44. Sudah Mepet

4 2 0
                                    

Melayani, apanya. Fakta saja, bahkan sampai hari ini Tohru belum menyentuh keempat istrinya. Sama sekali.

Tidak tahu kenapa. Serasa masih ada tembok yang tersisa. Tidak tebal, tapi terasa benar liatnya. Bersama pikiran itu, Tohru mengambil beberap
a bawaannya kembali. Yang ini harus segera diserahkan.
"...Sensei. Silakan."

"Ah. Jurnal-jurnal penelitianku."
Menyambut sebuah bendel yang baru saja dikeluarkan dari kantong plastik untuk diangsurkan, Yukako tersenyum. Lagi-lagi.
"Terima kasih atas kerja samanya. Toh Chan."

Sedetik berlalu, hilang raut penuh senyum perempuan itu. Berganti tatapan penuh serius, dahi yang berkerut, saat membalik lembar demi lembar.

Tak ingin mengganggu sebenarnya. Tohru berniat menyingkir, duduk di kursi dekat meja, andai kata Yukako tidak segera menepuk-nepuk bagian sampingnya yang cukup lega.

Tak ada pilihan lain kecuali menuruti. Nuraninya sulit menolak melihat Yukako sampai harus bergeser untuk memberi ruang lebih. Wangi tubuh seketika membekap hidung Tohru saat keduannya bersisihan.

Tapi, baru saja lelaki tersebut menempatkan diri di samping dosen walinya, secara mengejutkan Yukako melompat dari atas tempat tidur. Seperti baru saja pantatnya tertusuk bulu landak.

"Aku lupa!"
Suara Yukako meninggi.
"Salah satu jurnal ini harus dipresentasi. Gawat, waktunya sudah mepet."

"...!? Hei, Sensei. Terburu-buru sekalipun, tidak harus seperti itu, kan."

Bukan. Tohru sama sekali tak keberatan ditinggal Yukako berjengit turun, meski dia yang barusan duduk terlihat bodoh seperti kera baru bangun tidur.

Yang jadi masalah besar baginya sekarang, adalah kelakuan Yukako. Bisa-bisanya dia, dengan santai, meloloskan satu per satu kancing baju hijau pudar rumah sakit, melepas, dan melemparnya sembarangan. Padahal, tirai jendela masih belum ditutup, pintu tempat Tohru datang juga belum tertutup sempurna. Sedangkan dari dalam sini, penampakan orang lalu lalang terlihat jelas.

Benar-benar, wanita tanpa pertahanan diri!

Tohru segera melesat keluar kamar, setelah mengingatkan Yukako tentang itu semua. Lelaki itu memilih menutup pintu dari luar, dan memilih berdiri di sana. Menunggu.

Masa bodoh dengan tatapan orang, atau suara hati mereka yang berkata, orang yang aneh, sekalipun. Yang dia pedulikan cuma satu. Yukako masih sempat menurunkan tirai.

Punggung Tohru tegak kembali setelah bersandar, saat dirasa ada pergerakan dari pintu.
"Ku..Kurosaka. Sensei."

"Toh Chan. Tolong bawakan ini."
Bersama sebuah tas penyimpan berkas diserahkan,wajah Yukako tampak tidak begitu merasa bersalah mesti seseorang dibuat menunggu. 2 jam.

Namun, itu semua tak ada masalah bagi Tohru.

Yang membuat Tohru merasa dalam masalah adalah, penampilan Yukako. Benar-benar tak menyangka bila baju terusan bercorak bunga, berbalut sweater putih, bersama alas kaki berhak sedang, dan rambut yang dijepit ke belakang, mengubah image, seenaknya, Yukako. Begitu segar.

Kenapa, Tohru rasa, ini persis dengan pergi kencan!

Meski, setelah tersadar, Yukako sudah berjalan beberapa langkah di depan. Dia tertinggal.
"...Eh. Sen..Sensei, tunggu."

Segera lelaki tersebut menyusul. Yukako dengan langkahnya yang gesit benar-benar bukan tipikal wanita yang sudi menunggu.

"Jadi asisten yang baik ya, Toh Chan."
Yukako sedikit menyipitkan mata, menerima terpaan matahari langsung setelah nyaris sebulan menyepi di kamar rawat.
"Agar honormu bisa di transfer minggu ini."

"...Terima kasih. Sensei."
Tohru menanggapi sambil lalu.

Lelaki itu tak berharap dapat honor, bahkan mimpi jadi asisten dosen saja tidak. Mendapat beasiswa tanpa seleksi, serta diizinkan menyerap semua ilmu strawberry dari Yukako saja, sudah lebih dari beruntung.

Minimal, hasil kebun strawberry keluarganya di Nakaoyama akan sedikit lebih baik.

Sedangkan honor, Tohru rasa pemasukannya menjadi Game Tester, Office Boy, Cleaning Service, serta Security rangkap, sudah lebih dari cukup membiayai hidupnya selama di Kyoto. Apalagi dia dapat fasilitas tempat tinggal, meski cuma ruang sekat di gudang.

Dengan pikiran itu, Tohru mendampingi Yukako keluar Rumah Sakit, menuju halte bus terdekat.

"Kita naik Jalur 42. Turun di Ogawara."
Yukako berbalik setelah usai membeli tiket bus.
"Meet point-nya di sekitar area industri disana."

"Begitukah. Aku kira kita akan pergi ke Ujigawa."

Mereka berdua melintasi portal peron untuk bergabung dengan puluhan orang yang tengah menunggu bus masing-masing.

"Tidak. Kita tak mungkin pergi ke sana. Selain terlalu jauh, ara~ apa Toh Chan sampai hati melihat istri sendiri ini, yang aduhai, menempuh perjalanan jauh setelah dirawat selama sebulan."

Sudah tahu hal itu, kenapa juga masih nekat pergi. Namun yang Tohru ucapkan sesuatu yang lain.
"Bukan begitu, Sensei. Karena biasanya presentasi akan dilakukan di aula kampus, jadi hanya itu yang aku tahu."

Jalur yang mereka nanti, akhirnya datang. Selesai menunggu para penumpang yang keluar, mereka berdua masuk. Ruangan yang tadinya lega, kini berjubel kembali.

Mirip tatanan Sarden dalam kaleng, semuanya ditumpuk begitu rupa. Yukako sampai harus menempelkan diri pada Tohru, hingga seperti hampir dipeluk karena enggan dekat-dekat pria kacamata berkepala botak yang tengah jelalatan meski wajah mesumnya dihalangi selembar koran.

Tanpa dia sadari korannya terbalik!

Ogawara merupakan kawasan industri. Berada cukup berjarak dari permukiman. Di tiap ruas jalan, pabrik-pabrik menjulang bagai raksasa besi.

"Kita tunggu disini."
Yukako keluar bus setelah sampai halte tujuan.
"Harusnya penjemput kita datang tak lama lagi."

Tohru mengedarkan pandangan. Sebelum pada satu sosok pria yang baru turun dari kendaraan, dan seperti tengah mencari seseorang saat masuk halte, matanya tertuju.
"Sensei. Apa dia orangnya?"

"Mana!?"
Yukako, sekejap melihat arah yang ditunjuk sebelum berpaling.
"Bagaimana Toh Chan tahu?"

"Mudah saja. Seragam kerja orang itu berlogo salah satu brand olahan panganan ternama."

Benar juga, selama ini industri yang sering menjadi mitranya dalam mengembangkan strawberry, adalah olahan pangan. Cukup tajam juga pengamatan Tohru, sampai tanpa sadar senyum perempuan itu mengembang. Yang hampir membuat semua pria dalam halte gagal fokus instant, karena keanggunan Yukako kian berlipat.

Selanjutnya, urusan bisnis seperti biasanya. Yukako menerangkan banyak hal, mereka cuma mengangguk-angguk. Perempuan itu melempar candaan, semua tertawa garing, saat dosen cantik itu bergerak lincah ke sana kemari, banyak mata tak berkedip di buatnya.

Sampai. Dosen, dan mahasiswa yang punya hubungan begitu rumit itu terdampar di sini. Terjebak dalam padatnya Gion Matsuri. Festival musim panas yang diselenggarakan sebulan penuh, di Kyoto.

Sebagai bekas ibukota negara sampai Restorasi Meiji, abad 19 akhir, sudah pasti banyak kegiatan klasik di kota ini.

Dari semua moderenitas yang ada, kota tua ini masih sanggup jadi benteng pertahanan terakhir, dalam melestarikan warisan nenek moyang.

Bicara soal nenek.

"...Sampai jadi nenek, kalau aku harus menunggu selama ini."
Gerutu Yukako.
"Ini semua salahmu Toh Chan. Salahmu!"

"E...eh, mana bisa begitu, Sensei."
Tohru tentu tak terima disalahkan begitu saja.
"Lagipula, bukannya menggerutu seperti itu, kebiasaan nenek-nenek juga."

Strawberry MoonWhere stories live. Discover now