39. Membuang Jauh

1 1 0
                                    

Lelaki itu berjalan mendekati satu-satunya meja di ruang sempit itu. Meletakkan tas plastik di atas, serta ransel yang dipanggul di lantai dekatnya.
"Dari Umemura San. Kami bertemu tanpa sengaja. Dia memintaku membawa ini untuk Kurosaka Sensei."

"Kau, bertemu Hinako di kampus. Kau bercanda. Toh Chan."
Bukan dari Sumire. Yukako yang sejak Tohru datang terduduk pada sandaran ranjang, terperanjat.

"Untuk apa aku melakukan itu."
Tohru enggan berbalik. Paling dia akan disuguhi tatap sendu Yukako, bila menyangkut.
"Yang pasti, Kurosaka Sensei harus menghabiskan ini semua."

Lelaki tersebut mengambil dua kotak daei dalam tas plastik. Sebelum mendekati Yukako, Tohru mengatur meja khusus tempat tidur, sebelum meletakkan hidangan dari Hinako.

Yukako sedikit beringsut ketika meja kecil itu melintang di atas tempat tidurnya. Mata perempuan itu berbinar cerah ketika tutup kotak-kotak tersebut dibuka. Aroma penggugah selera menggelitik penciuman. Benar-benar menyapu mendung di wajah anggunnya.

"Silakan, Kurosaka Sensei."

"Wah. Ini Strawberry Smoothies. Dan, yang satunya, eh, kenapa cuma bubur seperti ini, kemana Makuno Uci Bentonya?"
Yukako cemberut seketika melihat hidangan utamanya.

"...Eto."

Tohru tidak tahu hendak menjawab apa. Sebagai pihak yang sekedar diberi titipan, tentu tak akan tahu, barang itu. Tapi, bagaimana berkata pada Yukako tentang sesuatu untuk memperbaiki suasana hatinya.

"Kau tahu, Yuka. Hina tidak akan membuat makanan semacam itu, untukmu."

Suara berasal dari arah lain. Kedua orang itu hampir saja melupakan satu orang lagi di ruang inap ini. Saking tidak begitu terasa hawa keberadaannya.

Sumire duduk pada sofa panjang, dekat meja tempat Tohru menaruh titipan Hinako. Dengan latar, teras kamar yang langsung keluar, spot terbaik melihat cuaca, sorot mataharri, menerobos langsung dari sana. Dengan sikap dingin, dan wajah datar seperti biasanya, raut Sumire terasa mirip boneka.

"Iya. Aku tahu. Aku tahu. Dengan keadaan badan lemas, akibat pingsan dadakan karena kelelahan. Aku masih belum boleh mengkonsumsi makanan kasar." Lebih bersungut lagi, menanggapi Sumire. Meski tangan Yukako bergerak mengambil Smoothies, untuk diminum.

"Lalu. Untukku mana. Aniki!?"

Memilih tidak menimpali Yukako, Sumire menemukan sasaran baru. Tohru, yang baru saja bisa bernapas lega karena Yukako mau makan, sudah dihadapkan pada pertanyaan sulit. Lagi.

"I...itu. Tentu saja hal seperti itu tidak ada. Aku juga tidak tahu Sumi Hime, hendak kemari."

"...Apa aku harus dirawat juga, agar bisa mendapat perhatian penuh dari Aniki?"

Dilihat darimanapun, tidak ada yang berubah dari tatapan Sumire. Tapi, Tohru merasa pandangan perempuan itu mengurainya.

"Bu...bukan itu maksudku. Coba, kalau kita janjian dulu tadi, sewaktu di Sirnsoft. eh. Ah. Atau. Atau, Sumi Hime mengirimiku pesan. Tadi."

Pendingjn ruangan berhembus normal. Tapi suhu rendahnya tidak bisa menghilangkan keringat dingin di punggung.

Terlebih, saat Sumire bangkit. Sejak tadi perempuan tersebut berbicara dengan kedua tangan diletakkan di atas pangkuan, duduk tegak. Benar-benar terlihat elegan. Dia terus berjalan ke arah pintu keluar. Mengabaikan Tohru, dan puluhan kalimat minta maafnya.

Perempuan tersebut berhenti sejenak di gawang pintu.
"Aku pergi dulu. Jaga diri, Yuka."

"Kau juga. Hati-hati di jalan."

Daei bahu arah pandang Sumire tertuju pada Yukako. Sebelum beralih.
"Aniki. Bisa pulang sendiri, bukan. menumpang Hina, harusnya masih punya uang transport."

Tkhru, hanya bisa menatap punggung Sumire. Perempuan itu berlalu dalam diam. Sosoknya terus diamati hingga menghilang di persimpangan koridor.

Napas berat Tohru hembuskan ketika berbalik. Rasanya kian hari, kian tak mudah saja. Lelaki itu terkesiap, ketika jelas-jelas memergoki tatapan Yukako.

"Ada apa. Sensei?"

Yukako menggeleng dengan kedua sudut bibir terangkat. Terlihat, tangannya tengah mengaduk mangkuk bubur, begitu acak.
"Tidak. Interaksi kalian berdua, benar-benar menggemaskan."

"...Yang seperti itu mana bisa disebut interaksi, Sensei. Dimana letak, gemasnya."
Tohru berjalan melewati ranjang Yukako. Sampai berhenti di depan, satu-satunya meja di ruangan serba hijau ini.

"Toh Chan. Toh Chan. Serius, kau tidak bisa merasakannya. Terlihat jelas, kau tahu."
Yukako mengambil buburnya, hanya seujung sendok. Dia kembali harus berpikir memasukkan, itu, ke dalam mulut. Perempuan itu bergedik jijik, padahal baru merasakannya lewat ujung lidah.
"Sumire, tak kusangka bisa berubah begitu banyak. Bisa-bisanya dia bersikap manja padamu, Toh Chan. Harus juga, merajuk seperti itu."

Ketika harus berjongkok ketika menghampiri ranselnya yang tergolek di lantai, lelaki itu mencoba mengingat-ingat. Sekali lagi tak mengerti, bagian mana yang bisa disebut Sumire manja padanya. Rasanya, tidak ada.
"Sensei. Apa baik-baik saja. Maksudku. Tidak merasa marah padaku. Soal perlakuan, maksudku.?"

"Cemburu, maksufdmu. Ara~ara."
Yukako tertawa geli. Setelah mendengar pertanyaan ragu-ragu Tohru, sempat dia hampir tersedak, tadi.
"Kamu jnj bicara apa. Sumire itu, tidak. Bahkan semua perempuan di lantai 22 Sirensoft adalah keluarga. Kami berempat menikah denganmu, sudah membuang jauh-jauh, perasaan semacam itu. Daripada itu, bagaimana dengan laporan-laporan yang telah Toh Chan ambil."

Semua penghuni lantai 22. Aina, Sumire, dan Hinako termasuk. Yukako juga, bagaimanapun perempuan tersebut penghuni salah satu kamar di sana, yang berwarna merah dengan bintik-bintik kuning, mirip strawbery pada pintunya. Tapi, tetap saja Tohru tak paham, serius para perempuan semandiri mereka berempat, memilih suami seacak itu. Hanya karena salah masuk lantai dia harus mendapat konsekuensi absurt, semacam menikahi keempatnya.

Memangnya pernikahan itu mereka anggap apa!?

"Ini laporan pesanannya, Sensei."

Yukako menerima bersama ucapan terima kasih. Dia masih sempat mengambil satu teguk Smoothies di hadapan.
"Ini sudah semuanya?"

Tohru mengangguk. Sebelum satu hal menyangkut keberadaan Yukako dirawat, hinggap dipikiran.
"...Aku, tadi melihatnya, Kurosaka Sensei."

".....!?"
Dari balik lembaran kertas yang sedang dibaca, Yukako melirik Tohru sekilas. Perempuan tersebut merasa akan ada sesuatu yang menyebalkan.

Sengaja Tohru tidak menatap Yukako yang tengah duduk santai di atas pembaringan.
"...Di kamar, 3 kaleng sake dengan bau menyengat yang masih baru. Aku harap, itu bukan penyebab Sensei pingsan, kemarin."

Ok, menyebalkan memang. Iya, Yukako tahu jika Tohru adalah suaminya. Lelaki itu, wajar saja peduli. Meski berbeda 10 tahun di bawah.

Tapi, tetap saja terasa kesal.
"Toh Chan. Laporan ini, masih ada yang terlewat."

"...Eh!?"
Lelaki itu baru sadar, sudah membangunkan harimau tidur.

Yukako ramah, hingga menyenangkan ada di dekatnya. Di kalangan mahasiswa Kyodai juga. Walau sering meminta sesuatu yang aneh-aneh, cenderung tidak masuk akal, ketika suasana hatinya memburuk.

"Toh Chan, ambil kembali laporan yang terlewat. Kalau tidak mau, nilai Toh Chan akan mendapat K semester ini."

Dengan nilai semester yang menjadi buruk.

"Tung...tunggu, Sensei mana bisa begitu. Jarak Eumah Sakit ke Kyodai itu memakan waktu tempuh 2 jam."

"Tidak mau tahu. Toh Chan balik kesana, atau nilai K."

".....Eh!"

***

Strawberry MoonWhere stories live. Discover now