4. Hal Merepotkan

21 15 0
                                    

Satu aroma sedap menyeruak, menyihir, membuat syarafnya terbuai, hingga mampu menggetarkan dinding pencernaanya untuk berulah. Tidak bisa, ini tidak bisa didiamkan.

Bagaimanapun harus disumpal.

Paling tidak harus ada yang mengisi.

Kebetulan, sejak tadi memang belum ada yang masuk mulutnya. Lebih kebetulan lagi, letak dapur ada di bawah kamarnya. Tepat di samping tangga.

Tanpa pikir panjang, Tohru melesat. Fakta bahwa ibunya yang enggan diganggu saat memasak, diurus nanti sajalah. Gampang saja, jika spatula melayang nanti, Tohru tinggal berkelit.

Omelan nanti diganti dua buah tempura, sepertinya harga yang sepadan.

langkah Tohru terhenti. Tempat ini memang masih dapur rumahnya, tapi sosok yang memainkan penggorengan diatas tungku jelas bukan ibunya. Bentuk badan, pilihan kostum, dan aksinya memasak sulit dimiliki seorang ibu rumah tangga biasa. Perutnya keroncongan, dan hanya akan selesai bila Tohru bergerak bukan berpikir. Tohru mendekat tanpa suara.

Melewati punggung perempuan tadi, untuk mengambil tempura matang dalam tirisan, tepat di samping tungku.

Akan tetapi, tangan Tohru hanya mampu melayang di udara, tanpa pernah menggapai tempura tadi.

Keringat dingin terasa mengalir di dahi Tohru. Lelaki itu hanya bisa melirik ke bawah, saat bilah benda berkilau tepat menyentuh lehernya. Tak salah lagi, ini pisau.

"Ah, Mizutani Nii San. Selamat pagi."
Sapa seorang gadis dengan nada ceria.

Tersenyum manis ke arah Tohru. Terlalu kontras dengan tindakannya yang tanpa ragu, masih mengacungkan pisau tajam, entah bekas memotong apa, menyentuh tepat di urat nadi Tohru.

"Se...selamat pagi. Umemura San. Tempuramu, sepertinya...enak."

Tohru masih bisa merasakan dinginnya. Bergeser sedikit saja, dia yakin bilah tajam ini bakal mengirisnya.

"Ah, Mizutani Nii San, mau. Sebentar kuambilkan."

Umemura Hinako beralih pandang. Mata bulat lebarnya segera mencari keberadaan tempura-tempura matang di sana. Sebelum memberikan kudapan coklat keemasan itu pada Tohru.

"Silakan, Nii San. Aku harap kamu suka."

"Terima kasih banyak, Umemura San."

Sedikit ragu, Tohru mengambil sebelum melahap panganan itu. Aneh rasanya, menikmati tempura selezat ini di bawah todongan pisau. Tapi apa boleh buat.

Pandangan Tohru beralih menatap Hinako. Tidak hanya matanya, bahkan wajah perempuan itu juga bulat. Sangat lucu dengan pita biru besar yang menghiasi rambut hitamnya. Dengan benda itu ibarat telinga, penampilan Hinako menyerupai sosok kelinci bulan.

Binar matanya seolah taburan bintang yang selalu menjadi pusat perhatian saat malam tiba.

Namun, dari semuanya, olahan masakan dari tangannya adalah yang terbaik. Saat Tohru memasukkannya ke dalam mulut, ledakan itu tak bisa dihindari. Renyahnya pas, kelembutannya tepat. Bahkan rasa yang tersebar di mulut, sulit digambarkan.

"Ini, enak!"

Bagai bunga yang sulit ditahan mekarnya, senyum ceria Hinako merekah begitu indah.
"Wah, benarkah. Syukurlah Nii San suka."

Setahu Tohru, Hinakolah yang lebih tua darinya. Tapi, kenapa justru perempuan ini yang lebih suka memanggilnya, Nii San.

Puas menikmati, Tohru ingat akan sesuatu.
"Oh ya, Umemura San. Apa kau mau turunkan pisaumu?"

Lebih dari sebelumnya, Hinako tersenyum manis.
"Tidak mau!"

"...ta...tapi. Umemura San. Aku harus bersiap. Kau tahu."

"Itu salahmu sendiri. Kenapa Nii San harus mengendap dari belakang, dan masuk zona pribadiku."

Gawat. Ini bahaya. Apa jadinya jika hidup Tohru harus berakhir di sini, di dapur rumahnya sendiri.

Mengabaikan ketegangan yang dirasa, Tohru menebarkan pandang. Mencari-cari alasan untuk lari.

Kompor sudah mati, beberapa makanan juga sudah tersaji di meja. Bahkan ruangan yang tak begitu luas ini sudah rapi seperti tak ada kegiatan memasak di sini.

Padahal pisau Umemura Hinako sudah lebih menekan leher dari sebelumnya. Yang membuat lebih tak nyaman lagi, walau tak kasat mata, terasa benar hawa gelap yang tajam, menguar dari belakang Hinako.

Hawa yang sulit dipercaya keluar dari Hinako. Perempuan yang terlihat menggemaskan dalam balutan kimono.

Napas Tohru tercekat!

"Hina Chan, bagaimana dengan...!?"
Terdengar suara dari pintu.
"Tohru! Kau, bukanya bersiap, malah disini mengganggu Hina Chan!"

Tohru hapal benar dengan suara tinggi ini.
"Ibu. Terima kasih sudah datang."

Rasa haru hampir menitikkan air mata, tak bisa dibendung lagi. Biasanya, sosok Ibu Tohru, Mizutani Emiko, dianggap sebagai Dewa Penghukum. Namun kali ini, sosok Ibu Tohru seperti Malaikat Penolong baginya.

"Oka San, selamat datang."

"Terimakasih, Hina Chan."
Ibu Tohru menanggapi dengan senyuman,tapi luntur ketika berhadapan dengan anaknya
"Kau, Tohru. Cepat naik ke kamarmu. Bersiap!"

"Ba...baik, Bu."

Todongan pisau di lehernya terasa mengendur, tanpa tunggu lebih lama Tohru melesat. Para wanita itu jelas tak akan mengejar, atau berbuat sesuatu dalam pakaian kimono tersebut. Jangankan itu, berjalan wajar saja, bukan perkara mudah.

Namun, ada yang mengganggu Tohru saat Ibu masuk tadi. Jelas sekali ada perempuan yang datang bersamanya. Tapi, saat tatapan perempuan itu bertemu dengan Hinako, sosok itu memilih pergi. Dengan tatapan bersalah.

Keluar dapur, Tohru mendengar langkah berderap dari anak tangga, menuju lantai atas.

Saat pintu kamarnya menutup, Tohru tahu sosok itu masuk ke sana.

"Kurosaka Sensei!"
Panggil Tohru saat ikut masuk.

Kurosaka Yukako, sadar telah diikuti, berbalik badan.

"Selamat pagi. Toh Chan."

Menyembunyikan wajah sedihnya begitu sempurna dengan sapaan ramah.

"Sensei, kenapa lari?"

"Aku, lari. Toh Chan pasti salah lihat."
Untuk masalah berbohong Yukako bukan pakar yang tepat.
"Ah, iya. Kebetulan kamu datang. Sekalian saja, aku bantu berganti pakaian."

"E...eh! Tu...tunggu Kurosaka Sensei.

Jika ingin melihat sosok Wanita Jepang yang sesungguhnya, semua ada pada Kurosaka Yukako. Bukan cantik, melainkan anggun. Pembawaannya juga tenang, dan langsung bisa menguasai diri saat sulit.

"Jangan bilang kau tidak mau tanggung jawab Toh Chan. Kau sudah masuk area paling pribadi perempuan. Bila kau lari, tidak hanya diburu hingga ujung dunia, tapi kau bakal kupastikan jadi mahasiswa abadi di Kyodai."

"Tunggu. Sensei! Mana bisa melintasi koridor dan membersihkan kamar kalian berempat di sebut melanggar area pribadi. Lagipula, Sensei tidak tinggal di situ lagi, melainkan di Greenhouse kampus."

"Itu alasanmu untuk pergi dari tanggung jawab?"

"Bukan begitu, Sensei."
Tohru tidak ingin ini menjadi panjang.
"Baiklah, aku bersedia."

Seketika mata Yukako berbinar. Dengan wajah cerah, dia langsung mempersiapkan segala keperluan Tohru.

Mizutani Tohru 19 tahun, sadar betul, jika pernyataannya barusan membuatnya seumur hidup terikat dengan Yamauchi Aina 25 tahun, Yoshida Sumire 25 tahun, Umemura Hinako 21 tahun, dan Kurosaka Yukako 29 tahun. Tapi, jika hal ini memang sudah takdirnya, mau bagaimana lagi. Tidak ada cara lain, kecuali menjalani dengan baik.

Mungkin surga terlalu tenang untuk menerima sesuatu semacam ini. Jadi, semua hal merepotkan memang sebaiknya diletakkan di dunia saja.

Semua pikiran tenggelam seketika, saat teriakan dari arah tangga, terdengar lantang.

"Tohru, kau bisa bersiap sendiri, bukan. Sudah Ibu sendiri kau buat repot dengan pernikahanmu, jangan juga membuat sulit Yuka Chan. 10 menit, atau aku menyeretmu turun."

***

Strawberry MoonWhere stories live. Discover now