19.Bukan Asisten

9 6 0
                                    

Tangannya masih menggenggam ponsel pintar, saat benda persegi itu diturunkan. Satu napas terhela berat setelahnya. Sulit memang mengatur jadwal yang tiba-tiba berbenturan.

Sudah menjadi rutinitas harian bila tiap pagi, Tohru akan datang ke kampus, setelah pekerjaan di Sirensoft usai. Menemui Yukako, membantunya dalam bekerja, merawat strawberry di Greenhouse, dan mencatat keterangan yang penting sebagai mahasiswa.

Masalahnya, pagi ini sedikit beda. Aina menyeretnya untuk ikut, dengan alasan, tidak mungkin membawa tiga koper besar, yang bahkan mampu menyimpan anak gajah itu, sendirian.

Bukannya, pilihan koper itu, sejak awal, adalah pilihan Aina sendiri. Kenapa juga, saat membawa, mesti merepotkan orang lain.

Napas berat Tohru terhela. Bersama ponsel yang masuk kembali ke saku, dan telinga panas mendengar ceramah panjang Yukako.

Mengalihkan itu semua, lelaki itu melayangkan pandang. Sejak tadi sebenarnya, dia tak habis terkagum. Ini bukan main-main. Sirkuit besar kebanggaan bangsa. Sudah dia pijak tanahnya.

Suzuka!

Biasanya hanya bisa dilihat di TV. Menjadi pembuka tengah musim balapan jet darat. Kemegahannya sulit dicari kata sepadan jika menatap langsung.

Meski menjelang siang, saat tiba, namun suhu merayap panas tidak menurunkan semangat. Termasuk Aina yang tengah adu urat dengan petugas jaga di depan sana.

Mendorong kembali Troley penuh barang bawaan, Tohru melangkah lebih dekat.

"Tidak bisa, Nona. Anda sendiri tahu prosedurnya."
Security San mencoba menahan.

Aina yang meradang.
"Apa kau orang baru di sini. Bukannya, tiap pembalap berhak memasukkan satu orang ke dalam lintasan!"

"Itu aturan lama, Nona."
Security San mencoba berkilah.
"Mengingat seringnya usaha sabotase belakangan ini, tanpa izin dari Team Director, orang luar dilarang masuk. Tanpa kecuali."

"Sialan, kau. Memang kalau peraturan, harus sekaku itu."
Aina sudah tidak bisa menahan diri untuk tidak menelan kepala Security San.
"Heh. Mizutani. Apa yang kau lakukan. Lepaskan, aku. Si sialan ini, belum tahu rasanya aku hajar."

Di saat yang cukup singkat, Tohru berhasil bertindak. Bergerak dengan cepat, menahan pinggang Aina.

Perempuan itu meronta hebat dalam dekapan. Tentu saja, seperti yang bisa diduga dari orang yang terbiasa olahraga. Begitu kuat, dan bertenaga. Tohru sampai-sampai tak mampu menahan terlalu lama.

"Ya...Yamauchi. San. Tenangkan dirimu."

"Tidak mau!"
Aina mencoba lepas dari belitan.

"Tapi. Kalau wartawan tahu, bagaimana?"
Tohru menahan diri agar tidak jatuh terhempas.

"Aku. Sama sekali. Tidak. Peduli!"
Aina kian menjadi.
"Lepas! Atau, kau kuhajar di sini sekalian."

Kepala Tohru mundur ke belakang saat lengan Aina mendorongnya.
"Tapi, Yamauchi San. Bukannya tidak ada masalah yang bisa selesai dengan kekerasan."

Pergumulan keduanya berlangsung, saat matahari sedang bersinar penuh. Juga di depan Security San yang tengah menatap linglung pergulatan di depannya.

Tak beberapa lama. Seseorang dengan seragam serupa yang Aina kenakan, datang dengan tergesa-gesa. Setelah berbincang singkat dengan Security San, orang itu datang menghampiri Aina, dan Tohru.

"Kalian berdua sudah bisa masuk."
Orang yang baru datang tersebut berpaling pada Tohru.
"Kamu sudah bisa melepas Aina sekarang."

Menurut, Tohru merengganggkan dekapan. Disambut dengan hempasan dari Aina. Perempuan itu melangkah lebih dulu dengan gusar.

Meninggalkan teman satu Tim, dan Tohru yang kembali hendak mendorong Troley.

"Hei, Aina. Tunggu."
Teman Satu Tim San berteriak.
"Kau lupa satu hal."

Setelah melewati petugas jaga, Aina mulai menyusuri Lobby, sebelum berhenti, dan berbalik.

"Apa yang sudah aku lupakan. Manager?"

Manager San yang datang menyusul, memberikan sebuah Keycard.
"Kunci kamarmu. Koper-koper yang dibawa asistenmu di sana, mau di taruh mana."

Dari arah tunjuk Manager San, Aina bisa melihat, Tohru berjalan pelan melewati pintu. Mengingat banyaknya isi dalam tiga koper besar itu, wajar bila Tohru sulit berjalan.

Tiba-tiba, Aina teringat ucapan Manager San.
"Dia, Suamiku."

"....Eh!?"
Manager San tak percaya dengan pendengarannya.
"Ma...maksudmu?"

Pandangan Aina beralih. Semula memperhatikan Tohru di kejahuhan, kini menatap Manager San.
"Dia. Bukan asisten, tapi suami."

"...! Tidak mungkin! Sejak kapan?"

Aina segera berbalik, dan lanjut berjalan. Mengabaikan Manager San yang kemudian menyusul. Rentetan pertanyaan setelahnya, cuma Aina tanggapi sambil lalu.

Perempuan itu tahu, bila pernyataannya membuat banyak orang tidak percaya, dan meminta di jelaskan. Tapi, Aina tidak peduli.

Yang seperti ini juga bagus. Pernikahan ini hal pribadi, bukan konsumsi publik. Apapun bentuknya.

Terlebih. Memberi pernyataan seperti itu tadi saja, debaran jantung Aina berdenyut tak karuan. Wajahnya juga memanas, yang membuat ingin menghindar dari tatapan. Apalagi harus menerangkan hal semacam ini di depan wartawan.

Merepotkan!

Sungguh!!

Membelah kerumunan Lobby, keduanya sampai di pintu lift. Angka indikator menunjukkan lantai 20, dan arah petunjuknya sedang menuju ke bawah.

Sempat Aina menilik ke lift lainnya. Paling dekat lantai 5. Tapi, mengarah naik. Itu bersamaan dengan Manager San menekan tombol.

Jarak yang cukup jauh dari Tohru, Aina tahu itu. Lelaki itu berjalan bersama Troley penuh barang, tapi masih sempat menoleh ke sana ke sini, perempuan itu juga tahu. Masuk ke tempat seperti ini, siapa yang tidak kagum. Aina sendiri, yang sudah berkali-kali saja, masih mengagumi tempat ini.

Beda. Ini bukan akses umum. Hanya tempat yang tersedia untuk tim balap, dan kru-nya. Bahkan, jalan masuknya di bedakan dari pengunjung umum.

Masalahnya, desain, dan tata letak perkakas di tempat ini, sama persis dengan fasilitas hotel bintang lima yang ada di sini. Semua terlihat rapi, dan elegan.

Belum lagi, pemandangan mereka yang lalu-lalang dalam balutan seragam 12 tim berbeda.

Tampak serasi!

Jika beda, itu hanyalah seragam pembalap. Di sana-sini tertempel puluhan merek berbagai barang sponsor. Ibarat satu pizza ukuran Super Supreme dengan berbagai rasa variasi toping.

Beberapa saat menunggu, akhirnya suara yang dinanti terdengar. Bunyi penanda sebelum pintu lift terbuka.

Tidak langsung masuk, yang membuat Manager San terheran. Aina membiarkan benda persegi itu kosong, tanpa berniat kedalam. Perempuan itu hanya menghalangi pintu agar tak menutup. Sebelum menoleh ke belakang. Memperhatikan Tohru yang bergerak secepat siput, seolah menunggu.

"...!? Kau mau kemana?"

"Aku. Ada sedikit urusan."
Manager San melihat Tohru yang perlahan masuk lift sesuai arahan Aina.
"Beberapa hal sebelum pemanasan mesinmu dimulai."

"Oh. Baguslah, jika kau tidak ikut naik."

"Benarkah!?"
Dari dalam lift, di balik tumpukan barang menjulang. Tohru menimpal.
"Kalau begitu, terima kasih atas jemputan di bandara tadi."

Manager San tersenyum dalam anggukan.
"Bukan masalah."

Lelaki itu melangkah pergi setelahnya. Jutaan analisa, dan asumsi berjejalan dalam rongga batok kepala.

Tidak., tidak, tidak. Aina yang dikenalnya tidak seperti itu. Bila dicekal, perempuan itu tak akan ragu mematahkan hidung penyekapnya.

Strawberry MoonWhere stories live. Discover now