47. Begitu Menawan

2 1 0
                                    

Terpaan sinar dari luar benar-benar mengubah paras Yukako.

Tidak, sejak awal perempuan itu anggun sempurna. Tapi, efek sephia serta aura keemasan yang tersiram ke seluruh tubuhnya, membuat sosoknya kian menawan.

Yukako sendiri, hanya bisa tersenyum simpul, sambil sedikit tertunduk. Sekilas masih bisa terlihat semburat merah cerah merayap di pipinya.

"...Atau, Toh Chan ingin menikmati angin senja dari balkon?"
Sebelum berbalik, dan membuka lebar-lebar pintu kaca yang tersemat.

"...Eh. Baik, Sensei."
Tohru sendiri sampai tak bisa melihat ada pintu di sana.

Bahan materinya sama, sampai-sampai tak terlihat sekatnya. Masih dalam sikap kagum yang sama, lelaki itu berjalan mendekat, merasa hembus angin menerpa tubuhnya.

Terasa kian kuat ketika sudah menyentuh bibir pintu. Tempat di mana Yukako berdiri sambil menggerutu kecil karena terpaan angin sukses membuat rambutnya terbang ke segala penjuru.

Serupa dengan milik Sumire. Balkon kamar Yukako juga terdapat meja ukuran sedang, berteman empat bangku seragam.

Mengambil duduk di sana, Tohru melihat Yukako malah pergi meninggalkannya.

"Aku, ambil minum di dalam dulu."
Bersama gumaman, sepertinya butuh ikat rambut, dari Yukako.

Sebagai balasan, Tohru mengangguk.

Dengan kepala yang masih memutar ingatan keadaan kamar empat istrinya. Sumire, megah dengan suasana negeri dongeng. Sedangkan Aina, super minimalis dengan perabot yang bisa dihitung jari. Tak yakin juga apa ada tempat duduk di balkon, mengingat di dalamnya saja tidak ada sofa.

Kalau Hinako. Sebenarnya warna biru dalam kamarnya cukup menyejukkan tapi, tetap saja. Tohru tidak berani bergerak kemana-mana bila di sana. Alasannya, apalagi jika bukan koleksi, entah ratusan,atau ribuan, pisau yang tersimpan cantik dalam etalase. Secantik apapun, tetap saja mengintimidasi. Salah-salah, leher Tohru taruhannya.

Sedangkan di sini, kamar Yukako. Meski terasa seperti maniak strawberry tapi, terus terang saja, ini cantik. Pesona kamar wanita terlihat begitu menawan di sini.

Di tengah pikiran seperti itu, Yukako datang menghampiri. Di tangannya terdapat dua botol minuman dingin yang langsung diletakkan di atas meja. Tapi, bukan itu yang membuat alis Tohru berkerut.

Rasanya perempuan tadi pergi tidak terlalu lama tapi, kenapa bisa merias diri secepat ini. Tohru melihat ke dalam kamar, sebelum menatap Yukako, tak percaya. Dalam waktu yang begitu singkat, perempuan itu sanggup mengikat dua tepi samping rambutnya ke belakang, sebelum dijepit dengan aksesoris, oh tidak, strawberry. Lagi.

Yukako, menyadari tatapan lelaki di depannya begitu terfokus padanya, hanya bisa melarikan pandangan. Rasa panas perlahan merayap di wajahnya, jantungnya memompa liar. Kenapa rasanya seperti siswi SMA yang barusan dapat kesempatan berdua saja dengan siswa idola sekolah.

Sebelum perempuan tersebut mengambil tempat duduk.
"Hina, sepertinya sangat menyukaimu."

"Eh. Sensei?"
Tohru, tentu saja bingung menanggapi pernyataan dadakan itu.

"Bahkan, Sumi. Sorot matanya berkata demikian juga. Tidak, Aina lebih lagi. Kau tahu betapa berapi-apinya dia saat bertanya keadaanmu, Toh Chan."

"........"

"Dan sepertinya, aku merasakan hal serupa. Meski. Meski, kau masih memanggilku, Kurosaka."

"...Ma...maaf. Sensei."
Kecanggungan Tohru.

Membuat Yukako tersenyum.
"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Tidak perlu minta maaf. Mungkin, alam bawah sadar kita merasa belum mau menerima sepenuhnya percaya, satu sama lain."

"Sen...sensei. Kalimat barusan membuatku takut."

"Eh! Kenapa juga mesti takut. Aku tidak menggigit kok."

Tapi, candaan itu masih belum bisa mengenyahkan semua rasa tegang Tohru. Bermaksud membuat pengalihan lain, lelaki itu memutar-mutar botol minum pemberian Yukako tadi.

Alisnya bertaut saat melihat sesuatu tertera di labelnya.

Suara, krek, dari seberang tempat duduknya, membuat Tohru segera beralih ke sumber bunyi.

Di depannya, Yukako yang membuka segel, dan tutup botolnya, tengah mengarahkan pinggiran benda tersebut ke bibirnya. Berniat mengambil tegukkan pertama.

"Tung...tunggu sebentar, Sensei. Jangan diminum dulu!"

Permintaan keras itu berhasil membuat Yukako, yang membuat botol minumnya miring hingga seperti isi cairannya siap keluar kapan saja, berhenti seketika.

Dengan perasaan bingung, dan botol minuman kemasan yang sedikit dijauhkan, perempuan itu bereaksi.
"Apa ada yang salah, Toh Chan?"

"Waktu Sensei mengambil minuman ini, apa tidak dicek dulu."
Tohru menunjuk label di botolnya sendiri.
"Minuman ini sudah melewati batas kadaluwarsanya, satu tahun yang lalu."

Reaksi Yukako hanya terlihat seperti siswa SMA yang baru saja diingatkan tentang PR yang lupa dikerjakan, oleh teman sebangku.
"Ah, benar juga. Kenapa aku tidak memperhatikannya."

"...Yang itu tadi berbahaya, Sensei."
Tohru mengerang di tempatnya.

"Kalau aku ingat-ingat lebih lanjut, memang, aku sudah meninggalkan kamar ini setahun lalu, tidak, lebih dari itu kurasa."
Yukako mencoba mengingat sambil meletakkan kembali botol minumnya di atas meja.
"Karena kata sandi kamar ini tidak pernah kuberikan pada orang lain termasuk dirimu, kurasa tak ada orang masuk setelah waktu itu."

Pernyataan yang serupa sambaran halilintar.

Menghantam kesadaran Tohru. Lelaki tersebut, mungkin, selamat dari percobaan pembunuhan, tak sengaja, oleh salah satu istrinya. Sulit dibayangkan memang, andai saja isi cairan dalam minuman kemasan itu, berpindah ke perutnya.

Mungkin, penyebab hampir serupa yang membuat perempuan itu masuk rumah sakit.

Selain berhasil menganiaya para pria hidung besar yang suka menebar aksi di dalam kereta, sepertinya tak ada satupun hal istimewa dari Yukako. Pertahanan dirinya lemah, itu bila tidak mau dibilang ceroboh. Ceroboh yang tak mampu mengurus diri sendiri.

Tidak tahu pasti, bagaimana isi kepala perempuan tersebut bekerja. Hingga, mendapat gelar profesornya.

Meski Tohru tidak terlalu yakin.

Tawa ringan terdengar dari Yukako.
"Mungkin, kebaikan seperti ini yang membuat kami berempat, perlahan-lahan, menaruh perasaan padamu."

"...Eh!?"

"Kamu tidak sadar ya, Toh Chan. Memangnya, ada berapa banyak pria yang berkeliaran di sekitar kami dan, tak ada satupun yang dipilih?"

"Memangnya kenapa, Sensei?"

"Toh Chan, Toh Chan. Kamu ini benar-benar polos, ya. Pantas saja Hinako suka padamu."
Yukako menggeleng, pelan.
"Dengar ini dengan baik. Itu karena mereka semua melihat, hanya pada atribut yang kami punya, tidak benar-benar menaruh hati pada kami."

Tiba-tiba, pikiran Tohru menjelajah, di mana ada produser hidung belang yang ingin membuat konten aneh-aneh pada Hinako.
"Tunggu, Sensei. Jika Hina San mempunyai rasa padaku, kenapa tadi, baru saja, dia mengejar-ngejarku dengan dua pisau terhunus, seperti adegan di survival horor?"

Senyum Yukako merekah sempurna.
"Coba kamu ingat dengan baik."
Namun, dengan tatapan yang terlalu serius.
"Bukanya selama ini Hina cuma mengacungkan pisau hanya untuk memperingatkan mereka yang berada dekat dengan perempuan itu, untuk menjaga jarak. Sedangkan untukmu, dia sampai mau repot-repot mengejar, sampai seperti itu."

Bersama gumaman, asyiknya masa muda, dari Yukako, Tohru merasa, sama sekali tidak diuntungkan dengan tindakan Hinako yang baru saja dijabarkan.

"...Tapi, Sensei. Sebagai seseorang yang mengenal Hina San sejak kecil, apa kebiasaannya menghunus pisau itu sudah dia lakukan sejak dulu?"

Strawberry MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang