Part 23

612 97 0
                                    

Harvey tersenyum geli, bau ikan asin itu ternyata memang luar biasa. Saking luar biasanya bahkan Harvey terpaksa harus makan di tangga darurat daripada membuat satu ruang poliklinik bau ikan asin.

Satu gigitan dua gigitan. Ikan asin nggak sebegitu buruknya. Lumayan walau tidak seenak daging sapi. Apalagi ikan asin itu kandungan gizinya rendah. Ditambah ini gereh ikan hiu. Binatang predator tingkat teratas dengan kemungkinan bermerkuri tinggi.

Harvey mencoba menggigit ikan asinnya lagi. Agak keras. Mirip sandal. Harvey mendapat bagian kulit ikan hiu dengan sedikit daging. Luar biasa kerasnya. Kayak batu. Harvey tertawa lagi. Ada keuntungan lainnya juga kini ia makan sendirian di tangga darurat, jadi tidak ada yang melihatnya ketawa-ketawa sendiri sambil gigit ikan asin.

"Pak Harvey?"

Harvey seketika tersedak. Ia terbatuk kaget menoleh kebelakang dan mendapati Melanie masih dengan jas dokternya menatap Harvey dengan wajah bingung.

"Ngapain bapak disini?"

"Kenapa kamu disini?" Tanya Harvey balik.

"Saya tanya kemana-mana, nanyain bapak Harvey ada dimana. Ternyata bapak disini. Makan ikan asin." Kata Melanie sambil terangan-terangan menutup hidungnya dengan telapak tangan.

"Kalau ada urusan, nanti setelah jam makan siang."

"Tapi ini penting."

"Sepenting apa?" Gerutu Harvey. Ia menutup tempat bekalnya dan buru-buru bangkit berdiri dari atas tangga untuk tampak lebih berwibawa.

Melanie mengangkat handphonenya sambil berkata, "Saya sudah dapat nomor handphone Mio dari ibu direktur. Rencananya saya ingin bertemu Mio sore ini. Sepulang dari UGD."

Hati Harvey mencelos kaget, setelah Mio bertemu praktisi spiritual abal-abal, kini apa lagi ini?!

"Kenapa kamu memberi tau saya soal ini?" Tanya Harvey dengan nada setenang dan sehati-hati mungkin.

"Saya juga nggak paham kenapa saya memberitau bapak." Ujar Melanie, ia memejamkan matanya sepersekian detik sambil menghela nafas, "Saya juga nggak paham kenapa saya sampai seperti ini."

"Jadi buat apa kamu mau ketemu Mio? Urusanmu dengan Altair sudah selesai kan? Jangan bawa-bawa saya atau Mio dalam urusanmu."

"Mio masih dalam urusan saya."

"Mio bahkan nggak kenal kamu kan?" Geram Harvey,  "Ini masalahmu dengan Altair. Apa kalian itu nggak putus secara baik-baik?"

Melanie tercekat sesaat mendengar kalimat Harvey, "Sebetulnya saya yang awalnya memutuskan Altair."

Harvey mendengus, "Nah, kalau begitu harusnya semua sudah selesai."

"Tapi saya nggak nyangka, Altair menemukan pengganti saya sebegitu cepatnya."

Harvey terdiam tak habis pikir, memandang rekan sejawatnya; Melanie si dokter yang terkenal galak terlihat menyedihkan sekarang. Membuktikan bahwa seorang dokter; profesi yang begitu di puja, juga tetap saja seorang manusia, "Kalau memang kamu nggak rela, seharusnya dari awal kamu pikir lebih panjang sebelum memutuskan apapun."

"Tapi saya betul-betul nggak nyangka. Saya pikir Altair akan ngejar saya kembali begitu saya memutuskan dia. Saya pikir Altair bakal berubah jadi lebih perhatian. Memperbaiki hubungan kami. Memperbaiki semuanya."

"Tunggu,tunggu. Berhenti." Sela Harvey, "Buat apa kamu ngomongin ini ke saya? Saya nggak bisa ngasih solusi dan saya nggak ada niat buat ngasih solusi juga. Jadi untuk apa?"

"Karena...." Melanie mengigit bibir wajahnya tampak agak malu, "Karena selain kamu adik Altair, wajah kalian juga mirip. Saya jadi merasa seperti ngobrol dengan Altair."

"Apa?" Harvey seketika tertawa pelan. Makin tak paham, "Oke. Saya nggak paham maksudmu. Tapi ini terakhir kali saya peringatkan. Saya nggak mau terlibat dengan urusan kalian dan yang terpenting jangan bawa-bawa Mio."

"Kenapa bapak bela Mio?"

"Saya nggak bela Mio."

"Tapi bapak bilang, saya jangan bawa-bawa Mio. Jangan temui Mio. Kalau bapak benar-benar nggak peduli, harusnya bapak nggak peduli juga kalau saya ketemu dengan Mio."

Harvey memincingkan mata, "Karena saya nggak suka melihat kamu atau Altair melibatkan siapapun yang nggak salah. Jangan egois, Mel. Kamu tau nama baikmu sebagai dokter bisa dipertaruhkan kalau kamu sampai ngelakuin sesuatu yang kamu bakal sesali selamanya."

"Ngelakuin hal seperti apa memangnya?" Tantang Melanie kesal.

"Kamu tau sendiri jawabannya."

Catatan Mio Where stories live. Discover now