20. Tahu Posisi

8 7 1
                                    

Atau, menahan pintu lift, menunggu seseorang untuk masuk bersama. Jangan bercanda. Berdiri diam saja, Aina sudah menguarkan hawa intimidasi yang kuat.

Seperti magnet kutub sejenis. Jangankan berdampingan. Mendekat saja, bakal terpental, seketika.

Manager San hanya berharap semua perubahan ini tidak menambah repot pekerjaannya. Sambil menggeleng-geleng, tak habis pikir, lelaki itu melintas di Lobby, berbaur dengan kerumunan. Menyelip di antaranya.

Sedangkan, di lift!

Berdiri berdampingan keduanya, Aina, dan Tohru. Cukup luas ukurannya, tapi tak ada orang lain selain mereka.

Selain, memang barang bawaan Tohru yang makan banyak tempat, juga Aina yang sejak awal berdiri, sembari bersedekap, seolah siap menghabisi siapapun, kapan saja, jadi penyebab samping.

Belum ada yang mengawali percakapan saat indikator menunjukkan lantai 5 dari total 40, sebagai tujuan akhir. Denting demi denting tiap lantai, merayap di udara menggantikan kebisuan.

Wajar bagi Tohru, karena harus menjaga koper-koper besar bawaan, yang sudah luber sampai bibir Troley, agar tidak berjatuhan. Sedangkan Aina. Masih bersedekap dengan tangan mengepal. Rasanya terlalu dingin, hingga sulit digerakkan. Tidak, pendingin ruangan di ruang persegi ini tidak semenusuk itu. Tapi, karena dieratkan kuat.

Dia. Tegang!"

Pada apa. Pada siapa. Yang benar saja. Mencoba menguranginya, Aina mengedarkan pandang. Bersama mengetuk lantai dengan sepatu.

"...yamauchi San. Apa kamu baik-baik saja?"

"...eh...ah. Tentu saja. Kenapa?"

Tohru sudah yakin sebelumnya, jika suara lirihnya, mampu mencapai Aina. Lelaki itu merasa, perasaan tak nyaman, mendekap Aina. Gerakan menoleh yang begitu gelisah, dan ketukan kaki yang tidak berirama, sama sekali.

Meski tergagap saat menjawab. Tapi, Tohru bisa merasa tenang bila perempuan itu masih baik. Nervous menjelang latihan, mungkin.

Walau prasangka Tohru 1000% meleset.

Pertanyaan yang membuat napas Aina tercekat. Apa begitu kentaranya.

Tidak mungkin!

Aina menoleh ke samping. Menutupi segala kekakuan dengan menatap Tohru, dari dasar kaki, hingga pucuk kepala.
"...bagaimana Yuka?"

"Ah, Kurosaka Sensei."
Tohru menjawab dari balik tumpukan.
"Baik-baik saja. Kurasa."

Dari menoleh ke arah Tohru, Aina kembali menghadap depan.
"Bukan itu maksudku."

".....!!? Eh?"

"Bukannya kau tadi menelponnya?"

".....Itu."

"Lalu, bagaimana reaksinya mendengar kau lebih memilih menemaniku, dari pada pergi ke kampus?"

Beberapa saat Tohru tidak buka suara. Walau tidak ada jadwal, sebagai mahasiswa, sudah pasti dia harus menyambangi kampus tiap hari.

Tidak bisa seenaknya absen begitu saja. Bila hendak izin, pemberitahuan mesti dikabarkan sehari sebelumnya.

Tidak mendadak seperti ini.

"Soal itu. Entahlah."
Tatapan Tohru sedikit mendung.
"Mesti tadi terdengar baik-baik saja, tapi aku merasa akan ada kejutan darinya."

"Kurasa, kejutan itu pantas untukmu."
Masih bersedekap, kepala Aina mendongak. Beralih dari melihat pantulan diri di pintu lift, berganti melihat indikator berganti angka.
"Hukuman, terdengar lebih baik, sepertinya."

Strawberry MoonWhere stories live. Discover now