Part 72

326 44 4
                                    

"Apa sekarang kamu sudah mau saya ajak bicara?" Tanya Harvey dengan sabar ketika membuka pintu mobil bagian penumpang. 

Sialnya, Mio tetap mematung dan mungkin akan tetap mematung seandainya saja Harvey tidak perlahan menepuk pundaknya. 

"Mas Harvey." Akhirnya Mio menoleh, terkejut, matanya bergerak canggung. 

"Saya suka pergi berdua dengan kamu Mio. Selama pikiran mu nggak ketinggalan di tempat lain."

Mio menelan ludah. Tidak bergeming sekalipun Harvey berdiri di sampingnya dengan pintu mobil terbuka di kelilingi suara deburan ombak. 

"Kamu khawatir dengan Altair?" Akhirnya mau tidak mau Harvey menyebut nama kakaknya walaupun itu nama yang paling tidak ingin ia sebut sekarang, "Mio, kakakku sabuk hitam taekwondo. Seharusnya kamu lebih khawatir ke pamanmu."

"Tapi mas Altair nggak mungkin pernah mukul paman saya."

"Nggak, paling di panggil kan satpam.  Kalau pamanmu memang sudah terlalu keterlaluan." Harvey mencoba bercanda sekalipun gagal karena Mio sama sekali tidak tersenyum, "Tapi yang penting kamu aman disini."

"Mas Harvey, kapan kita kembali ke rumah sakit lagi ?" potong Mio sama sekali tidak peduli, "Aku juga khawatir sama nenek."

Harvey menghela nafas. Dengan pelan menarik tangan Mio. Sedikit memaksanya untuk turun dari mobil, "Secepatnya." Ujar Harvey dan melanjutkan berkata lagi setelah Mio benar-benar sudah berdiri di atas pasir, "Maaf kalau saya egois untuk sekarang, waktu saya juga terbatas, Mio. Beri saya kesempatan juga untuk bicara."

Mio mendongak, lagi-lagi mata bulat hazel itu membakar Harvey. Magnet dari segalanya.  Hulu ledak perasaannya, "Ya?"

Harvey menelan ludah.  Buru-buru mengalihkan pandangan.  Karena tatapan mata Mio terlalu berbahaya. Memancing insting Harvey untuk bertindak di luar nalar. Sialnya di saat yang sama bibirnya terlanjur kelu.  Ada terlalu banyak hal ingin Harvey katakan namun semua itu langsung buyar ketika mata Mio menatapnya dari dekat. 

"Mas Harvey?" Panggil Mio sekali lagi dan tatapannya berjalan mengikuti arah tatapan mata Harvey.  Ke deburan ombak, pasir putih dan senja sore yang merona.

Harvey berdeham pelan, "Saya belum pernah cerita soal ini ke siapapun. Kalau saya sebetulnya, dulu takut pantai."

Mio tersenyum kecil, "Aku kira nggak ada apapun yang bisa bikin mas Harvey takut."

"Nggak Mio, saya juga manusia.  Ada batasannya. Dulu saya pernah nyaris tenggelam di laut. Terseret ombak.  Untungnya saya di tolong penjaga pantai dan kejadian itu membuat saya trauma cukup lama."

"Butuh bertahun-tahun untuk saya mau ke pantai lagi. Saya belum pernah merasa se ketakutan itu sebelumnya. Dan saya kira setelah sembuh saya nggak akan pernah merasakan rasa takut sebesar itu lagi.  Tapi ternyata, saya merasakannya lagi. Setelah kamu pergi, dari apartemen saya.  Malam itu."

Dengan lembut Harvey menarik pelan pipi Mio. Hal ternekat yang bisa ia lakukan sekarang.  Kembali menatap mata Mio. Dalam dunia sepi sunyi yang selama ini di jalani Harvey tanpa tujuan. Isi hati yang sangat sudah lama tidak pernah Harvey ungkapkan. Membuka kembali ruang kosong di hatinya. 

"Tolong jangan pergi. Tolong tetap bersama saya."

"Saya bisa memberi uang Panai sebesar yang kakaknya saya berikan dan mungkin lebih. Saya bisa mencoba mencari kerja kembali di Sumatra supaya kamu bisa lebih mudah pulang pergi ke pulau Serasan.  Saya bisa mengusahakan segala hal yang bisa saya usahakan, demi kamu. Jadi tolong, tolong beri saya kesempatan."

Mio terpana sesaat. Wajah polos tanpa dosa. Wajah yang memunculkan insting siapapun untuk melindungi.  Wajah yang lebih cantik dari ombak biru pantai, langit merah merona dan deretan batu karang putih.  Wajahnya mengalihkan dunia Harvey. Membuat hidupnya terasa lebih hidup.

"Mas Harvey?" Suara kecil Mio yang serupa gulali menyeruak diantara suara angin, "Aku juga sebetulnya takut gelap, aku takut ular, aku takut manjat pohon, aku takut dengan masa depanku, aku takut kalau aku nggak bisa makan besok, atau seandainya aku nggak bisa berdiri lagi karena badanku semuanya terlalu sakit.  Tapi dari itu semua yang paling aku takutkan kalau nenek pergi selamanya."

"Setiap aku di pukul paman, sekalipun rasanya luar biasa sakit tapi aku kuat karena duniaku nggak akan pernah runtuh selama nenek masih hidup."

"Aku juga nggak apa-apa sekalipun bibiku nggak pernah nganggap aku ada.  Selalu ngeluh karena biaya hidupku dan nenek. Selalu marah kalau aku makan lebih dari jatahku.  Tapi itu bukan masalah selama nenek masih ada."

"Cuma nenek yang dari dulu aku punya.  Yang nggak pernah sekalipun marah walaupun aku ngelakuin kesalahan yang buat nenek kecewa.  Beliau nggak pernah satu kali pun nyebut apa kekuranganku.  Beliau selalu ada, sejak dulu.  Dari sejak kapanpun aku mulai ingat."

"Tapi pada akhirnya aku pasti akan menghadapi apa yang paling aku takutkan. Mungkin sebentar lagi.  Aku nggak tau. Aku nggak yakin apa aku bisa menghadapi itu semuanya dan gimana aku nanti setelah ketakutan terbesarku sudah terjadi.  Apa aku lebih kuat atau aku jadi lebih lemah?"

Catatan Mio Where stories live. Discover now