Part 47

546 97 5
                                    

"Mas Harvey. Akhirnya....." Ucap pak Rohmat dengan wajah luar biasa lega setengah melompat berdiri dari sofa lobby begitu melihat Harvey berjalan keluar dengan wajah terang-terangan cemberut dari dalam lift apartemen.

Harvey berhenti berjalan, duduk dengan kasar di sofa panjang lobby yang tadinya diduduki pak Rohmat. Yang pada akhirnya memaksa pak Rohmat untuk kembali duduk tanpa pilihan.

"Handphone nya mas Harvey di silent ya? Uhm... Saya telepon berkali-kali kok Ndak di angkat mas? Hampir saja saya tadi di usir satpam mas karena kelamaan nunggu di lobby."

Harvey menghela nafas, mengacak rambutnya frustasi sambil melirik jam dinding terdekat, pukul 11 malam, "Mama yang minta bapak kesini?"

"Iya.. saya di minta jemput mas."

Harvey terkekeh, "Kalau saya nolak, apa setelah ini mama saya bakal minta Bu Darsih dan Bu Tina jemput saya juga?"

"Ya bisa jadi mas."  Cicit pak Rohmat. Entah bagaimana pipi beliau merah padam sampai ke kuping.

Harvey terkekeh makin keras. Harvey tau tanpa pak Rohmat mengatakannya keras-keras; bahwa beliau sendiri bahkan merasa situasi ini terlalu konyol. Harvey laki-laki dewasa, berusia lebih dari tiga puluh tahun, berpenghasilan dua digit tapi masih di pingit di kelek emaknya dan ketika pulang telat, di jemput paksa oleh tukang kebon.

"Ayo pulang mas."

"Saya sudah pulang kan?" Jawab Harvey santai, "Apartemen ini kan rumah saya juga."

Pak Rohmat melongo ngeri, "Aduhh mas maksud saya itu ke rumah ibunya mas."

"Kenapa?" Ledek Harvey.

Keringat dingin di kening pak Rohmat bercucuran makin deras padahal AC lobby cukup dingin. Beliau bahkan dengan takut-takut menoleh kanan kiri waspada sebelum berkata, "Ibunya mas ngamuk terus itu. Semua di marahin mas. Rumahnya mas rasanya kayak neraka. Semuanya pada ketakutan mas."

"Ah." Harvey menganggukkan kepala, Harvey tau. Sangat tau, "Kalau mau cari aman. Jangan dekat-dekat ibu saya dulu sementara ini."

"Tapi ibunya mas yang ngedeketin kita-kita melulu." Pekik pak Rohmat dengan raut memelas yang memancing rasa kasihan pada Harvey sekaligus dorongan untuk tertawa terbahak.

"Apa seluruh pengurus rumah saya ada niat untuk mengungsi ke apartemen saya untuk sementara?" Harvey mengulum senyum.

"Aduh mas Harvey, jangan bercanda terus. Saya serius mas. Saya tau mas Harvey nggak mungkin ngapa-ngapain mba Mio di apartemen berdua. Tapi saya dan pengurus yang mungkin bakal  di apa-apain ibu kalau nggak berhasil bawa mas Harvey pulang."

"Oke. Jadi kenapa nggak ibu saya saja yang datang jemput?"

"Ya saya nggak tau kenapa mas."

Untuk sesaat Harvey kembali mengulum senyum. Ia terlalu lelah untuk lebih banyak bicara dari ini sementara hatinya hanya ingin kembali ke unit apartemen, melihat wajah Mio kembali setelah terpaksa meninggalkannya karena deringan handphone tak berhenti dan pemberitahuan berkali-kali dari costumer service lobby.

"Pak Rohmat, saya nggak akan tinggal di rumah itu lagi. Bagaimanapun saya sudah punya rumah sendiri. Ada atau tidak ada Mio, saya tetap tinggal disini."

"Tapi saya kira pagi tadi mba Mio sudah kembali ke Serasan. Tapi kenapa belum mas ? Sampai kapan mbak Mio tinggal disini?"

"Sebisa mungkin saya juga ingin tinggal dengan Mio selamanya disini."

"Huh!?" Seketika mulut pak Rohmat melongo lebar sebelum beliau sadar betul bahwa beliau memang tidak salah dengar, "Maksud mas?"

"Kamu paham maksud saya." Ucap Harvey tanpa senyum.

Pak Rohmat menelan ludah dan dengan segenap keberanian nya yang tersisa hari ini beliau berkata, "Maaf mas, saya memang tidak paham sebetulnya ada apa. Walaupun setau saya, mbak Mio calon istrinya mas Altair. Tapi ....."

Harvey mengangkat alisnya karena pak Rohmat mendadak terdiam dan menatap Harvey dengan raut yang sama seperti yang di berikan Bu Darsih dan Bu Tina saat menasehati Harvey belum lama ini, "Tapi mas, maaf pesan saya; jangan sampai hubungan keluarga mas hancur karena perempuan. Jangan pernah dan jangan sampai terjadi..."

Catatan Mio Where stories live. Discover now