30. Adu Bisu

6 4 0
                                    

Kyoto - Shinjuku, lewat jalan bebas hambatan, akan memakan waktu, kurang lebih, 2 jam. Itu bila ditempuh dengan kecepatan 100 kilometer per jam. Tapi, khusus Sumire, dan mobil sport ini, semua dilibas mudah, semudah mengiris tahu, dalam 30 menit saja.

Tidak perlu ditanya, berapa dalam pedal akselerasi diinjak, atau berapa derajad Speed Meter berputar. Yang jelas, Sumire tidak pernah meninggalkan lajur kanan. Tohru sekalipun tak jelas memandang. Semua tampak berbayang di matanya.

Lebih parah ketimbang aksi Drift Downhill Aina di Nakaoyama.

Keluar pintu tol, sama artinya keluar dari penyiksaan, bagi Tohru. Sisanya, masih terasa buram di mata, adukan di perut, juga bintang terbang di kepala.

Sampai lelaki itu tak sadar. Bila dia sudah sampai di tujuan.

Sampai, Sumire mematikan mesin, dan melepas sabuk pengaman.

"...Kau. Mau sampai kapan, di situ."
Nada dingin, terlontar.

"...E...Eh!"
Perlahan, kesadaran Tohru berkumpul. Nada dingin itu seperti menyiramnya. Setelah pasti pandangannya normal, kepala Tohru berkeliling.
"Kita, di mana. Yoshida San?"

Sumire, dengan tenang. Mengambil GPS dari atas Dashboard. Untuk disimpan kembali pada tempatnya. Kunci mobil diambil setelah itu, dan dimasukkan ke dalam saku. Sempat perempuan itu melirik ke arah petunjuk waktu. Masih sempat, pikirnya. Sedikit ada waktu sebelum waktu yang disepakati, tiba.
"Taman parkir, Shinjuku."

"Apa kita berada di dekat patung Hachiko...Eh!?"
Tohru yang semula terkejut, mulai gelagapan. Sumire, tidak menunggu lama, keluar dari kendaraan. Membuat lelaki tersebut bergegas melepas sabuk pengaman, dan keluar.
"Yo...Yoshida San. Tunggu."

Sumire sudah berjalan beberapa langkah, di depan Tohru. Di tangan, tas plastik dari mini market, bersamanya. Dia, sudah berada di tempat paling sibuk di bumi. Pagi masih terasa di udara. Matahari juga belum terlalu kuat, sinarnya.

Sementara, pandangan perempuan itu berkeliling, area di sekitar, sudah penuh dengan pejalan kaki. Orang-orang yang tenggelam pada dirinya sendiri. Tidak terlalu menganggap penting orang lain.

Menginjak satu-satunya tempat bertanah di Shinjuku, Sumire segera menduduki bangku yang telah dia pilih. Setelah menempatkan tas plastik pada pangkuan, perempuan itu mengeluarkan barang yang telah dibeli tadi.

Hidangan dari Vending!

Sudut matanya bergerak ke samping, ketika penutup hidangan Sumire buka. Tohru, duduk, tepat di samping, pada ruang kosong di sebelah.

Membuat perempuan itu menunda niat, dan mengeluarkan barang lain dari plastik.

"Terima kasih. Yoshida San."
Tohru menyambut air kemasan yang terangsur. Mengambil beberapa teguk.

Mereka berdua duduk di bangku, dan menghadap ke arah yang sama. Tas plastik tadi yang menjadi sekat. Tohru masih menggenggam minumnya, sedangkan Sumire sudah mematahkan sumpit kayu miliknya.

Mengambil suapan pertama!

Tohru menunggu sarapan Sumire usai. Pandangannya mengamati sekitaran taman. Di hari sepagi ini, cuma mereka yang ada di sini. Terang saja, meski sekarang menjelang akhir pekan, bukan berarti tak ada yang berangkat kerja.

Terlebih, musim bunga sakura sudah lama berlalu. Pohon-pohon besarnya yang tumbuh di sekitar, hanya menampilkan lebatnya daun pada tiap ranting. Makin memperkuat alasan orang untuk tidak sambang kemari.

Belum termasuk, kian menyusutnya jumlah anak kecil di negara ini, membuat ayunan di salah satu sudut taman, tidak bergeming.

Yah, paling tidak, cukup lumayan memenuhi rongga paru-paru dengan segarnya udara dari vegetasi sekitar. Lebih baik, ketimbang hawa pendingin dalam mobil.

Berbonus rawann serangan jantung mendadak, efek ugal-ugalan di jalan bebas hambatan!

Berteman semilir angin, serta suara langkah pejalan dalam kebisuan, menjadi latar bagi keduanya.

Tohru, di kepalanya masih berputar, apa benar ini tempat tujuan yang Sumire inginkan.

Sedangkan Sumire. Bibirnya terkatup sibuk mengunyah. Untuk hari yang sibuk, seperti, sebentar lagi. Dia harus punya kalori cukup untuk dibakar, nanti.

Meski, sering mencuri tanpa ketahuan, tatapan pada Tohru. Tidak tahu, mesti di apakan lelaki ini, bila dia bekerja nanti.

"...Yoshida San."
Tohru yang pertama memecah kebisuan. Tampaknya dia tak tahan adu diam semacam ini. Dengan perjuangan mengumpulkan keberanian, lelaki itu memiringkan posisi duduk. Sedikit menghadap perempuan di samping.
"Langit di sini cerah, ya?"

Baru saja, Sumire memasukkan sesumpit makanan ke mulutnya. Tanggapan pertama dari pertanyaan tak jelas arahnya, perempuan tersebut hanya melirik sekilas. Untuk kemudian didiamkan, sementara dia mengunyah.

"...Di kamarku, lebih cerah lagi."
Sumire menanggapi datar. Itupun, setelah memastikan semua yang di mulut sudah tertelan sempurnah. Beberapa detik setelahnya.

Tohru mengangguk-angguk, seolah mengerti. Memang, lelaki itu mengerti satu hal, bahwa Sumire tidak suka topik pembicaraan semacam itu.

Lelaki itu juga merasa absurt, sebenarnya.

Memutar otak dalam diam, Tohru menemukan satu bahan bicara, yang cukup membuat ganjalan.
"Apa Yoshida San sering makan sendiri, di sini?"

Gerakan tangan Sumire tertahan sebentar. Dalam bingkai kacamata terlihat jelas dahinya berkerut. Ini, kenapa nasinya sulit diambil.
"...Hmmm."

Memang sudah sejak awal, perempuan itu tidak mau memberi jawaban jelas. Mestinya, dia memilih roti soba tadi, bukan bento seperti ini.

Tinggal sekali lahap, habis perkara. Tidak harus menyumpit satu-satu semacam ini.

Merepotkan!

Istilah yang sama untuk menjawab pertanyaan itu. Sebut saja, resiko bila mengajak orang lain. Meskipun, tidak Sumire perkirakan lebih lanjut, bakal serisih ini.

"...Seperti dugaanmu."

"Juga, selalu makan dari vending?"

Ok. Ini sudah mulai mengganggu. Bagaimanapun juga, Tohru sudah masuk dalam ranah pribadi. Meski, itu hal yang wajar mengingat keduanya suami istri.

Tapi, tetap saja. Biasanya, Sumire seorang diri. Melakukan semuanya sendiri. Mengurus dirinya sendiri. Sekarang, dia harus membagi semua. Bila perlu, sampai titik terkecil dirinya.

"..........."

Hening. Ini sudah cukup membuat Tohru memperkirakan jawaban. Sumire, antara tidak tahu, tidak ingin menjawab, atau kembali, tidak suka pertanyaannya.

"Maksudku, dari Umemura San."
Tohru menggaruk bagian kepalanya yang sama sekali, berani sumpah, tidak berketombe.
"Apa tidak ada sarapan yang dia buatkan untuk Yoshida San."

"Tidak. Tidak ada yang seperti itu."
Selera makan Sumire, hilang sudah. Menjawab pertanyaan menyangkut pribadi, benar-benar sentimentil.
"Hina sibuk memasakkan orang lain."

Perempuan itu merapikan alat makannya kembali. Dia membawa semua itu ke dalam tas plastik di samping.

"Tapi, kemarin lusa, aku lihat Yoshida san membawakan Kurosaka Sensei tiga kotak bento?"

Tohru memutar tutup botol minuman di genggaman. Tenggorokkannya kering, tiba-tiba.

"...Aku pergi."
Menyambar tas plastiknya, segera beranjak Sumire dari tempatnya duduk. Ini, sudah kian dekat dengan jam pertemuan. Alasan menyambar tas plastik. Tak ada yang tak wajar. Hanya akan dia buang di tempatnya.

"Tu...tunggu."
Tohru geragapan di tinggal sendirian begitu saja. Langkahnya terhuyung ketika hendak terjungkal.
"Kita. Mau kemana, lagi?"

"...Square - Enix."

***

Strawberry MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang