Part 21

664 104 4
                                    

"Mio?" Panggil Harvey pelan sambil mengetuk pintu kamar Mio juga dengan suara sepelan mungkin.

Tak berapa lama, Mio membuka pintu kamarnya. Hanya separuh wajahnya yang terlihat di balik pintu karena Mio hampir seperti bersembunyi takut dari Harvey.

"Bisa kamu keluar kamar sebentar sekarang?" Tanya Harvey dengan sabar.

Mio menggelengkan kepala. Wajahnya masih sepucat tadi. Sepucat saat ia dalam perjalanan pulang menaiki mobil bersama ibu Harvey dan Harvey dalam suasana mobil yang sama mencekamnya seperti kuburan angker jam dua belas malam.

"Tolong." Ucap Harvey tegas, "Saya minta kamu keluar sekarang."

"Kenapa?" Cicit Mio dengan wajah yang membuat siapapun termasuk Harvey terpacu insting melindunginya.

Harvey mendorong pintu Mio kebelakang dengan mudah sementara Mio langsung berjalan mundur dengan wajah kikuk. Sialnya, disaat yang sama Harvey tidak pernah tau, terkadang insting melindungi seringkali diikuti oleh insting lain. Primal insting. Insting laki-laki pada umumnya ketika melihat lawan jenis yang memang sangat menarik fisiknya.

Mio masih dengan 'seragam'nya. Lagi-lagi baju lengan panjang buluk yang ketinggalan zaman. Namun tidak bisa di pungkiri. Wajah Mio di bawah cahaya lampu kuning kamarnya yang temaram, membuatnya terlihat puluhan kali lebih cantik. Membius lebih dari yang seharusnya. Memancing sesuatu yang berbahaya dalam diri Harvey.

Harvey menghela nafas. Menahan diri untuk tidak menjotos dinding kamar Mio untuk menyalurkan segala hasrat yang sudah lama ia lupakan saking ia terlalu sibuk bekerja dan lupa bahwa sudah waktunya ia memiliki seseorang yang berharga. Waktunya untuk membentuk keluarganya sendiri.

"Bisa kamu duduk di sofa depan kamar sebentar?" Tanya Harvey sedatar, seprofesional mungkin. Supaya hasrat primalnya tidak sebegitunya tampak jelas.

"Untuk?" Tanya Mio ragu-ragu.

"Saya mau periksa kepalamu yang kena beling kemarin dan lenganmu."

Mata Mio seketika tampak waspada begitu mendengar kalimat Harvey barusan, "Kenapa dengan lengan saya?"

"Tangan kamu lebam. Penuh banyak luka."

Mio menggigit bibirnya, terkejut dan takut bercampur aduk jadi satu, "Saya nggak apa-apa."

"Oh.. nggak bisa." Harvey mendengus, "sebagai dokter, saya yang harusnya memberi diagnosis."

"Tapi sebagai pasien saya berhak untuk menolak." Kata Mio dengan berani. Bahkan ia juga berani mendongak langsung menatap mata Harvey.

Nafas Harvey tercekat. Frasa itu kembali terulang di kepalanya; Cantik. Manis. Boneka kiku. Boneka Jepang, "Mending saya periksa sekarang, atau saya minta mama yang periksa kamu? Jangan lupa beliau itu juga dokter." Gumam Harvey dengan nada semanis madu walaupun pada akhirnya memunculkan racun di wajah Mio.

"Mas Harvey saja." Ucap Mio setelah semenit hanya terdiam dengan muka lagi-lagi menderita.

Harvey mengangguk puas. Menggiring Mio untuk duduk di sofa dan dengan hati-hati berlutut di depan Mio untuk menggulung lengan bajunya.

Pemandangan selanjutnya, membuncahkan perasaan pedih dalam hati Harvey. Membuat Harvey ingin mengumpat, berteriak marah. Kesal. Putus asa namun sayangnya dirinya terbelenggu untuk tetap bersikap setenang mungkin.

Lengan Mio penuh dengan luka lebam beberapa sudah nyaris sembuh, beberapa memunculkan bekas luka yang mungkin akan sulit hilang. Bekas luka sundutan rokok dan beberapa luka lain bekas terbakar.

"Maaf." Mio buru-buru hendak menutupi lengannya lagi dengan bajunya namun di cegah Harvey dengan menggenggam jemari Mio seerat mungkin.

"Jangan minta maaf. Mulai sekarang setiap malam. Setiap hari. Saya bakal ngobati kamu. Sampai kamu betul-betul sembuh."



Catatan Mio Where stories live. Discover now