52. Pantulan Cermin

2 1 0
                                    

Ada yang tahu, kapan kira-kira kiamat datang?

Sudah pasti tidak seorangpun tahu.

Paling tidak, itu jawaban super klisenya.

Akan tetapi pertanyaan itu, bila dilemparkan pada Kurosaka Yukako, taruhan, dosen cantik itu tahu persis jawabannya.

Pendar mentari yang baru saja merekah di timur begitu imut merayap dari pintu kaca besar balkon, akan jadi pihak pertama yang Yukako rutuki keberadaannya karena hanya akan mempertegas sembab besar kemerahan yang sepanjang 29 tahun hidupnya, atau paling tidak sepekan belakangan ini, menjadi atribut wajib yang bergelantung manja di kedua kelopak matanya.

Rasanya tidak mungkin juga bila hari ini tidak menyambangi Kyodai. Andai saja kampus itu milik kakek moyangnya, yang memang pasti bukan, Yukako mungkin bisa merekayasa cuti dadakan dengan dalih, dia harus berangkat ke Afrika karena di Kilimanjaro sdang merebak Ebola jenis baru yang sanggup menjangkiti manusia lewat strawberry yang sudah terkontaminasi, atau baru saja JASA menghubunginya karena Lembaga Antariksa Jepang itu hendak membuat rumah kaca strawberry di bulan sebagai balasan hubungan bilateral atas pernah dikirimnya Putri Kaguya.

Desahan panjang mengembalikan Yukako pada realita, bahwa perempuan itu, saat ini tengah menghadapi pantulan dirinya sendiri di cermin. Sangat seringnya Yukako menggigit bibirnya sendiri dengan tatapan tidak nyaman mengindikasikan, kalau-kalau Foundation yang akan dioleskan untuk menyamarkan sembab gagal, perempuan itu bisa amblas bumi, atau setidak-tidaknya pantulan wajahnya di cermin termozaic begitu saja seperti sensor auto aktif pada film dewasa.

Tidak nyaman memang bila usaha menyamarkan ini gagal. Tidak pas saja. Dampaknya terlalu besar bagi kepercayaan diri Yukako. Meski begitu, dosen cantik itu tetap beranjak.

Baju terusan berwarna magenta sepaha dengan bahan yang mudah jatuh, berkelebat pelan bersama langkah Yukako membelah kamar pribadinya yang kebanjiran pola strawberry di mana-mana. Pintu keluar yang gagang pintunnya berhasil tih dan menyandarkan dahi barang sejenak sembari menghembuskan napas berat,, juga bukan pengecualian.

Bertahan di kamar itu mengerikan tapi, kenyataan di luar sana jauh lebih menyeramkan!

Sumpah demi strawberry untuk Putri Kaguya. Begitu pintu di buka, Yukako tergoda untuk membantingnya keras-keras agar segera tertutup. Yang ada di depannya masuk dalam kategori lumayan seram versi Harvest Moon.

Dua sudut bibir yang terangkat bersama mata bulat yang sedikit menyempit. Pita besar yang tersimpul sedemikian rupa entah bagaimana, mirip kuping kelinci. Bersama wajah imut menggemaskan sebagai penutup. Paras yang sangat mencerminkan kelinci bulan.

Begitu ceria, Hinako berujar.
"Ne~chan. Selamat pagi."

Ymukako terbata, seperti baru saja dia menelan terakota bermotif strawberry sebesar guci Cina dari Dinasti Ming. Dia ingat betul, dandanan seperti ini yang dulu diajarkan pada Hinako sewaktu sepuluh tahun usianya.

"Hi-Hinako, bagaimana bisa...?"

"Kenapa mesti berkata seperti itu.~"
Hinako tertawa geli.
"Daripada itu, bukannya ada hal lain yang sebaiknya Nee~Chan lakukan?"

Napas dalam Yukako ambil lagi.
"Yah, kamu benar."

Hinako yang mengangguk bersama kalimat baiklah silakan lewat sini akan kutunjukkan jalan ala hulubalang kaisar, segera berbalik mendahului.

Dari belakang, Yukako berjalan setelah menutup dan memasukkan sandi, tanpa berniat sekalipun menyusul.

Tatapannya tertuju pada punggung Hinako yang berbalut seragam perempuan itu sewaktu perempuan itu SMA dulu.

Bagaimana Yukako bisa lupa. Dia yang dulu mengenakan baju tersebut ke badan mungilnya.

Juga kejahatan kecil apa saja yang mungkin bisa disembunyikan dibaliknya. Menyembunyikan kudapan kecil tanpa ketahuan guru misalnya, atau menyelipkan beberapa kertas contekan, atau membawa pisau tanpa terlihat mencolok dari luar untuk jaga-jaga dari pria iseng.

Kabar baiknya, kalau saja mengajari anak SMA berbuat badung itu merupakan kabar baik, untuk opsi ketiga Hinako masih melakukannya sampai saat ini. Selain semakin mahir, tampaknya Hinako juga menambah kuantitas pisau yang dibawa. Selain kegunaan awalnya, gadis itu juga membuat pekerjaannya sebagai cook artisant dan vloger kian praktis karena dapat mencabut benda tajam itu dari mana saja.

Yah, bukannya murid sering kali lebih jenius ketimbang guru!

Menuruni tangga ke lantai 20, Hinako berbalik sebelum berucap.
"Nee~Chan tunggu di meja dulu. Akan kusiapkan bekal.~"

"Eh, hei. Hina Chan, tidak perlu seperti itu, merepotkan. Aku bisa membeli bento di stasiun nanti."

Senyum, dan posisi Hinako belum bergeser kemana-mana. Tapi Yukako merasa risih dengan tatapan perempuan tersebut.. Rasanya seperti, sudahlah menurut saja atau kamu lebih memilih sesuatu yang sangat tajam terbang ke arahmu.

Ah, anggap saja sesuatu semacam itu!

Bisa saja Yukako memaksa berlalu dan bila perlu, dia akan berlompatan ke sana kemari menghindari sabetan-sabetan liar Hinako, berubah jadi kamen rider kalau perlu.

Sayangnya, Hinako malah berbalik, berjalan memasuki kitchen bar.
"Baiklah~ kalau Nee~Chan tidak bisa menunggu. Aku bisa antarkan bekal-bekal ini ke Kyodai nanti."

Dahi Yukako berkerut.. Tidak peduli dia sudah termakan senjatanya sendiri, profesor cantik itu urung pergi. Lebih memilih duduk di salah satu kursi meja makan.

"Kamu yakin sekali aku hendak ke Kyodai?"
Ujar Yukako.

Dia yakin sekali, apa yang dikenakan, riasan apa yang dia poleskan sama sekali tidak memberi informasi spesifik tentang tempat mana yang hendak dituju. Sederhananya, Yukako bisa pergi kemana saja. Kecuali toilet umum.

Hinako tengah memainkan alat masak bersama tungku yang menyala. Suara berdentang perkakas beradu menemani aroma harum yang membuat perut meraung kesetanan.

"Tidak persis seperti itu. Aku cuma nebak saja.~"

Jadi, asal menebak, cuma spekulasi. Usaha yang bagus untuk menarik lawan untuk mengobrol. Temanya, tentang apa saja yang, mungkin, akan dilakukan lawan bicara. Hanya, mungkin. Jadi yah, kalau itu meleset, paling tindakan apa yang hendak dilakukan, kita sudah dapat petunjuk.

Sangat Hinako!

Kalau tidak, mana mungkin subscription Hinako meledak seperti itu. Mereka tentu tidak sudi berlangganan vlog burung pelatuk, meski burung pelatuk dan Hinako sama-sama punya obsesi tertentu perihal melubangi sesuatu.

"Begitu, ya."
Yukako beralih pandangan dari si pita biru yang baru saja membalik masakan di penggorengan dengan cara dilempar, ke arah TV plasma besar yang tertancap di dinding seberang.
"Kamu sendiri, cuma mau mencoba membangunkan orang, dan membuatkan sarapan saja hari ini."

"Nggak dong. Cantik kayak begini masak cuma jadi asisten rumah tangga.~"

Tawa renyah Hinako menggema. Jenizs tawa yangsanggup membuat semua Family Rosache berbuah di luar musimnya.

Paling tidak, itu yang Yukako pahami sambil memandang pantulan dirinya di TV mati saat bergumam, ara~ aku mengerti.

Mati bosan hampir saja hinggap dibenak Yukako. Mendorongnya sanggup melakukan hal nekat di luar nalar. Minum kopi secangkir-cangkirnya mungkin atau, gantung diri di pohon strawberry.

Strawberry MoonWhere stories live. Discover now