Part 4

1.1K 109 1
                                    

Harvey tidak bisa berlama-lama di kafe ini. Ia harus segera pulang. Bagaimanapun ia harus menyimpan tenaga untuk hari Senin besok. Ia harus kembali balik ke kesibukannya di rumah sakit.

Harvey memacu mobilnya kembali ke rumah. Rencananya ia akan langsung masuk ke kamar. Tapi pemandangan di teras samping rumahnya terlalu memancing perhatian. Teras samping rumah Harvey biasanya selalu kosong, hanya ada satu sofa yang dulu sering di duduki kakaknya Al sembari membaca koran.

Harvey jarang, lebih tepatnya hampir tidak pernah melihat ada asisten rumah tangganya yang duduk-duduk ramai disana. Tapi kali ini berbeda, suara Bu Darsih, asisten rumah tangga Harvey yang paling tua dan yang paling berani bersuara dari yang lain menyeruak.

"Mas Harvey, lihat ini, sini. Mbak Mio bawa gereh ikan hiu asin. Semua belum pernah lihat yang kayak gini."

"Apa?" Mata Harvey sedikit mengerjap. Harvey hampir nggak pernah makan ikan asin dan nggak paham dunia perikan asinan. Tapi, jelas ia tau ikan hiu asin itu nggak biasa. limited edition.

Bu Darsih mengangkat satu plastik besar. Isinya potongan ikan tidak jelas bentuknya. Yah khas ikan asin. Tanpa sadar bibir Harvey menyeringai geli. Harapannya terjun bebas. Tadinya ia sudah mengantisipasi melihat kepala hiu atau hal seajaib itulah. Tapi itu nggak mungkin juga. Mustahil.

"Ini yang khusus buat mas Harvey." Mio yang sedari tadi hanya senyam-senyum tiba tiba mengangkat seplastik ukuran sedang berisi ikan asin, "Ini juga buat mas Harvey dan keluarga. Kata Tante saya diminta untuk letakan oleh-oleh saya di dapur. Tapi saya belum tau dapur dimana..."

"Oh iya. Juga ada terasi buatan nenek saya." Lanjut Mio, kali ini ia mengeluarkan seplastik lagi barang dari dalam tas yang sudah susah payah Harvey angkat beberapa jam yang lalu ke kamar tamu di lantai dua dan sialannya sekarang di turunkan lagi ke lantai bawah oleh Mio.

Terasi itu di buntal dengan plastik dan koran berbalut-balut seperti ikan asinnya barusan. Untunglah, Mio kepikiran melakukan itu, karena Mio dari pulau Serasan naik pesawat dua kali. Gokil juga kalau dia sampai membuat dua bagasi pesawat bau terasi.

"Kamu nurunin lagi tas itu sendiri lewat tangga?" Tanya Harvey tak habis pikir.

"Iya." Mio mengangguk, raut wajahnya seperti bayi tanpa dosa, "Maaf ya mas Harvey. Padahal mas Harvey sudah capek-capek bawa tas saya sampai ke lantai dua."

"Kamu kuat ngangkat tas itu sendirian?" Potong Harvey tak sabar. Kalau di pikir-pikir Mio sudah pasti ngangkat-ngangkat tas sebesar itu juga di bandara.

Mio mengangguk, "Iya.."

"Tadi saya belum tanya, kamu dari bandara ke rumah ini naik apa?"

"Naik taksi online. Saya sudah di ajarin sama mas Altair caranya."

"Oh."

Harvey geleng-geleng kepala tak habis pikir. Agak susah di percaya karena Mio bertubuh jauh lebih kecil dari Harvey dan berat badannya mungkin dua puluh kilo lebih ringan darinya.

"Kalau yang ini, singkong. Ada ubi ungu, kacang tanah, tepung sagu..." lanjut Mio mulai mengeluarkan barang-barang ajaib dari dalam tasnya lagi.

"Lah mbak ngapain bawa cabe?! Disini mah juga banyak." Asisten rumah tangga Harvey mulai tertawa geli begitu Mio mengeluarkan seplastik cabe, mulai dari cabe kriting sampai cabe rawit.

Tanpa mempedulikan dirinya di tertawakan, Mio malah mengeluarkan hal lain yang membuat tawa semua orang pecah. Lumpang kayu dan garam krosok.

Harvey geleng-geleng makin keras. Jadi alasan kenapa tas Mio sebesar itu bukan karena dia bawa baju, tapi karena ia bawa sembako dan segala tetek bengek properti tukang sayur yang baru pulang dari pasar.

Catatan Mio Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang