17. Mission Impossible

11 8 0
                                    

Sora terdiam cukup lama di tempatnya. Dia tahu ini bukan hal sederhana yang Tohru ajukan.

"...Kau tahu. Apa artinya pengajuanmu itu?"

"Tentu saja."
Punggung Tohru menegang.
"Mengganti platform berarti, mengganti konsep dengan yang baru."

"...Jadi, bukannya itu sama saja."
Sora meletakkan kedua siku pada meja.
"Meneruskan yang sudah ada, atau membuat yang baru, sama-sama memakan waktu lama."

Tohru menggeleng. Lelaki itu berdecak.
"Tidak persis seperti itu. Bagaimana jika kita tidak hanya ganti platform, tapi genre juga?"

Dahi Sora berkerut.
"Maksudmu. Tunggu. Jelaskan padaku dulu, platform apa yang ingin kau pakai, sebelum kita membahas soal genre."

Sedikit ada celah. Sepertinya, umpan yang Tohru lempar telah bekerja dengan baik. Keingintahuan Sora, tentu merupakan perkembangan yang baik.

Meski masih panjang perjuangan mempersuasi Sora. Tapi, perasaan cerah yang menyelimuti hati Tohru, membuat rasa optimisnya timbul.

"Baik. Ini soal platform. Dari pada konsol, aku lebih memilih mobile gaming pada sistem operasi Handroid."

"...Maksudmu. Handroid yang menggunakan Linux itu?"

"Betul sekali."
Tohru mengangguk.
"Yang tersemat dalam jutaan ponsel pintar di planet ini."

"...Tunggu. Bukannya sistem operasi itu tidak stabil?"

"Memang itu tantangannya. Hal semacam itu bisa diminimalkan dengan Update berkala."

"...Berarti, platform ini juga memakai sumber daya tinggi."
Tatapan ragu tersirat di pandangan Sora."

"Hey. Ambil nilai positifnya. Kita sudah bisa mendapat pemasukan, tanpa menambah biaya produksi Blue Ray, atau Catride. Sedangkan beban Maintenance, dan Update bisa diperoleh dari penjualan Item, atau semacamnya. Bagaimana?"

Sora terdiam di tempat duduknya. Setelah menopang dagu, lelaki itu terlihat termenung.

Batinnya berkecamuk dua pilihan. Sangat berat, antara tetap pada idealismenya, atau menerima usulan pihak lain. Yang dia pertaruhkan sangat besar, seperti, dipecat dari pekerjaan ini.

"...Baiklah."
Sora menghela napas.
"Kita coba usulanmu."

Senyum lebar Tohru terbit seketika. Rasa senang, dan leganya seperti anak-anak yang berhasil menangkap ikan saat festival Hanabi, atau penjelajah padang pasir yang tiba-tiba menemukan oase.

"Kau memang yang terbaik. Sora."
Ucap Tohru.
"Sekarang, kita bahas langkah berikutnya."

"...!?"
Dahi Sora bertaut.
"Masih ada yang seperti itu?"

Tohru mengangguk.
"Tentu saja. Ini soal mencari, game buatan Sirensoft bergenre apa, yang laris di pasaran."

"Tung...tunggu dulu. Itu berarti kamu belum tentukan genre apa yang akan kita buat!?"

"Tentu saja, belum. Aku juga, tidak sehebat itu, tahu. Yang penting, agenda ke depan telah ditentukan. Jadi, pertemuan berikutnya, kita sudah siap referensi."
Tohru, mendorong ke belakang kursinya, sebelum berdiri.
"Sudah, ya. Aku permisi dulu. Tugas bersih-bersih menantiku."

Tohru beranjak ke pintu keluar, dan memilih tidak menanggapi keberatan Sora.

Setelah di luar, dan menutup perlahan pintu di belakangnya, Tohru mengambil napas berat, sebelum berlalu. Karena, sama seperti Sora, Tohru juga punya ketakutan tersendiri.

Bukan hanya pengembang game favorit, Sirensoft juga kepunyaan keempat istrinya. Dia adalah seseorang yang menginginkan Sirensoft eksis, lebih dari apapun.

Juga, dia ingin memiliki ikatan dengan para istrinya. Dan penghubungnya adalah Sirensoft. Bagaimanapun juga, dia ingin diakui oleh empat wanita itu.

Namun, apa yang dia kerjakan, adalah hal yang terlewat sulit. Biasanya, dalam membuat game, sebuah pengembang akan membuat tim. Itu terdiri antara 20 orang, hingga lebih. Tugasnya beragam, tapi satu yang pasti. Satu orang, untuk satu pekerjaan. Bahkan, untuk Game Tester sendiri, bakal ditangani oleh tim kecil, divisi tersendiri.

Sedangkan saat ini, satu judul game, hanya ditangani oleh dua orang saja. Seorang programer yang jarang tidur, dan Game Tester yang punya kerjaan rangkap empat.

Dilihat dari sudut manapun, ini mirip dengan misi bunuh diri. Paling tidak, serupa dengan, Mission Impossible.

Memikirkan itu semua, Tohru turun kembali ke Basement, masuk ke gudang, mengambil alat-alat kebersihan. Untuk naik ke lantai 21 lewat lift yang berbeda, dan mulai bekerja.

Lantai 21. Tidak ada hal yang merepotkan disini. Karena ruangan lengang ini memang tak ada apa-apanya. Tempat bersantai hanya ada di salah satu sudut, jadi satu dengan Kitchen Bar, dekat tangga naik. Satu-satunya hal tersulit adalah, luasnya ruangan.

Selesai di sini, Tohru naik ke lantai 22.

Ini sedikit sulit. Ini karena akses naik satu-satunya hanya lewat tangga, tanpa ada lainnya. Sedangkan , Tohru harus membawa satu set, peralatan tempur, naik.

Tidak jelas sebabnya, kenapa napas Tohru terhela berat, saat lantai 22 ditapaki. Entah, tugas berat menanti, atau ada hal lain yang memberatkan hati.

Padahal, ini hanya sebuah koridor, yang berakhir dengan tangga naik lainnya. Membersihkan tempat seperti itu, tak ada sulitnya.

Juga, hingga harus membersihkan pintu-pintu yang menjepit koridor ini, Tohru sanggup melakukan itu, seratus kali, bahkan.

Tapi, ini terlalu menyesakkan. Setiba dari Nakaoyama, hingga hari ini, empat pintu ini tidak pernah membuka, sekalipun. Selain Yukako yang kembali ke Greenhouse di Kyodai, tiga lainnya, langsung masuk kamar masing-masing, dan tidak pernah Tohru lihat kelebat mereka sedikitpun.

Tohru tidak tahu apa-apa. Pernikahan ini main-main sekalipun, dia juga tidak paham. Satu-satunya hal yang dia mengerti, bahwa koridor lantai ini harus bersih dulu, sebelum naik ke Rooftop.

Sambil, mengetuk beberapa kali pintu-pintu itu. Baik yang di depannya terpasang gambar karakter mobil lucu, penganan imut, atau tokoh Snow White. Walau, lelaki itu tahu, pintu itu tak akan terbuka. Mendapat respon dari dalam saja, tidak.

Lupakan satu pintu bercorak strawberry, di sudut sana. Sudah lama tempat itu ditinggal pergi pemiliknya. Entah, apa sebabnya.

Tohru bersiap naik ke Rooftop. Sebagai Cook Artisant, Corporate Consultant, dan F1 Racer. Sudah tentu Hinako, Sumire, dan Aina, sudah meninggalkan kamar masing-masing, awal pagi tadi.

Namun, saat satu kakinya naik di tangga pertama, lelaki itu, samar mendengar, satu pintu terbuka.

"Hey. Mizutani."
Bersama suara tak yakin, dan pelan dari pemiliknya.

"...!?"

Segera, Tohru memindai. Mencari dari arah mana suara itu berasal.

Terdengar merdu di telinga, dan Tohru tahu siapa pemiliknya. Walau, tidak percaya meski telah melihat sosok itu. Bukannya, dia sudah tak punya banyak waktu di sini.

"Mizutani. Cepat kemari!"

"Ba...baik, Yamauchi San."

Perintah itu, terasa mutlak. Benar, dahinya berkerut, jutaan tanda tanya melayang di atas kepala. Tapi, tetap saja Tohru mendekati pintu dengan karakter Mobil lucu, kamar Aina.

Bukan Aina namanya, jika sabar menunggu.
"Kau. Lambat!"

"E...eh. E...e...e...eh. Ya...Yamauchi San!"
Membuat Tohru kelabakan.

Pasalnya, tanpa ba - bi - bu, Aina langsung mencengkeram kerah Tohru, sebelum menyeret lelaki itu masuk, dan menutup pintunya.

Aina bersandar di sana setelahnya. Ini memalukan, tapi dia tak punya pilihan. Waktunya tak banyak. Tidak cukup untuk berkemas, dan bersiap.

Strawberry MoonNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ