2. Dering Ponsel

22 13 1
                                    

Itu karena seseorang sudah duduk di sana, mengoperasikan benda itu, tanpa peduli keadaan sekitar.

Tohru menggeser tubuh, mendekat.
"Yo..Yosida San."

Tidak ada tanggapan. Yoshida Sumire masih saja menatap layar lewat kacamata yang tersemat cantik di pangkal hidungnya. Jemari-jemari lentiknya, melompat-lompat lincah di atas keyboard, serupa belalang kecil yang berlompatan di hamparan padang rumput.

Jika Yamauchi Aina seperti Dewi Api yang penuh semangat membara, maka Yoshida Sumire seperti Putri Salju yang dingin membekukan.

Sayangnya, menurut Mizutani Tohru, entah kenapa, dia merasa hawa keberadaannya selalu telat dirasakan Sumire.

Atau, dia sebetulnya dari awal makhluk transparan yang perlahan terlihat di mata Sumire.

"Yoshida San. Notebook itu..."

"...kupinjam, dulu."
Tetap masih menatap layar.

Penasaran, apa yang membuat Sumire begitu fokus, Tohru melirik sebentar. Melewati bahu perempuan itu.

Sayangnya, itu tak semudah yang dibayangkan. Fokus Tohru goyah saat wangi lembut parfum wanita tercium, bersama bau khas tubuh. Susah payah dia membasahi tenggorokan.

Keadaan terasa lebih parah saat lelaki itu sadar, seperti Aina, Sumire juga sudah terlihat anggun dengan kimono. Bagaimanapun, pakaian itu mampu membuat tampilan Wanita Jepang terasa lebih cantik, dan anggun 100 kali lipat.

Walau serupa Aina juga, rambut Sumire hanya diurai begitu saja, namun hal tersebut tidak mengurangi keindahan paras keduanya.

"Kenapa. Kau, tergoda?"

"...e..eh ti..tidak. Ini bukan se..seperti, itu. Aku hanya...aku hanya ingin tahu apa yang Yoshida San lakukan."
Tohru tertawa canggung.

Ucapan Sumire barusan membuatnya seperti pencuri pakaian dalam yang tertangkap basah saat beraksi oleh pemiliknya.

Padahal, sadar, atau tidak, Sumire sama sekali tidak melihat Tohru. Melirik saja, tidak.

Wajah Yoshida Sumire tetap tanpa ekspresi, datar seperti layar komputer lipat di depannya. Layar yang saat ini menampilkan diagram-diagram rumit yang sulit dipahami.

Kalaupun berganti antar muka, itu akan menampilkan grafik naik turun tak karuan, atau tabel penuh angka-angka dengan jumlah nol terlalu banyak. Melihat itu semua, Tohru merasa berada di dunia yang berbeda dengan Sumire.

"...lebih suka wanita barbar itu?"

"Hey. Aku mendengarmu, Yukiona."
Ternyata Aina masih berada di tempat semula.

Tohru melihat, keluar pintu kaca. Jantungnya berdetak cepat. Sudah bukan rahasia lagi bila antara Aina, dan Sumire sering terjadi adu mulut.

Jika itu terjadi di rumahnya sekarang. Sebagai anak pemilik rumah, tentu saja Tohru harus bertindak. Walau itu tidak mudah.

"Yo..Yoshida San, Yamauchi san."
Tohru bersiap untuk yang terburuk.

"Tenang saja, Mizutani."
Aina sedikit mengeraskan suara dari luar.
"Hari ini saja. Aku tidak ingin ribut dengan Yukiona itu."

Setelah Aina berlalu setelah berucap sekalipun, Tohru belum bisa bernapas lega.

Karena, sejak Aina angkat bicara, Sumire sudah berhenti mengetik. Kedua tangannya mengepal di atas keyboard. Walau wajahnya tidak berekspresi, namun dari tangannya yang bergetar, terlihat sekali jika wanita itu menahan amarah.

"Yoshida San. Jangan dimasukkan hati, ucapan tadi."

"...urusi saja urusanmu sendiri."
Sumire melirik, sekilas."

Strawberry MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang