7. Kakek Pendeta

11 11 0
                                    

Semua masalah dalam hidup terjadi secara tiba-tiba.

Keadaan yang membuat gelagapan, buntu, dan sulit berpikir. Tanpa pernah sadar, bahwa mencari jalan keluar itu sendiri juga termasuk masalah.

Satu-satunya hal yang terbaik dilakukan adalah, buat asyik saja.

"HEH, APA-APAAN. INI!!!"
Suara menggelegar memenuhi ruangan, menggema.
"Kalian pikir. Pernikahan itu. Main-main!?"

Seperti yang sudah diduga sebelumnya. Hal seperti ini sulit dihindari. Di depan altar kuil, Mei tengah mati-matian menahan seseorang.

Beliau, Kakek Mei. Pendeta Utama kuil ini. Masih membawa tongkat pemberkatan, emosi lelaki senja itu sudah meledak, sulit dibendung.

"Kau. Junji!"
Dengan tongkat, Kakek Mei menunjuk Ayah Tohru.
"Bisa-bisanya kau hanya bicara kalau anakmu akan melakukan upacara pernikahan di kuil ini."

"...ano."
Ragu, Ayah Tohru menanggapi.
"Bukankah itu benar?"

"MAKSUDMU!?"
Kali ini lebih dahsyat dari sebelumnya.
"Kenapa bagian, kalau anakmu bakal menikahi empat perempuan sekaligus, tidak kau ceritakan juga!?"

"...i...itu. Kalau diceritakan sejak awal, upacara ini, pasti tidak akan terselenggara."

"Bagus bila otakmu bisa berpikir demikian. Aku benar-benar tidak paham pikiran anak zaman sekarang."
Kakek Mei menarik napas panjang, memandang sekitar, sebelum sadar sesuatu.
"Tunggu. Mana para orang tua dari mempelai wanita!?"

Untuk pertanyaan yang satu ini, jawaban tidak langsung diberikan. Semua orang saling pandang. Tohru juga, berpaling ke keempat calon istrinya.

Mereka semua terlihat menahan kesedihan sambil tertunduk. Di luar dugaan, Emiko, Ibu Tohru mengambil sapu tangan, menyapukan ujungnya di sudut mata.

Membaca suasana yang mendadak mendung, Pendeta, Kakek Mei, urung mengejar jawaban lebih lanjut. Mei juga telah mencekal lengan bajunya begitu erat.

Lelaki senja dengan tongkat pemberkatan di tangan, menarik napas berat kembali.
"Ya. Ampun. Dosa apa yang telah kulakukan, sampai harus menghadapi keadaan seaneh ini. Apa mereka semua sadar, pernikahan itu janji suci dengan Langit sebagai saksi."

Menunduk, Pendeta menggeleng lemah. Dengan tatapan yang sulit diartikan, kembali beliau menyapu pandang.

Suara senjanya kembali terdengar.
"Jika sudah seperti ini. Upacara pernikahan macam apa yang ingin kalian lakukan."

Terdengar lebih tenang dari sebelumnya. Daripada bertanya, itu lebih tepat di sebut gumaman.

"Apa, saya boleh menyatakan pendapat?."

Dari seorang wanita. Yukako yang duduk bersanding dengan Sumire, sisi kanan Tohru, angkat bicara.

Langsung mendapat perhatian penuh dari semua orang yang ada di tempat itu. Yukako, dari empat perempuan itu, terlihat yang paling bisa menguasai diri. Bahkan, terlihat lebih stabil ketimbang Ibu Tohru sekalipun, yang masih sibuk menyeka air mata saat menatap Yukako.

"Tapi, sebelum itu."
Perempuan itu menyungging senyum, penuh keanggunan.
"Apa boleh saya bercerita satu hal, Kakek Pendeta?"

Entah kekuatan magis macam apa yang dimiliki Yukako. Yang jelas, tidak hanya para hadirin, namun, suasana hati Pendeta terlihat lebih tenang dari sebelumnya.

"Silakan. Nona Muda."

"Terima kasih."

Setelah itu, Yukako bangkit dari duduknya. Dengan langkah terbatas, perempuan itu mendekati pendeta. Mei yang semula memegang erat lengan baju kakeknya, perlahan mulai melepaskannya saat Yukako meminta pembicaraan dua orang saja. Menyisakan pertanyaan semua orang, dua orang tersebut pergi ke sudut ruang.

Strawberry MoonWhere stories live. Discover now