Part 27

630 98 6
                                    

"Maaf." Ujar Harvey. Dengan cepat Harvey menyapu air mata di mata Mio dengan ujung jemarinya, "Tapi kamu harus tau ini, Mio. Bahwa saya sama sekali tidak menyesal."

Suara Harvey membuat nafas Mio semakin tercekat dan air matanya turun semakin deras.

"Sekarang saya akhirnya tau perasaan kamu juga." Gumam Harvey. Ia menggenggam stir mobilnya dengan tenaga yang sedikit lebih berlebihan dari biasanya saat keluar dari halaman parkir rumah sakit, "Karena tadi kamu balas ciuman dari saya."

Harvey mengalihkan matanya sesaat dari jalan untuk menatap Mio tajam. Mio kini menundukan wajahnya semakin dalam namun pipinya yang merah justru malah terlihat semakin jelas.

"Jadi kenapa kamu nggak mulai cerita yang sejujurnya? Tentang hubunganmu dan Altair yang sebenarnya."

"Mas Altair calon suami saya. Saya harus bicara apalagi?" Tanya Mio dengan bibir bergetar menahan tangis.

"Saya nggak bodoh Mio." Gerutu Harvey, "Dariawal saya sudah curiga. Dari gerak gerikmu. Ekspresimu saat membahas topik tentang Altair. Semuanya. Dariawal semua sudah aneh.  Altair juga bukan orang yang memutuskan sesuatu tanpa pikir panjang. Apalagi soal memutuskan untuk menikah tanpa tau betul-betul tentang calon istrinya."

"Maaf." Ucap Mio hampir seperti bisikan setelah ia hanya terdiam dalam waktu yang sangat lama.

"Sekarang saya sudah terlalu terlibat, Mio. Jadi, seenggaknya saya harus tau sebetulnya ada apa; sebelum saya harus memutuskan sesuatu atau melakukan sesuatu setelah ini." Ucap Harvey tegas, "Saya juga harus tau supaya bisa menempatkan diri dengan benar di depan ibu dan kakak saya."

"Tapi... Tapi saya nggak tau harus cerita dari mana...."

Harvey mengacak rambutnya sendiri. Sebagai salah satu bentuk katalisator keinginannya yang sesungguhnya: ia ingin menyentuh rambut Mio, "Saya nggak memaksakan kamu untuk cerita semuanya sekarang. Saya bakal nunggu sampai kamu siap dan saya sebetulnya hanya butuh satu jawaban dari kamu. Malam ini."

"Mas Harvey mau tau apa?" Tanya Mio hati-hati dengan ekspresi takut tanpa sekalipun berani menatap balik mata Harvey yang sesekali menatapnya.

"Apa kamu benar-benar pacaran dengan Altair? Benar-benar mau menikah dengan dia? Bukan karena ada alasan lain?"

Mio tersentak. Wajahnya semakin ketakutan dan lagi-lagi ia hanya diam dalam waktu yang sangat lama.

Harvey menghela nafas. Mencoba memahami Mio dengan segala luka di hati dan tubuhnya. Wajah ketakutannya dan tangannya yang kini ikut gemetar panik.

"Oke." Pada akhirnya Harvey berkata lebih dahulu memecah kesunyian yang tidak menyenangkan dalam mobilnya, "Sekarang saya sudah tau jawabannya."

"Tapi saya belum menjawab apa-apa." Seru Mio terkejut.

"Diam mu itu sudah jawaban Mio." Kata Harvey dengan tak sabar.

"Kenapa mas Harvey menyimpulkan sendiri tanpa tanya pendapat saya?"

"Karena ekspresi wajah dan diammu lebih jujur daripada kata-kata yang kamu katakan."

Mio menggigit bibir, raut wajahnya berubah malu. Ekspresi Mio membuat Harvey tanpa sadar tertawa. Kini Harvey sedikit bangga dengan kemampuannya, kemampuan yang dulu agak Harvey remehkan. Kemampuan untuk membaca situasi dan peka terhadap bahasa tubuh orang lain lebih dari kebanyakan orang.

"Jadi sekarang gantian saya yang bicara jujur, bagaimana?" Bibir Harvey berhenti tersenyum untuk berkata serius, "Saya tertarik dengan kamu Mio. Benar-benar tertarik dengan kamu dari sejak awal. Walaupun saya hampir tidak mau mengakuinya, bahkan ke diri saya sendiri. Tapi mulai sekarang saya akan lebih jujur dengan kamu. Dengan diri saya sendiri dan saya juga minta; tolong beri saya kesempatan untuk mengenal kamu lebih banyak lagi."

Catatan Mio Where stories live. Discover now