59. Dalam Hati

1 0 0
                                    

Suara berdentam memenuhi ruangan. Bersama dengan itu, Aina mengeratkan gigi. Sudah sejak kemarin gadis itu bernafsu menghajar orang.

Benar-benar sialan!

Ide bagus apanya kalau berujung mengorbankan seseorang. Segelap apa matanya soal keruwetan yang menimpa Sirensoft, sampai asal main setuju usulan Yukako.

Sekali lagi, dentaman memenuhi bidang pendengaran. Sekali lagi kepalan Aina menghajar sansak di depannya. Ngilu jelas menjalari lengan karena efek tumbukan. Biarpun tidak jelas yang mana berasal, dari lengan atau di dalam hati.

Apa-apaan semua ini!!

Mereka masih lebih baik, berinteraksi terus-terusan dengan lelaki itu sebelum dilenyapkan dari tempat ini. Pertanyaannya, bagaimana dengan dirinya sendiri. Dari upacara pernikahan, entah sungguhan atau main-main itu, sampai gelaran balapan di Sirkuit Suzuka, waktu untuknya berinteraksi tak lebih dari sebulan. Bila insiden penyusupan masuk hitungan, kisarannya mendekati empat bulan. Itu musim gugur tahun lalu.

Musim yang sama seperti saat ini. Bedanya, waktu itu Aina harus ke sana kemari mencari kimono yang pas untuk upacara, sedangkan saat ini tidak. Aina seorang diri di sini, tanpa di temani seorangpun.

Sendirian itu tak enak tahu!

Aina berhenti menghujami peralatan tak berdosa itu dengan tinju. Sebagai gantinya, gadis itu berbalik dan mulai berjalan menjauh.

Namun, mata Aina tiba-tiba berkilat. Disusul suara bergedebug yang sangat keras. Begitu kuat sampai sanggup menghempaskan sebuah sansak.

Sesaat tadi, Aina tidak benar-benar berjalan menjauh. Dia bermaksud mengukur jarak saja. Perkiraan antara rentang kaki ke target, sebelum mengambil tendangan memutar.

Seperti pyukulan tadi, Aina menendang alat di depannya bertubi-tubi.

Nyaris sepanjang tahun, Aina menghabiskan waktu mengitari bumi. Gelaran balap yang tersebar di seluruh penjuru dunia, mengharuskannya hidup berpindah mirip gelandangan. Rindu rumah untuk menetap, jangan ditanya lagi. Terutama dengan lelaki itu, banyak janji yang akan dipenuhi dengannya. Kirim pesan Aina, kirim pesan.

Itu hal tertolol kedua, bila dia melakukan itu. Selama delapan bulan ini dia hanya bisa berkomunikasi lewat pesan daring, lewat telefon. Aina ingin bertemu, berbicara langsung, melihat sendiri ekspresi demi ekspresi sebelum menghajar lelaki itu.

Menghajar seperti ini!

Aina melompat, berputar, sebelum menendang lagi. Setelah suara benturan, Aina berdiri diam. Napasnya naik turun, badannya memanas. Mengamati tanpa minat karung pasir yang mengayun-ayun mengenaskan, rasanya ada sedikit persamaan. Dengan masa depan Sirensoft, dengan masa depan para penghuni lantai 22. Ok, kalau perhatian dengan orang lain itu sama sekali bukan dirinya, Aina mesti memperhatikan isi hatinya sendiri.

Sambil berdecak kesal, Aina beranjak keluar dari ruang gym. Sebuah bangunan tambahan, sama seperti bangunan-bangunan di Atap Sirensoft. Udara dingin musim gugur menemani langkah gadis itu menuju tangga turun. Badannya butuh pendingin, hatinya jauh lebih butuh lagi.

Ketika kakinya melangkah di turunan terakhir, punggung Aina terhantam keras. Gadis itu tersungkur, penabraknya juga. Tapi yang menganggunya, adalah suara bergemelontang yang menyertainya.

"Yuka Ne!"
Seru Aina setelah tahu siapa yang menabrak.
"Kau tidak apa-apa? Ada yang sakit?"

"A, a, ah. Kalau posisi pinggangku masih di tempatnya, berarti aku masih bisa dibilang baik. Ah, terima kasih banyak Ai Chan,"
Yukako mencoba berdiri setelah Aina menopangnya.
"Omong-omong Ai Chan, apa badanmu butuh dibugarkan cepat-cepat, sampai harus latihan di gym pagi buta? Ya ampun, semua berkasku berserakan. Harus ditata secepatnya.

"Perlu kebugaran, aku rasa tidak persis seperti itu. Semalaman aku sulit tidur. Ah, biar cepat selesai, yang sebelah sini biar aku saja,"
Dugaan yang tepat, karena lantai segera bersih dari serakan. Berjalan menyusuri koridor berdampingan, tangan Aina dipenuhi tumpukan berkas.
"Yuka Ne sendiri, apa sulit bangun seperti biasanya? Sampai harus ke Universitas Kyoto buru-buru begitu?"

"Sama sepertimu, aku juga sulit tidur. Lebih tepatnya lembur menyelesaikan tumpukan berkas penelitian ini. Beberapa bulan punya asisten, sepertinya aku sedikit manja perihal ketik-mengetik. Sekarang, Ai Chan bersih-bersih badan dulu sehabis aktivitas ekstrim. Ini, kita sudah sampai depan kamarmu. Ah, berkasnya, iya ya, tumpuk saja di sini, di atas tumpukan yang kubawa. Jangan melihat dengan tatapan ragu seperti itu. Tumpuk saja, aku jamin aman."

Keraguan Aina beralasan. Gunung tumpukan itu menjulang melebihi kepala ketika digabungkan. Pandangan Yukako jelas terhalang, dan Aina mulai tahu penyebab punggungnya tertabrak di tangga tadi.

"Yuka Ne...hati-hati."

"Jangan kuatir, jangan kuatir."

Dengan langkah labil mencari titik imbang, Yukako meninggalkan Aina, menuruni tangga menuju lantai 21. Beberapa anak tangga dilalui, suara pekik menyayat terdengar. Yukako menghilang cepat, berganti suara bergedebum benda-benda jatuh.

Ya ampun, kenapa tadi Aina tidak pilih menemani saja. Kurangnya oksigen ke otak karena darah encer, pasti membuat keseimbangan Yukako bermasalah. Belum termasuk wajah kusam dan kantung mata menghitam, bodohnya Aina tak menyadari perempuan itu bergadang semalaman. Kesampingkan dulu tak pilih tidur enak di kamar dan alasan tertentu yang membuat Yukako tenggelam dalam pekerjaan semalaman di atap Sirensoft, Aina mesti bergegas memberi pertolongan.

"Biar aku saja. Kau masuk saja ke kamar, mandi jauh lebih baik. Terus terang saja, aroma keringatmu tak ada sedap-sedapnya."

Dari sudut mata, Aina melihat sebuah penampakan. Sumire berjalan di koridor dengan tertata. Alasannya, perempuan itu memakai baju berenda dengan rok kurung yang merepotkan. Berani dengan dandanan cosplay di luar kamar sendiri, benar-benar pencapaian yang luar biasa.

"Luar biasa sekali penciumanmu, Sumire. Padahal ada jarak di antara tempat kita berdiri. Informasi saja ya, dengan suhu dingin musim gugur kelenjar keringat akan menyusut, menjaga panas tubuh. Tunggu sebentar, apa karena bando berkuping runcing di kepalamu, lantas kau merasa seperti siluman rubah. Kenapa tak pakai tambahan ekor sembilan juga!?"

Sumire dan Aina saling menatap, mata keduanya berkilat. Di udara, percikan demi percikan bertebaran antar mereka. Api pertempuran tinggal tunggu waktu untuk berkobar.

Sumire yang memilih lebih dulu memutus kontak. Pandangannya beralih, melihat ke sembarang tempat sambil menghela napas samar. Helaan yang membuat Aina terperenyak. Bukan karena batalnya pertikaian, tapi ada kesenduan tertentu di iris Sumire.

"Jangan salah sangka, kostum ini bukan untuk kesenanganku sendiri. Akan tetapi, ini semua demi Sirensoft. Cepat masuk, bersih-bersih badan jauh lebih berguna daripada berdiri bengong seperti itu."

"Jangan memerintahku, dasar menyebalkan!"
Aina kembali mendekati pintu kamar dengan kesal.
"Demi Sirensoft apanya. Kemarin kau sengaja apply telat biar dapat aspirasi kostum. Berani taruhan, sebelum keluar kamar tadi, kau pasti cengar-cengir di depan cermin beberapa menit. Iya, kan?"

Aina tahu, Sumire pasti menanggapi ucapannya. Hanya saja tidak dia dengar karena segera masuk kamar.

Tempat yang ingin dihindari sebisanya. Rasa tak nyaman yang sepertinya mirip dengan alasan Yukako.

Alasannya, Accelerate Rock Racing. Mesin arcade tua itu harusnya tidak begitu. Mengeluarkan musik menggemaskan, menggoda untuk dimaimkan.

Aina tahu persis, itu ulah siapa. Ulah seseorang yang sudah ditendang dari sini.

Benar-benar sial, Aina tidak tahu mesti apa. Membiarkannya menyala, atau mematikannya.

Strawberry MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang