56. Kabut Kecemasan

3 0 0
                                    

Bergegas, Yukako memasuki ruang ganti baju steril. Dia terkejut mendapati Hinako sudah berjongkok di lantai, sedangkan di sekitar gadis itu berserakan puluhan bilah pisau.

"Hi-Hina Chan!?"

"Jangan dekat-dekat!! Eh, ma-maksudku, Yuka Nechan tetap di situ saja. Bahaya, pisau-pisau ini tajam tahu."

"Tapi, Hina Chan. Wajahmu pucat begitu. Yakin, tidak butuh bantuan. Setidak-tidaknya, membantumu berdiri?"

"Enggak apa-apa kok, aku bisa atasi ini sendiri. Menata kembali pisau-pisau ini ke dalam lipatan baju, bukan barang sulit. Aku malah cemas kalau Yuka Nechan kemari. Salah-salah malah menginjak salah satu benda tajam ini. Bahaya tahu."

Hinako tidak melihat ekspresi Yukako lebih lanjut. Fokusnya kini tercurah pada alat-alat dapur di lantai. Soal membutuhkan bantuan, memang Hinako tidak butuh. Tapi, apa gadis itu kesulitan menata kembali pisau-pisaunya ke dalam lipatan baju, jawabannya adalah iya. Pisau fillet ini kan, harusnya ditaruh di atas sepatu kiri. Tapi, enggak muat. Sebentar, di sepatu kiri, atau bahu kanan sih.

Yukako sama sekali tidak paham-paham benar keruwetan benak Hinako dengan detil. Hanya saja pefasaannya berkata, Hinako sedang ada masalah. Apapun itu, yang jelas bukan persoalan sederhana. Bisa jadi masalah kenekatan penggemar garis keras, atau bisnis mesin penjual makanan otomatis yang banyak saingan, atau salah pakai warna gincu. Cemas atas hal yang tidak diketahui Yukako meremas-remas jemarinya.

Beberapa menit setelahnya, tetap tanpa menerima uluran tangan siapapun, seluruh pisau yang berserakan di lantai berhasil dibereskan. Hinako lega, tapi cuma sesaat. Tipis, tapi kabut kecemasan sudah menyelimutinya. Diteruskan atau tidak, benaknya masih menimbang.

Satu kesimpulan diambil bersama Hinako menarik napas.
"Yuka Nechan, apa tawaran bantuanmu tadi masih berlaku?"

"Ah, i-iya. Tentu, tentu saja masih berlaku. Hina Chan mau bantuan seperti apa. Mau kupapah keluar dari sini, atau kubuatkan minuman hangat untuk mengembalikan kesegaran?"

Buat minuman hangat ya, bisa-bisa seluruh Jepang gempar karenanya. Dapur salah satu laboratorium Universitas Kyoto meledak karena seorang profesornya tengah menyiapkan minuman hangat, atau tajuk semacamnya akan disiarkan media-media besar. Cukup menarik andai Hinako punya sedikit nyali untuk usil.

"Bukan, bukan bantuan seperti itu. Karena aku sedikit lupa beberapa skrip dan harus menghapal sebelum syuting, kayaknya aku enggak bisa ikutan memetik strawberry."

"Begitu ya, sayang sekali. Baiklah kalau begitu, Hina Chan tunggu saja di bawah. Akan kupetikkan strawberry terbaik untuk keperluan syutingmu."

Hinako mengangguk dengan wajah berseri sebelum keluar. Baginya yang biasa tampil, memasang raut berseri di tengah kepahitan hati bukan soal berat. Sekalipun ganjalan itu masih mengganggu saat menerima buah-buahan dari Yukako, dan melajukan kendaraan keluar kompleks kampus.

Menyusuri jalan gunung di tepian sungai, Hinako mengikuti mesin petunjuk arah untuk sampai di tujuan. Seputaran hulu Sungai Kamogawa, nuansa yang mendadak sendu dengan latar daun mapel kemerahan. Benar-benar spot terbaik di musim gugur.

Memasak di luar ruangan untuk situs berbagi video, bukan hal sulit. Strawberry sebagai bahan utama sudah disiapkan, tinggal penyesuaian kecil sana-sini sesuai situasi. Menghapal skrip apanya, kru sudah pasrah pada improvisasi Hinako. Dia mesti minta maaf ke Yukako perihal kebohongan ini kapan-kapan.

"U-um, Hinako Sensei. Apa bisa aku meriasmu sekarang?"

Seorang asisten yang disiapkan pihak talen mendekat sedikit ragu. Di lingkaran pekerjaan, tak ada yang tidak tahu perangai Hinako. Bicara soal asisten itu, penampilannya cukup unik dengan kimono.

"Sepertinya aku siap. Ah ya, kebetulan. Aku bawa alat-alat riasku sendiri. Semua ada di kursi belakang. Kuambil dulu, Ok. Eh, tapi kalau Asisten Chan mau bantu, enggak apa-apa juga kok."

"Kalau begitu, terima kasih Hinako Sensei. Saya akan ikut membantu, mohon kerjasamanya."

Mau di depan, atau di belakang kamera, tidak ada seorangpun yang sanggup bertahan dari pesona Hinako. Termasuk asisten tersebut. Dia begitu bahagia dekat-dekat idolanya, biarpun beresiko terkena tebasan kesasar. Masa bodohlah.

Satu set alat rias Hinako tempatkan di dalam kontainer. Asisten Chan menerima begitu berlebih selayaknya menerima pusaka negara dari kaisar. Berulang kali dia membungkuk sanbil berlinang air mata.

"Sudah, sudah, enggak perlu dijaga pakai nyawa segala. Ini kan cuma kosmetik, suatu saat pasti juga rusak atau habis. Lagian ini tuh endorse-an, jadi bakal diganti selama dalam masa kontrak. Eh, dekat kemari dong Asisten Chan. Mau bantu kenakan make up, masak jauh-jauhan begitu?"

Wajah asisten yang seperti siap buat altar pemujaan untuk seperangkat alat kosmetik itu terperenyak. Bergegas dengan langkahnya yang kecil, gadis itu mendekati tempat duduk idolanya.

Tidak jauh dari mobil Hinako terparkir, bangku portabel terpasang. Para kru yang jumlahnya tidak lebih dari lima orang, sibuk mempersiapkan set syuting. Kedatangan mereka hampir sama dengan tibanya Hinako, termasuk asistennya. Gadis berperawakan mungil yang sekarang sedang sibuk mengangsurkan apa-apa yang dibutuhkan Hinako.

Wajah Hinako yang segar terasa menonjol. Hanya butuh sapuan tipis untuk membuat karakternya lebih kuat. Terlebih, waktu untuk bersiap tidak terlalu banyak. Bukan suhu 10 derajat Celcius yang membuat waktu syuting terbatas, melainkan cahaya terik matahari saat tengah hari. Pengambilan gambar akan kurang menarik. Dan dengan pertimbangan seperti itu, sutradara yang sejak tadi melihat petunjuk waktu di sela kesibukan, memperingati Hinako.

"Baik. Persiapan di sini juga sudah selesai. Ah iya, Sutradara San. Seperti yang sudah aku katakan lewat telefon, aku sendiri yang akan bawa strawberry-nya. Bukan yang beku loh, ini masih segar, dipetik langsung dari rumah kaca kampus Kyodai. Tunggu sebentar ya, aku ambil dulu di mobil."

Mendengar ucapan sang cook artisant, semua kru saling pandang. Pikiran mereka dipenuhi pertanyaan, apa dia tadi salah makan, atau apa kepalanya habis terbentur sesuatu, atau apa semalam alien sudah mencuci otaknya. Karena biasanya, begitu ada beberapa orang lalu lalang di dekatnya, aura gelap mengerikan bakal menguar dari punggung Hinako. Lebih jauh lagi, refleks Hinako akan mengeluarkan pisau begitu ada orang masuk zona pribadinya.

Namun dengan segera, semua orang menggelengkan kepala tanda penolakan. Antara tidak yakin perangai orang bisa berubah cepat, atau bisa jadi Hinako yang berjalan mendekat bersama sekeranjang strawberry itu sedang melakukan trik tertentu. Apapun itu, mereka berharap pekerjaan syuting tidak menemui kendala berat.

Bila ditanya siapa yang paling terdampak atas perubahan ini, tentu Hinako sendiri. Dia sudah tidak lagi asal main pisau sembarangan, termasuk menguarkan aura intimidatif yang kental. Sejak mengambil strawberry dari dalam mobil, sampai mendekati meja masak untuk memulai bidikan pertama, kepala Hinako tak henti menerka-nerka penyebab fenomena ini. Untuk sekarang, perubahan baik ini semoga selamanya.

Strawberry MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang