaja tidak berusaha membuat sebuah percakapan menjadi dua arah, "Dan kenapa kamu manggil laki2 yang bakal kamu nikahi sebentar lagi dengan sebutan beliau? Kamu betul-betul ingin menikah dengan kakak saya? Atas dasar apa? Atau ada alasan lain?"

"Mas Altair lebih tua tiga belas tahun dari saya." Mata Mio membulat kaget oleh emosi Harvey yang terpancing, "Karena itu saya memanggil mas Altair, beliau."

"Kamu baru lahir, Altair sudah SMP Mio." Potong Harvey sedikit melembutkan kalimatnya, dari yang semula Harvey sebetulnya ingin mengatakan; Altair terlalu tua untuk kamu,  Mio. Kamu kayak pacaran dengan om-om. Tapi Harvey seketika batalkan karena dia sadar, ia sendiri juga om-om. Karena kalau Mio berbeda tiga belas tahun dengan Altair berarti Mio berbeda kurang lebih sepuluh tahun juga dengannya.

Yang tidak Harvey sangka tiba-tiba Mio malah tertawa geli. Tertawa oleh kalimat Harvey yang sebetulnya dikhususkan untuk mengejek bukannya ngelucu. Menyebalkannya, bukan cuma wajah Mio yang tidak pasaran. Antik. Jarang di temui. Tapi suara Mio itu juga unik. Lembut, manis, menyenangkan di dengar. Apalagi suaranya saat tertawa geli.

"Mas Harvey lucu ya... Kayak Sule." Gumam Mio di tengah tawanya. Membuat Harvey cuma bisa geleng-geleng kepala tak habis pikir, bisa-bisanya ada anak perempuan seperti Mio. 

Catatan Mio Where stories live. Discover now