34. Nostalgia Pekat

8 4 0
                                    

Apa yang terjadi pada Pandora, andaikata guci itu tak pernah dibuka. Mungkinkah penderitaannya hilang.

Atau, dirasa sendiri hingga mati!

Tangannya bertopang dagu untuk sekian lama. Terus terang saja, jika ini menyangkut kesehatan finansial Sirensoft, semua terasa berat.

Kembali, lagi-lagi helaan napas, lolos dari hidungnya. Bersama tangan yang satunya, mengetuk-ngetuk pulpen pada permukaan meja, kepalanya berpikir. Strategi ampuh apa yang bisa menambal defisit keuangan.

Hanya, segera rilis game baru Jawabannya. Tidak ada yang lain, pikirnya. Jika tidak mau, sekali lagi memakai uang perempuan barbar itu.

Menimbang sejenak, apa mesti ditanyakan soal perkembangan game terbaru, Sumire menyerah pada keadaan.
"Aniki. Soal game baru, bagaimana?"

Lelaki, yang berada di satu ruang, menghentikan kegiatan.
"Saat ini, mencapai 50 persen."

"50 persen. Bagaimana bisa?"

"Itu karena."
Lelaki itu menarik berat, napasnya. Membuat sekuel Strawberry Moon, agar selevel dengan pendahulunya. Ternyata, benar-benar tidak mudah. Aku, dan Sora, berusaha sebaik mungkin."

Jantung Sumire, berhenti sejenak. Napasnya tertahan di tenggorokkan. Sesuatu dengan nostalgia pekat, menghantam ingatannya. Bibirnya bergetar.
"S. Strawberry, Moon...?"

Perubahan itu tertangkap jelas oleh pengamatan lawan bicara.
"Sumi Hime. Apa baik-baik saja?"

Sumire, bergegas menguasai diri. Merespon dengan anggukan. Bagaimanapun juga, itu adalah kisah lama yang telah terkubur.

"Ah. Syukurlah kalau begitu."

Tapi, kelegaan Tohru berlangsung sekejap mata. Sumire masih belum puas mengejar.

"Bukannya itu, otome. Aniki, terlalu lama."

"...Eto."
Sulit berkutik bila Sumire berada dalam mode Komisaris. Telapak Tohru dingin seketika.
"Seperti yang sudah dikatakan. Pemilihan Role Model, kendalanya."

"Apapun. Selesaikan sebelum Tokyo Game Show, atau Aniki bayar kompensasi."

Susah payah Tohru menelan. Mendengar jawaban serupa sambaran petir itu. Bila menyangkut pekerjaan, Sumire jutaan kali lebih sadis ketimbang Raja Neraka.

Begitu mutlak, dan dingin!

Kompensasi, apanya. Tohru mungkin bakal mati duluan tanpa pernah membayarnya. Gaji seumur hidupnya, takkan mampu menutup biaya produksi satu judul sekalipun.

Kembali, hembus berat lolos dari Sumire. Jawaban Tohru adalah realita. Membuat game tak semudah yang dibayangkan, terlebih cuma dua orang yang mengerjakan.

Menunggu sampai Tokyo Game Show, sama saja. Event dua kali setahun untuk maniak game itu, paling dekat musim dingin nanti. Sirensoft masih harus defisit hingga akhir tahun.

Merasa begitu frustrasi, perempuan berkacamata itu menghempas punggung pada sandaran singgasana. Mau pingsan saja rasanya, tidak bisa menjaga amanah sebesar Sirensoft.

Andai, beliau ada. Manuver apa yang akan diperbuat.

Melepas begitu saja pulpen dalam cekalan, Sumire memilih rehat. Tumpukan kertas berkas setinggi gunung, di kanan kiri meja, terasa tidak bakal ada akhirnya, seserius apa Sumire kerjakan.

Terlebih, itu semua data keuangan Sirensoft. Melihat angka berderet panjang, dengan imbuhan minus di depan, betul-betul membuat jantung berhenti berdetak.

Sebagai Public Accounting, juga Finance Consultant, Sumire merasa gagal mutlak.

Membuat perusahaan orang lain sehat kembali saja, dia bisa. Tetapi, membuat perusahaan sendiri bangkit dari terpuruk, kenapa bisa sesulit ini.

Strawberry MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang