49. Dasar Neraka

3 2 0
                                    

Mendadak, Tohru merasa paku dan, duri bermunculan di kursi tempatnya duduk. Dengan salah satunya melesat, menembus empedu lelaki tersebut.

Pahitnya, sama persis dengan kalimat yang baru saja Yukako selesaikan.

"...Begitu rupanya, Sensei."
Tertunduk, Tohru memandang kosong lantai di bawah kakinya.

"...Begitulah adanya, Toh Chan. Maaf."
Untuk kesekian kali, Yukako menghentikan lelehan air mata dengan usapan asal-asalan dari punggung tangan.

Setiap kali napasnya terambil dalam-dalam, semakin bertambah kali lipat irisan yang mengiris jantungnya. Seumur 29 tahun hidupnya, baru kali ini dia merasakan rasa nyeri tak terlukiskan seperti ini.

Lama, Tohru melihat tempatnya berpijak. Seolah benda itu bisa anjlog tiba-tiba bila tak diperhatikan seperti itu. Hingga dasar neraka.

Mengerjap beberapa kali dan, mengambil napas setelahnyaTohru mendongak. Raut Yukako yang biasanya tersaji anggun, kini tampak begitu berantakan. Lebih terlihat berserakan ketimbang hutan pinus yang baru saja diterjang taifun.
"Jangan. Tidak perlu minta maaf, Sensei. Tidak ada yang benar-benar salah di sini."

"...Tapi. Toh Chan..."
Meski berusaha menguatkan diri namun, getar dalam suara Yukako masih terdengar.

"Tidak apa-apa Sensei. Memang, bohong bila aku bilang, semua akan baik-baik saja atau, aku paham ini semua. Tapi, andai saja aku berada di posisi Kurosaka Sensei mungkin, aku akan melakukan hal serupa."
Tohru menatap lembut dan, tersenyum.
"Sebuah perusahaan akan sulit bertahan apabila semua komisaris tidak berada di jalan yang sama."

Akan tetapi, bagi Yukako, itu adalah senyum penuh kepedihan. Dan, melihat berapa dalam luka itu dia gores, lewat pantulan tarikan dua sudut bibir lelaki di depanya, perempuan tersebut baru sadar seberapa jahatnya dia.
"....."

"Sirensoft begitu berharga bagi Sensei."
Ucapan Tohru berlanjut.
"Sama berharganya dengan Ai Chan, Sumi Hime, Hina San dan, strawberry. Cukup masuk akal bila Sensei bertindak sejauh ini. Sampai harus bertaruh sebesar itu untuk menyatukan pucuk pimpinan Sirensoft."

"Toh Chan...!?"
Yukako sudah menyiapkan kata-kata di ujung lidah.

Saat harus berhenti di detik selanjutnya. Suara dering tertahan merambah telinganya. Ketika perhatiannya tertuju pada Tohru, lelaki itu meminta izin untuk melihatnya sejenak. Tak ada jawaban lain bagi perempuan itu kecuali, mempersilakan.

Meski, bila diingat-ingat, Tohru tak pernah meminta izin sekalipun bahkan, andai mahluk asing berhasil menyerang bumi. Mau bagaimana lagi, lelaki 19 tahun di depannya ini perlu pengalihan untuk mengumpulkan remah-remah hatinya, setelah terbang tinggi beberapa saat lalu dan, dihempas dengan tragis barusan.

Sementara itu, Tohru bergeser dari tempatnya duduk. Mencari tempat berjarak namun, masih berada di dalam balkon, dari Yukako.

Lelaki itu sudah melihat nama pemanggil yang terpampang lewat layar ponsel.

Dia menghela napas, menenangkan diri sebelum, mengangkat panggilan.

Sedangkan, hal serupa menenangkan diri juga Yukako lakukan di tempat duduknya. Menarik napas dalam-dalam berkali-kali namun, nyeri itu belum juga enyah dari dalam sana.

Semua usaha itu Yukako rasa sia-sia belaka ketika tanpa ada penyebab jelas, airmatanya mengalir tanpa henti. Saking gemasnya, dia sampai menggigit bibir bawahnya sendiri.

Perempuan tersebut merasa ada pergerakan di depannya. Mengalihkan perhatian, Yukako memandang ke sana.

Tampak, Tohru kembali ke tempat duduknya setelah menjawab panggilan telefon dan, menjauh dari Yukako untuk beberapa menit.

Lelaki itu menghembuskan napas dramatis, membuat perempuan di depannya menelengkan kepala tanda tak paham dan, meminta dijelaskan.

"...Apa ada sesuatu terjadi, Toh Chan?"
Yukako yang tak bisa menahan diri dan, sudah gatal bertanya, berucap.

"...Sepertinya sebentar lagi, aku harus ke bawah, Sensei."
Pandangan Tohru terasa ragu. Dia benar-benar tidak terlalu yakin.

Meski dari sudut pandang Yukako, lelaki di depannya terkesan menghindar. Terbukti dari arah mata yang tak pernah menatapnya.
"Oh, ke tempat produksi. Apa panggilan tadi dari Sora Si Programmer?"

Pelan, Tohru mengangguk tapi, Yukako merasa ada sesuatu yang ganjil. Perempuan itu berkerut dahi.
"Kenapa, Toh Chan? Apa ada sesuatu yang buruk terjadi?"

Kerutan di dahi Yukako lebih dalam ketika tanggapan lelaki di depannya malah menggeleng.
"Lalu, kenapa? Wajahmu terlihat suram begitu."

"...Sora bilang padaku, bahwa sekuel Strawberry Moon yang kita berdua beri judul, Strawberry Moon ~ Sing With Silent, sudah masuk pada tahap akhir. Tinggal penyesuaian kecil di sana-sini, menurut estimasiku, malam ini akan selesai."
Kembali, napas Tohru terhela berat.

"Tunggu tunggu, tunggu dulu, Toh Chan."
Yukako benar-benar gagal paham.
"Bukannya itu kabar bagus. Berarti kita bisa mendaftar ke penyelenggara Tokyo Game Show, untuk launching comeback, jauh lebih awal. Kabar sangat bagus begitu, kenapa terlihat menyusahkan bagimu?"

"Bukannya Sensei tahu, bila proyek ini selesai, apa yang akan terjadi setelahnya?"
Tohru, setelah beberapa saat menghindar, baru kali ini menatap Yukako.
"Apa Sensei baik-baik saja dengan itu?"

Dengan mata terbeliak Yukako menegang di tempat. Pertanyaan terakhir baru saja tersebut, menghantam kesadarannya. Perih luka iris itu kembali terasa.

"Tidak, Toh Chan. Aku, sampai kapanpun, tidak pernah siap."
Yukako menggeleng keras, mengenyahkan desakan matanya yang kembali berlinang.
"Aku ini bukan benda yang tak punya perasaan. Setelah semua yang terjadi padaku, kamu, Aina, Sumire, Hinako dan, Sirensoft, kau tahu."

Yukako berhenti meracau ketika, Tohru tiba-tiba bangkit dari tempat duduk.

Membiarkan ribuan tanda tanya melayang di atas kepala dosen cantik tersebut, Tohru meninggalkan balkon, masuk ke dalam kamar.

Yang hampir bisa Yukako pastikan, dia akan seorang diri ditinggal di sini, sendiri. Di sebuah balkon gedung berlantai 22, merasakan jingga matahari tenggelam yang, entah kenapa, terasa begitu menusuk.

"Ini."
Sayangnya, meleset. Tohru kembali setelah beberapa menit.
"Sensei bisa menyeka airmata dengan ini. Jauh lebih baik tissue, ketimbang diseka asal-asalan pakai punggung tangan seperti itu."

Melihat sekotak tissue yang Tohru bawa, bukannya berhenti, tetesan itu malah deras mengalir.
"Kenapa, Toh Chan. Kenapa masih baik seperti ini."

"Tidak tahu juga, Sensei. Melihat Kurosaka Sensei seperti ini, di dalam kepalaku hanya ada dua hal yang memenuhinya. Pertama, sudah jelas, Sensei adalah istriku dan, kedua, ketidakmampuan mengurus diri sendiri. Bagaimana aku bisa tenang dengan itu semua."

"....."
Lidah Yukako kelu seketika.

Terlihat Tohru siap berbalik untuk kedua kali. Rasanya percuma menanti tanggapan perempuan itu, menilik dari keadaannya.
"Sora menunggu, Sensei. Tidak enak membuatnya lama."

Beriring semilir angin diketinggian, berteman pendar mentari yang sudah hampir habis jingganya, Tohru bergerak perlahan memasuki ruang peraduan Yukako dengan latar belakang isak tangis pemiliknya.

Terus berjalan membelah ruangan, kepalan Tohru yang mengerat, bergetar kuat. Lelaki itu tidak menyangka, melawan dorongan untuk tidak menghampiri Yukako hanya untuk membagi rasa tenang, bisa sesulit ini.

Tapi, Yukako sudah memutuskan.

Dan, Tohru harus mendukungnya.

Strawberry MoonWhere stories live. Discover now