51. Memburu Waktu

6 1 0
                                    

Meneruskan sampai batas keterlaluan, tentu Tohru tak punya nyali akan itu.

"Baiklah."
Tohru menurunkan tekanan.
"Aku akan tutup mulut soal ini asalkan, kalimat yang kau keluarkan setelah ini adalah, letak sesungguhnya file Strawberry Moon disimpan."

Sora mengangguk tanda setuju. Tentu saja, memangnya dia punya pilihan lain selain itu.

Tohru segera berselancar begitu Programmer kurang tidur itu mengeja sesuatu.

Terlihat, ini pekerjaan sederhana. Memindahkan tanda panah dan mengklik sana-sini, apa susahnya.

Ada fasilitas pencari yang canggih.

Akan tetapi, memindai dan, memilah file dalam folder, di tengah kepingan cakram berkapasitas milyaran byte, akan benar-benar mengeksploitasi indra penglihatan begitu keras.

Semburat kelegaan berpendar di mata Tohru yang memantul layar Plasma di depannya, ketika dia bertemu dengan apa yang dicari, baru saja.

Dengan ini, tinggal dua langkah tersisa dan, sekuel Strawberry Moon melenggang ke Tokyo Game Show, pikir Tohru.

Kerja mati-matian yang, nyaris membuatnya jadi mayat hidup, tiga bulan terakhir.

Melihat ke arah lain dari monitor di depannya, Tohru mendapati Sora di tempat duduk seberang sana. Terbenam dalam di sandaran kursi, kedua tangannya menjuntai lemas ke bawah. Kepala menengadah melewati sandarannya, mata terpejam erat. Tubuh terkulai serupa konnyaku.
Sekarat!

Andai tak terdengar dengkur keras dari mulut Sora yang terbuka.

Badan lelaki itu sudah sampai batasnya. Tidak mengherankan karena, Tohru merasakan hal yang serupa. Tak ada bedanya antara karyawan penuh seperti Sora atau, pekerja paruh waktu seperti dirinya.

Kalaupun menjadi Game Tester semudah orang kira, mungkin mereka bakal berpikir ulang bila menyangkut pemeriksaan bug dan, malfungsi lainnya.

Tohru tak perlu berpikir dua kali.

Menekan Enter!

Detik berikutnya, bar parameter file tersalin ke komputer lain muncul di layar.

Persentasenya terus merayap seiring bertambahnya waktu.

Meski belum selesai sepenuhnya namun, hal ini sudah mampu membuat senyum Tohru terkembang.

Dan, akan bertambah lebar setelah melewati dua proses terakhir.

Tapi!

Sesuatu terjadi!

Binar wajah Tohru berubah jadi kerut dalam saat bar salinan tidak bergerak dari angka 98%.

!?

Berubah jadi degub jantung kuat saat sirine menggema dalam ruangan. Bersumber dari komputernya sendiri.

Gawat!

Tanpa pikir panjang, Tohru beranjak, membangunkan Sora.
"...Sebenarnya, data macam apa saja yang tersimpan di komputermu?"

"...Ng."
Berjuang mengumpulkan nyawa yang selama 3 bulan ini tercerai-berai, Sora berusaha memahami keadaan.
"Ada perintah baru, Kapten?"

Sungguh sangat paham!

Ingin rasanya Tohru mengangkat kursi yang dia duduki tadi, melemparnya ke kepala Sora atau, mencabuti bulu kaki lelaki tersebut sampai bersih.

Namun, Tohru cuma mengerang sebagai pilihan.
"Hei, cepat bangun. Atau, kita gagal memburu waktu untuk ikut Tokyo Game Show. Ayolah, cepat!"

Demi mendukung usahanya, Tohru terpaksa mengguncang-guncang tubuh Sora. Sedangkan, suara sirine peringatan meraung tanpa putus, membekap telinga, membuat ruangan penuh dengan gemanya.

"Yo, Bro."
Sora berkerut dahi setelah kesadarannya kembali. Butuh perjuangan keras Tohru untuk hasil itu.
"Kenapa anti virusmu bisa aktif begini?"

"Itu seharusnya pertanyaanku, tahu."
Tohru menceritakan semuanya secara singkat. Rasa gatal ingin segera mematikan suara bising tersebut, memburunya. Dia berharap, tak ada hal genting setelahnya.
"Karena itu, kau harus tangani komputermu, agar antivirus ini bisa kumatikan."

"Tidak semudah itu, Bro!"
Secepatnya Sora bergegas mendekati komputernya.
"Virus ini sengaja aku Hidden untuk menjaga rahasia perusahaan dari penyalinan tanpa izin. Waktu kita tak banyak untuk menkarantinanya. Atau, semua data file berubah menjadi 1 kilobyte dalam sekejab."

"...Tung...tunggu dulu."
Kini Tohru menyesal tidak memilih untuk melempari Sora dengan kursi dari tadi.
"Bagaimana kau menyimpan barang seberbahaya itu di sini!"

Dengan kalang kabut seolah dikejar hantu Sadako, dua sahabat itu duduk di depan monitor masing-masing. Jemari mereka menghantam cepat permukaan papan kunci. Berlompatan seperti baru saja menekan bara.

Hasil positif tidak juga kedua patner main game itu dapatkan, meski sudah berjam-jam fokus mereka diperas.

Akan tetapi, titik terang akhirnya menghampiri di saat terakhir. Ketika mereka mencapai batasnya sedikit lagi.

Menjelang pagi, mereka tersungkur di tempat duduk masing-masing. Bersama Sora yang tak putusnya meracau, aku akan mati, aku benar-benar akan mati, andalannya itu.

Sayangnya, Tohru tak punya banyak waktu. Dengan sisa tenaga yang, untungnya, masih tersangkut sedikit di lutut, dia beranjak. Menghampiri ransel besarnya sebelum disangkutkan pada punggung.

"Sejak semalam sebenarnya aku penasaran. Mau dibawa kemana ransel besarmu itu?"

Semua tindakan Tohru terhenti. Dia benar-benar tidak memperhatikan, sejak kapan Sora berhenti meracau.

"Aku mesti bergegas."
Tohru berbalik setelah sekilas melihat Sora.
"Mengejar jadwal kereta pagi ke Nakaoyama."

"...Eh!"
Terperanjat, juru program itu sampai bangkit dari duduk, mengabaikan tubuh lemasnya.
"Apa ini tidak terburu-buru? Apa kau mendapat tekanan kerja hingga memutuskan pulang?"

Tohru di tempatnya berdiri, menggeleng.
"Tidak, tidak seperti itu. Kau tahu, keluargaku di Nakaoyama punya kebun strawberry. Oleh karena itu aku dapat tugas dari kampus untuk membuat sampling untuk diteliti. Juga bersamaan akan datangnya musim dingin. Aku mesti segera mencabuti pohon-pohon perdu yang ada di luar ruangan sebelum salju pertama turun. Atau, aku harus menggali tanah keras hanya untuk mengeluarkan akar yang tertinggal di tengah suhu udara kurang dari 0 derajad."

"...Begitu."

Ingin sekali Sora mendekati patnernya, menyalurkan kekuatan serta dukungan yang dia sendiri tak paham kenapa juga dia mesti melakukan itu.

Sedangkan di seberang sana, Tohru berdiri, diam. Sekali lagi, lelaki itu menguatkan hati. Meninggalkan masa lalu, semanis apapun itu, seperti kerja paruh waktu di Sirensoft atau, keempat istrinya dan, menyambut masa depan meskipun, tidak pasti.

Bersyukurnya, untuk saat ini, harapannya agar Sorra tidak mendekat, terkabul. Tohru tahu benar dari sorot matanya, lelaki itu ingin menghampiri tapi, dia tidak. Paling tidak, dia tak melihat kepalan tangan yang mengerat kuat, menahan jutaan emosi.

"...Baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu."

"Tunggu! Ini tidak berarti kita tak bisa bertemu lagi, bukan?"

Kali ini, Tohru menatap Sora sambil tersenyum.
"Kau ini bicara apa. Di luar sana, masih ada ribuan judul game yang mesti ditaklukkan. Dan, aku tak ingin melakukannya sendiri, tahu."

Semua itu berakhir dengan Tohru yang pergi meninggalkan ruang kerja dan, Sora yang mengantar kepergiannya dengan tatapan sebelum, menghela napas berat.

***

Strawberry MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang