31. English Breakfeast

7 4 0
                                    

Square - Enix.

Berada di deretan kantor yang berjajar rapi di Shibuya. Tampak mencolok ketimbang bangunan sejenis di sekitar.

Bersama Sumire, Tohru merasakan denyut suka cita yang menguar dari dalam, saat pertama menjejakkan kaki.

Jadi, dianggap seperti apapun, asal bisa berada lebih lama di sini. Lelaki Nakaoyama itu tidak keberatan.

"Yoshida San."
Tohru berada di samping Sumire.
"Silakan."

Perempuan itu tidak bergerak dari tempat duduk. Tidak juga menoleh. Hanya sedikit melirik. Untuk kembali tenggelam pada tumpukkan kertas di hadapan.

Dahinya berkerut dalam.

Yang dibaca, pasti bukan sesuatu yang mudah dipahami. Orang awam bisa-bisa berbuih, hanya membaca tiga kanji awal.

"...Letakkan, di situ."

Benar-benar tidak memberi keterangan cukup. Apa Sumire tidak melihat, bila di atas meja, sudah tak ada lagi ruang kosong.

Tohru, masih belum bergerak. Menimbang, juga mengamati, mau ditaruh mana, tumpukan berkas ini.

Pilihan jatuh pada satu tumpuk, di kanan Sumire.

Perempuan yang sempat melirik sejenak, ketika lelaki di sampingnya meletakkan tumpukan berkas yang dipegang, ke lantai. Tidak paham yang akan lelaki itu lakukan.

Mengambil pula bendel berkas dari atas meja ke lantai juga. Memindahkan tumpukan yang awalnya dibawa, ke atas meja, untuk kemudian ditimpa dengan berkas lama.

Kembali memeriksa berkas di depan, Sumire sedikit berbinar. Beda dari sebelumnya. Entah kenapa, menyusun berkas hari ini terasa, agak, menyenangkan. Terutama, menyaksikan aksi Tohru.

Dia. Lumayan!

Sedikit interupsi diterima, saat suara ketukan, terdengar dari pintu.

Sumire cuma melirik benda berkaca itu. Mulutnya hendak mempersilakan masuk, tapi Tohru duluan melesat.

Tempat keduanya berada merupakan bilik yang tak terlalu luas, tidak juga terasa sempit.

Aktivitas, serta lalu lalang di luarnya leluasa disaksikan dari dalam. Mengingat, semua dinding, dan pintu terbuat dari cermin dua arah.

Cukup aman, untuk tak terlihat. Meski Tohru menempelkan lekat keningnya sekalipun, pada permukaan. Hanya sekedar mengamati para kreator permainan beraksi dengan komputer grafis, hingga gawai canggih di meja.

"...Yoshida San."
Tohru bersuara setelah berinteraksi sejenak dengan sosok pengetuk pintu tadi. Langkahnya terasa mendekat setelah menutupnya.
"Silakan."

Terasa benar himpitannya, bersama kalimat, silakan, itu. Napas Sumire terhela, dalam.

Kepalanya berpikir cukup dalam. Apa berkas-berkas menggunung di mejanya, belum cukup juga. Padahal, biasanya tidak sebanyak ini.

Denyut seketika menerjang kepala Sumire. Sudah terlalu memaksa, sepertinya. Perempuan tersebut memilih, menegakkan badan, menghempaskan punggung pada sandaran kursi.

"...Letakkan, di situ."
Memilih memejam untuk sesaat.

Kertas, dan layar komputer benar-benar menghisap energinya.

Ruangan sesaat sunyi. Hanya suara gesekan berteman dentingan ringan merambat telinga. Tapi, Sumire mencium sesuatu yang menyenangkan.

"Yoshida San. Silakan."
Tohru kembali terdengar.
"Mumpung masih hangat."

Kalimat yang tidak biasa. Terlebih, aroma setelahnya. Terdorong oleh puluhan tanda tanya yang berkedip-kedip di atas kepala, Sumire membuka mata.
"Apa, ini?"

"Snack Time, mungkin. Seorang Office Boy mengantarnya, tadi."
Setelah meletakkan sesuatu di meja Sumire, Tohru menarik diri.
"Beruntungnya, English Breakfast, kesukaan Yoshida San, juga ada."

Berpaling cepat. Tohru yang tersenyum canggung, menjadi sasaran hujaman tatapan Sumire. Dia, minta penjelasan.

"A...aku, tidak menguntit, sungguh."
Lelaki itu kelabakan menerima reaksi balik di luar dugaan. Meski mulutnya tertutup rapat, cara pandang Sumire lebih tajam ketimbang silet.
"Hanya melihat, ibu sering membuat, ini, buat Yoshida San, waktu ke rumahku. Tempo...hari."

Nada akhir Tohru, melirih. Tidak terlalu yakin dengan pernyataannya sendiri. Terlebih, di dalam tatapan menyelidik Sumire. Matanya, serupa alat inframerah yang mampu menyalin isi kepala. Dahi Tohru berkeringat dingin.

Udara baru benar-benar bisa dihirup, ketika perempuan itu beralih pada sajian di hadapan.
Benar-benar Snack Time!

English Breakfast di dalam cangkir di atas tatakan. Asap mengepul-ngepul di udara, menghantar aroma wangi hingga penciuman. Irisan lemon berada di tempat terpisah, juga dengan Sugar Block. Pasangan sehidup semati teh Sumire.

"...Jadi, kau sudah ingat?"
Sumire, bertanya sembari memasukkan satu balok gula ke dalam.

"Itu. Tentu saja."
Tohru mencoba mengenang.
"Ketika Yoshida San berkunjung ke rumah. Pernikahan waktu itu."

Dahi Sumire berkerut, bukan karena minuman yang dia sesap terasa kurang sedap. Melainkan, jawaban barusan. Ada kurang puas di raut wajahnya. Hatinya hampa. Lubang di sana masih akan terbuka, dan kosong. Meski pikirannya, bisa maklum. Mungkin Tohru lupa.
"...Oh."

Waktu terus terputar. Perlu beberapa jam untuk menyelesaikan semua berkas, setelah Snack Time.

Tapi, sebelum melenggang keluar, Sumire tentu harus menyerahkan hasil auditnya.
Pada Presdir.

"...Jadi, ini hasil pengamatan Yoshida Sensei."
Presdir San dengan alis panjang, membuka berkas laporan.
"Hasil audit pada kwartal ketiga ini, aset Square - Enix akan terus stabil. Dan, berimbas pada kepercayaan pasar, serta nilai saham yang masih akan stabil, hingga akhir tahun."

"...Seperti itu."
Sumire membalas singkat.

"...Ah. Peringatan apa ini."
Presdir San mendapat kejutan, ketika membalik halaman.
"Untuk tidak melakukan proyek-proyek ekstrim, hingga akhir tahun depan. Hei, hei, ayolah Yoshida Sensei. Bukanntya, setelah mengikuti saranmu, merger dengan pengembang lain, keuangan perusahaan akan stabil."

"Silakan, saja."
Dahi Sumire berkerut, tak suka.
"Maka, aku mundur dari pemulihan keuangan perusahaan."

"Eh. Jangan diambil hati. Ini cuma bercanda. Bercanda."
Alisnya bergoyang saking panjangnya, berbanding terbalik dengan kepalanya yang mengkilat. Tawa rentanya seperti dipaksakan. Lebih terdengar orang tua usia senja yang tersumbat asma.
"Proyek Final Fantasy Spirit Within memang menyebalkan. Tapi, bukannya Square - Enix butuh ekspansi."

Dari balik bingkai kacamata, Sumire melirik lawan bicara. Sebelum beralih. Kakek tua ini benar-benar tidak paham keseimbangan perusahaannya sudah hampir anjlog. Menahan kesal dari lobby tak penting, Sumire memilih berdiri.

!?

Presdir San, tergeragap melihat aksi Sumire. Perempuan yang terasa lebih dingin dari salju puncak Fuji. Kakek tua itu khawatir bila hati Sumire terbuat dari Ice Pack.

"Terima kasih atas kerjasama Sensei."
Presdir San membukakan pintu.
"Juga untuk asisten baru itu. Padahal, Sensei biasa kerja sendiri."

Hendak melewati gawang pintu, Sumire berhenti mendadak. Tidak peduli reaksi Presiden Direktur Square - Enix.

Menahan begitu lama, lidah Sumire gatal ingin menusuk.
"Dia. Suamiku."

Sebelum beranjak pergi meninggalkan kakek tua itu mematung di tempat.

Sumire tahu, obrolan tadi, cuma mengulur waktu. Mencari kesempatan untuk ajakan kencan. Yang sudah juga Sumire tolak milyaran kali.

Dasar, hidung belang.

Tidak merasa Sumire seumuran cucunya apa!

Sumire berjalan gusar melewati koridor. Turun dengan lift. Menginjak lantai dasar setelahnya. Tempat janji temu dengan Tohru. Meski, setelah sampai, lelaki itu tak nampak wujudnya. Tapi, ribuan lebih baik, ketimbang satu kurungan dengan Ecchi Jisan di atas. Tanpa memperhatikan sekitar, perempuan tersebut mencari tempat duduk.

Strawberry MoonWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu