40. Satu Pengharapan

5 1 0
                                    

Tohru sebenarnya tidak terlalu yakin, bila saat ini dia masih bisa bernapas, mendengarkan kicau burung pagi hari, atau, bahkan, akan menyaksikan gelaran Matsuri menyusur di jalanan Gion. Mengingat, tenaga, dan fokusnya sudah semalam penuh dia peras.

Sekali lagi, kepala lelaki itu mesti terbanting, karena sulit mengendalikan beratnya, akibat mata yang terpejam perlahan, sulit dihentikan. Meski tahu, dia bakal terjengkang dari tempat duduk, bila terus begini, tapi tak ada pilihan lain. Ini tempat ternyaman di sini.

Tak jauh dari Tohru berada, beberapa orang bergerak sigap, dan gesit. Memindahkan bejana-bejana besar, dari satu titik, ke tempat lain.

Pemandangan yang malah membuat Tohru menguap untuk kesekian kali. Dengan mata menggantung. Seperti itu, bahkan sampai lelaki itu merasakan dering ponsel di dalam saku.

Tidak ingin menahan lebih lama, juga tidak ingin melihat layar, siapa yang menelpon, Tohru menggeser layar sentuh. Paling-paling Yukako yang ingin dibawakan makanan saat mengunjungi kamarnya di Rumah Sakit. Yang jelas tidak akan lama.
"Moshi-moshi."

"Hei, halo. Mizu Kun."
Terdengar suara timbul tenggelam, juga jauh.
"Syukurlah tersambung. Aku benar-benar tak habis pikir. Bisa-bisanya susah sinyal di tempat seelit ini."

Tohru belum terlalu menanggapi. Isi kepalanya masih terus berputar. Rasanya tak banyak orang yang memanggilnya, Mizu Kun. Tapi, siapa orang itu.
"...Ai Chan?"

"Benar. Ini aku. Memangnya, siapa lagi."

Sebuah konfirmasi yang mampu mengembalikan kesadaran Tohru. Badannya tegak seketika. Rasanya, seperti satu ember penuh berisi es balok, tengah diguyurkan di atas kepala.
"...Aku juga. Bersyukur."

"Eh, ada apa dengan nada bicaramu. Kenapa lemas begitu. Sesuatu terjadi?"

Sudah bisa diduga, Yamauchi Aina bakal sedetil ini mengamati. Perempuan dengan kemampuan membaca perubahan, setara dengan Sumire. Kemampuan yang terlalu berguna saat melibas lintasan.

"...Eh. Ah, itu. Ti...tidak ada apa-apa, sungguh."

"Apa maksudmu dengan, tidak ada apa-apa, andalanmu itu. Bila, kau masih saja keras kepala, dan tak mau bicara, aku bersumpah akan terbang ke Kyoto, menghajarmu. Kau tahu, aku pantang disepelekan."

Menurut jadwal membalapnya, sekarang ini harusnya Aina berada di Silverstone, sirkuit legendaris yang dulunya landasan pesawat tempur di perang dunia kedua. Jarak London-Kyoto terlalu tidak mungkin ditempuh hanya untuk menghajar orang. Tapi, pikiran manusia normal begitu berbeda dari pikiran Aina.

Dengan satu hembus napas, dan perasaan berat, Tohru berucap.
"Semalam penuh aku merapikan laporan Kurosaka Sensei yang harus diserahkan pada pihak kampus, akhir pekan ini, setelah menguji Strawberry Moon."

APA! Akhir minggu. Artinya, dua hari lagi. Eh, tunggu, tunggu dulu. Kenapa laporan Yuka, Mizu Kun juga yang kerjakan. Apa kerjaanmu kurang banyak?"

Mengingat harus kerja rangkap dari Cleaning Service, Office Boy, merangkap Security di malam hari, juga Game Tester Strawberry Moon yang hendak rilis, mana bisa itu semua mendapat predikat, kurang kerjaan.
"Kurosaka Sensei jatuh sakit, terlalu lelah, kata dokter. Sementara ini aku membantunya merapikan laporan."

"Sudah kuduga."
Aina terdengar paham, meski berdecak juga.
"Yuka itu tipe orang yang tak bisa mengurus diri sendiri. Sudah pasti kesulitan hidup sendirian di rumah kaca sialan itu. Beruntung, Hina masih mau memasak untuknya, meski keduanya marahan."

Pernyataan Aina barusan memantik rasa ingin tahu Tohru. Fokusnya terkumpul seketika.
"Oh ya, Ai Chan. Kenapa bisa antara Kurosaka Sensei, dan Umemura San bersitegang seperti itu?"

"Kau! Yang benar saja menanyakan hal pribadi itu padaku. Tanya sendiri ke mereka!"
Oktaf Aina melejit gila-gilaan. Tohru sampai harus menjauhkan ponsel, lelaki itu masih sayang pada keutuhan gendang telinganya.
"Yang lebih penting. Yuka sekarang di mana. Sirensoft?"

"Tidak. Di rumah sakit."
Tohru mengambil jeda. Dia menimbang, apa yang berikutnya harus juga diungkapkan.
"Pertimbanganku, dan Sumi Hime. Kurosaka Sensei akan dibawa ke Sirensoft, jika keluar dari rumah sakit. Bukannya ke Greenhouse."

"Bagus, seret saja dia. Suruh pakai kembali kamarnya yang melompong itu. Tunggu, apa barusan kau panggil Yuki Ona itu, Sumi Hime. Bagaimana bisa!?"

Ini dia, masalahnya.

"...Ano. I...itu."

"Sudah sedekat apa kalian! Apa juga melakukan, itu, tiap malam! Sejak kapan, kau mengubah panggilanmu ke Yuki Ona, jadi begitu dekat!"
Tak perlu waktu lama, Aina sudah memuntahkan semua amunisi. Mirip kembang api di malam Matsuri.
"Jangan salah sangka. Aku tidak cemburu. Hanya...hanya saja, bisa-bisanya kau bersenang-senang, sementara aku bertaruh nyawa di tiap lintasan."

Tohru sudah mengira hal ini akan terjadi. Sumire, dan Aina memiliki hubungan semirip Yukako, dan Hinako. Rumit.

Dalam usahanya menata napas, dan jantung, pikiran lelaki tersebut menjelajah. Ada satu hal yang ingin dia coba.
"Berhenti, Ai Chan. Ambil napasmu dulu."
Jika kali ini mundur, tak ada kesempatan lagi. Tohru beranggapan demikian.
"Tentang Sumi Hime. Kenapa Ai Chan membencinya. Maksudku, ini terlalu aneh untuk dua orang yang tinggal satu atap. Berdampingan."

"....."

"....."

Hening!

Sudah pasti. Jawaban tidak akan di dapat semudah itu. Tidak hanya Tohru, Aina pasti juga mengalami hal serupa.

Tohru paham itu.
"Tidak apa-apa jika Ai Chan belum siap menjawab. Mungkin, lain kali."

"...itu bukan tentang Act Director asal Filipina itu."
Aina, akhirnya bersuara.
"Ini soal Sumire yang kerja siang malam, memulihkan neraca Sirensoft, saat ditinggal Yuka. Hingga mengabaikan mimpi, dan dirinya sendiri."

"...Begitu."
Tohru mulai melihat benang merah.
"Tapi, Apa Ai Chan tahu, Sumi Hime juga mengkhawatirkanmu?"

"Benarkah. Apa yang dia khawatirkan?"

Tohru kembali mengingat kegiatan menonton TV saat makan malam tersebut. Tabrakan 6 pembalap di lintasan, dengan kegusaran Sumire.

"...Sumi. Bisa saja dia."
Aina tertawa nyeri di seberang.
"...Tapi tetap saja, apa yang terjadi kau tidak boleh dekat-dekat perempuan itu sebelum aku datang!! Managerku memanggil. Sepertinya sudah waktunya untuk latihan. Kusambung nanti, Mizu Kun."

Ucapan balasan perpisahan Tohru sudah di ujung lidah, siap dikatakan. Tapi, harus berhenti mendadak karena sambungan diputus begitu saja.

Yah, mau bagaimana lagi.

Yang seperti itu memang Aina sekali.

Bersama ponsel yang dimasukkan kembali ke saku, lelaki tersebut memanjatkan satu pengharapan. Aina, dan keberuntungan selalu bersamanya.

Tanpa dia sadari. Sesuatu bergerak, merayap perlahan. Dari balik punggung, naik ke bagian samping leher. Hampir menyentuh urat nadi.

Sangat berkilau. Sampai-sampai wajah mirip kelinci terpantul dari bilah panjangnya. Tersenyum ganjil.

Tohru, masih belum menyadari, dan merasa baik-baik saja. Sampai ada sensasi dingin logam menyentuh lehernya. Penasaran, lelaki itu melihatnya.

"...!?"

Tohru meloncat. Kaget, tentu saja. Tidak peduli, mau mendarat seperti apa. Masa bodoh dengan itu semua.

Yang terpenting untuk saat ini, menyelamatkan diri!

Walau untuk itu semua, ada harga yang mesti dibayar. Kakinya tersandung kursi terdekat. Tempat duduk itu terhempas, sedangkan Tohru terjengkang. Belum berhenti sampai di situ. Kepalanya terantuk pinggiran meja, membuat sesuatu di atasnya terguncang, sebelum meluncur deras menghantam lelaki tersebut.

"Fufufufufu."
Tawa tertahan terdengar setelahnya.

Dengan tangan kanan masih memegang pisau, gadis berpita besar tersebut terlihat puas. Mata bulat bundarnya separuh menyempit. Wajah imutnya semakin menggemaskan bila seperti itu.

"...U...Umemura. San. Yang tadi itu, berbahaya."

Strawberry MoonWhere stories live. Discover now