43. Mencuri Dengar

4 1 0
                                    

"Yang seperti ini, apa masih bisa diminum manusia. Nii~San?"
Meletakkan kembali cangkirnya ke atas tatakan, Hinako mengerutkan dahi. Seperti baru saja menelan sabun cuci tangan.
"Ulangi!"

"...Eh!?"
Di depan kompor tempatnya menjerang air, keringat Tohru sudah mengalir begitu dingin. Api di sana tak mampu menghantarkan panas dengan benar.
"Ta..tapi, ini sudah cangkir yang ke-12, aku tak punya waktu cukup lagi untuk membuatnya..Hina San...!"

Seketika suara desing angin terbelah terdengar, terlalu dekat dengan telinganya. Tohru rasa, sempat menyentuh rambutnya juga. Sedetik berlalu, suara logam berdenging setelah menancap merambah telinga.

Tohru melihatnya. Satu pisau sudah menancap pada talenan kayu yang tergantung di dinding, tepat di depan Tohru. Ludahnya kian sulit tertelan ketika sesuatu menyentuh punggung tangannya. Dua helai rambut terpotong ada di sana.

Mengikuti arah pisau tadi terlempar, membuat aliran darahnya putar balik. Hanya bersekat meja konter, Hinako duduk di meja makan, seberang sana, memunggungi. Namun, tangan kanannya mengarah ke belakang, persis orang usai melempar.

"Katanya, Nii~San mau kuajari membuat minuman untuk keempat istrimu. Aku menolak, Nii~San paksa. Setelah aku mau, sekarang malah mau mangkir. Bagaimana, coba."

Masih belum berbalik, Hinako berucap dengan, masih suara cerah biasanya. Namun hawa pekat yang menguar dari punggungnya, sudah membumbung naik, menyentuh langit-langit lantai 21.

"I...itu, benar."
Ketel yang Tohru tumpangkan di atas perapian, berisik minta segera di angkat."
Tapi, hari ini masih ada hal lain yang harus kukerjakan. Apa tidak bisa diteruskan nanti sore saja?"

Jarak antara dapur, konter, dan tempat duduk Hinako tak lebih dari 4 meter. Meski, Tohru mengambil cangkirnya, kembali menyeduh, suara dari area sekitar itu pasti dengan mudah menyeberang ke telinga.

Termasuk, desah berat Hinako.

Perempuan itu berbalik. Bola matanya seketika bergerak-gerak mengikuti pergerakan Tohru.
"Justru itu. Strawberry Hot Milk ini, untuk Yuka, bukan. Tak ada salahnya Nii~San melakukan yang terbaik."

"Dimengerti. Hina San."

Sudah sepekan lebih sejak mereka pulang dari Stasiun Kawaramachi. Hinako, yang tidak puas namanya hanya dipanggil sependek itu, meminta Tohru melakukan sesuatu. San, tentu saja tidak masuk hitungan. Selain terasa begitu formal, panggilan itu lebih cocok ditujukan kepada mereka yang sudah berusia matang.

Bukan untuk perempuan 21 tahun, sudah menikah pula!

Hening sesaat merambah. Cuma suara TV Plasma saja yang menggema di dalam lantai. Semua orang sibuk dengan pikiran masing-masing.

Kecuali Tohru dalam kitchen bar. Lelaki itu masih asyik dengan Strawberry Hot Milk-nya. Di ujung, tepat di bawah kran, tiga piring kotor lengkap dengan 12 gelas bekas eksperimen begitu menggunung.

Andai dia tak punya cukup waktu, semua akan dibersihkan nanti.

Tinggal dua langkah, dan resep kali ini selesai. Meski suara dari belakang membuat fokusnya tercuri sejenak.
"Pakai sirup jagung, jangan gula, atau foam-mu gagal berkembang."

Menyebalkan memang. Dituntun satu-satu seperti anak kecil. Sejak tadi, Hinako benar-benar tak separu-separuh memberikan instruksi.

Menyalin semua saran yang ada, Tohru segera menuju meja makan begitu usai. Meletakkan gelas termos bersama dua kotak bento bermotif sakura.

"Ini."
Hinako menggeser gelas berisi Strawberry Hot Milk, yang dibuat sebelum ini, pada Tohru. Perempuan itu sempat melirik gelas termos yang dilepas, sebelum menatap lelaki tersebut.
"Yakin, Nii~San tak ingin aku mencobanya dulu?"

Cairan merah muda di sana masih lebih dari setengah gelas. Tanpa pikir panjang, Tohru meminumnya. Dia benar-benar tak paham, minuman selezat ini, Hinako katakan tak bisa disebut minuman.

Setelah tandas, Tohru membuka kembali termosnya, membagi sedikit, sebelum diserahkan kembali pada Hinako.
"Silakan dicicipi, Hina San."

Napas Hinako tercekat. Dengan perasaan ragu dia mengambil gelasnya. Memandang cukup lama benda bening ini, perempuan itu berusaha menendang jauh-jauh pikiran, inikan ciuman tak langsung, yang hampir saja berhasil menginvasi seluruh isi kepalanya.
"...Ya...yang ini, a...aromanya cukup. Tidak hambar seperti kesukaan Sumi."

Wajahnya panas!

Sumire, memang sudah ada di situ sejak tadi. Menyaksikan drama Tohru Hinako, sembari melihat TV dengan tayangan berisi angka-angka yang terlalu banyak, menikmati English Breakfast-nya.
"Aku tidak ikut-ikutan. Kenapa harus dibawa-bawa juga!?"

Pagi yang terlalu cerah, begitu sayang jika harus terbuang untuk mencakar wajah seseorang. Demi kembali meraih ketenangannya, Sumire kembali menyesap tehnya yang memang cuma tersisa satu teguk saja. Gangguan sekecil apapun, jika terjadi saat fokus membaca pergerakkan pasar modal, benar-benar menjengkelkan.

Mengabaikan Hinako yang sedang menyesap sesuatu dengan, entah kenapa, wajah semerahmuda minuman dalam gelas genggamnya, Sumire berpaling.

Dan, memilih menatap Tohru yang berjalan mendekat, saat lelaki itu bertanya apa cangkirnya sudah kosong.
"Jadwal Aniki pagi ini apa?"

Tohru menarik mundur gelas Sumire, setelah dipersilakan. Dengan dahi berkerut lelaki itu berusaha mengingat.
"Ke Rumah Sakit. Kurosaka Sensei bisa pulang hari ini, sepertinya."

"...Sesuai dugaan."
Sumire mengangguk-angguk.
"Rencana kita bisa dilakukan, bukan?"

"Tentu saja, Sumi Hime."
Bergeser, Tohru mengambil gelas Hinako, yang langsung mencabut pisau, karena langsung main ambil saja, sebelum lari ke dapur.
"Sensei akan mudah diawasi, terutama dari kebiasaan buruknya, jika ada di sini."

Dalam balutan pakaian kerja formal, dengan elegan Sumire bangkit.
"15 menit. Aku tunggu Aniki di mobil."

"...Eh. Memberiku tumpangan?"
Tohru merasa perlu penjelasan.
"Bukannya tempat yang akan Sumi Hime datangi, dan Rumah Sakit tempat Kurosaka Sensei dirawat, berlawanan arah?"

"Siapa bilang tumpangan sampai Rumah Sakit."
Sumire melirik ke arah Tohru.
"Aku turunkan sampai halte depan Sirensoft, bisa kan."

Tohru ternganga, sedangkan tawa Hinako meledak. Jika hanya halte depan gedung ini, harus benar pakai mobil.

Tapi, sebagai bawahan yang baik, Tohru menurut saja ikut Sumire setelah menyambar bawaan yang harus diserahkan ke Yukako.

Kurosaka Yukako, merupakan salah satu istri Tohru. Perempuan itu juga Guru Besar yang memberi rekomendasi beasiswa padanya. Beberapa pekan ini, perempuan tersebut jatuh sakit karena kelelahan.

Sebagai asisten yang baik, meski ditunjuk semena-mena, Tohru jugalah yang membereskan semua jurnal profesor cantik itu.

"Aku datang."
Setelah bermenit-menit di jalan, akhirnya Tohru sampai ke kamar Yukako.

Sempat tadi, sekilas mencuri dengar percakapan Yukako dengan seseorang lewat ponsel. Tentu saja akan kuberhentikan setelah semua usai, kita sambung nanti, atau percakapan semacam itu.

Sebelum, perempuan tersebut memutus sambungan.
"Selamat datang. Toh Chan."

Senyum Yukako terkembang tanpa cacat. Terlalu sempurna untuk melihatnya menyambut Tohru, tiap pagi di Greenhouse Kyodai. Seperti menyambut suami habis kerja lembur semalam suntuk.

Terlalu megah untuk senyum biasa, balasan Tohru. Sambil menerka-nerka sejak kapan Yukako diperbolehkan Rumah Sakit memakai ponselnya lagi, lelaki itu masuk lebih dalam, meletakkan semua barang bawaan pada satu-satunya meja di kamar itu.
"Keadaan Sensei pagi ini terlihat segar. Apa sudah jauh lebih baik?"

"Ara ~ ara, apa ini.. Rayuan di pagi hari."
Yukako, berdecak pura-pura. Terselip samar senyum usil perempuan itu.
"Bukankah, setiap pagi aku selalu segar. Harus seperti itu bila melayani suami semuda Toh Chan."

Eh, hei. Apa topik pembicaraan barusan!

Strawberry MoonWhere stories live. Discover now