Part 25

627 101 1
                                    

Harvey terdiam memandangi Mio dari sela-sela rak buku warna-warni dalam perpustakaan. Perpustakaan sudah tidak seramai sebelumnya, saat pertama Harvey mengantar Mio kesini. Tapi Mio masih di kelilingi beberapa anak kecil. Anak yang jelas tidak mengenal Mio. Jelas-jelas baru di kenalnya hari ini. Anak-anak yang mungkin tadinya menunggu antrian di poliklinik tapi kemudian dititipkan orangtua mereka di perpustakaan daripada berlarian di lorong poli.

Anak-anak yang sekarang nyengir. Tersenyum pada Mio yang membacakan cerita pada mereka. Ingatan Harvey dalam sekejab tumpah, Mio, benar-benar seorang guru. Sukarelawan. Penyayang anak kecil. Bekerja tanpa mengharapkan uang. mengajar anak-anak kecil tanpa pamrih.

"Mio." Panggil Harvey setelah hanya diam mematung memperhatikan selama bermenit-menit.

Mio mendongakkan kepala, terkejut namun langsung tersenyum, "Mas Harvey."

"Ayo pulang."

Mio mengangguk, memeluk anak-anak kecil di hadapannya seakan mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun kemudian beranjak mendekati Harvey.

Anehnya, di setiap langkah Mio mendekat maka debaran detak jantung Harvey juga meningkat dan sayangnya Harvey nggak bodoh. Ia tau apa artinya itu. Walaupun ia mengasumsikan segalanya sebagai bentuk reaksi kimia alami. Sesuatu yang lebih mudah untuk ia sendiri diterima.

"Ini pertama kalinya saya lihat mas Harvey pakai jas dokter." Komentar Mio di samping Harvey sambil mendongakkan kepalanya. Seperti berusaha tampak lebih tinggi walaupun tetap saja, seberusaha apapun tinggi Mio tetap hanya sebahu Harvey.

Harvey mengulum senyum, "Cocok nggak buat saya?"

"Iya mas." Mio mengangguk-angguk, "Mas kelihatan lebih ganteng."

Harvey membeku. Desiran aneh yang seharusnya tidak boleh ada lagi-lagi menguasainya lebih dari seharusnya. Menyebalkannya, setelah menciptakan desiran luar biasa pada Harvey, Mio dengan santainya malah mulai berceloteh tentang bintang. Ya. Lagi-lagi bintang.

"Malam ini cerah ya mas?" Kata Mio sambil melirik jendela berjajar di lorong rumah sakit, "Biasanya nelayan di Serasan berlayar pakai bantuan rasi bintang lintang saat langit cerah."

Harvey menganggukkan kepalanya. Sok paham padahal tidak.

"Ursa major." Lanjut Mio dan ia mulai membahas tentang migrasi ikan di awal bulan Desember yang Harvey semakin tambah tidak paham.

"Saya sebetulnya nggak paham kamu ngomong apa." Akhirnya Harvey dengan besar hati mengakui daripada ia capek hanya mengangguk-anggukkan kepala.

Mio tersentak sedikit sebelum tertawa, "Maaf saya sudah lama nggak lihat bintang. Nggak lihat apapun kecuali cucian, dapur dan sapu. Jadi saya seneng sekali mas Harvey ajak kesini dan kalau saya hatinya senang biasanya saya reflek ngomongin bintang."

"Kamu sebegitu sukanya dengan bintang?"

"Iya." Mio tertawa gembira. Bahkan kini dia kelihatan tambah gembira hanya dengan melihat deretan gambar-gambar ilustrasi di deretan dinding rumah sakit yang di khususkan untuk poliklinik anak.

Kini Harvey tak paham lagi. Apa yang seharusnya dia rasakan. Gembira melihat orang gembira dari hal sederhana atau sedih melihat Mio yang bahagia hanya gara-gara melihat hal yang kadangkala di tatapi Harvey dengan muak saking bosannya.

Apa sebetulnya yang harus ia lakukan? Apa yang bisa di pertanyakan? Seperti apa hidup Mio selama ini. Dari mana luka-lukanya dan kenapa Mio masih bisa tersenyum bahagia oleh hal sekecil ini, padahal luka di tubuhnya separah itu? Belum termasuk luka di hatinya yang tidak terbaca Harvey.

Namun yang terpenting, sampai sejauh apa Harvey bisa membiarkan desiran aneh  ini menguasai alam bawah sadarnya?

Catatan Mio Where stories live. Discover now