5. Surat Kontrak

21 15 0
                                    

"Ya. Aku masih berada di tempat itu."

"Ok, Bro. Sampai nanti. Aku teruskan pekerjaanku dulu."

Suara statis terdengar setelahnya. Mendakan pembicaraan berakhir.

Tohru melepas gawainya untuk dimasukkan dalam saku celana.

Dari tempat duduknya, di pinggiran ranjang, lelaki itu memeriksa kembali semua barang bawaan.

Kamarnya saat ini tidak bisa dibilang luas. Hanya ada satu tempat tidur single bed, serta meja kecil tempat komputer personal berada.

Toilet, dan tempat mandi berada tepat di samping ranjang. Terlalu kecil hingga harus mengangkang closet saat membersihkan badan.

Bila diibaratkan, ruangan ini tidak lebih luas dari setengah ukuran kandang sapi.

Setelah memastikan semua bawaan sudah masuk, Tohru tersenyum lebar. Dia bangkit berdiri sembari meletakkan ransel di pundaknya.

"...Baiklah!"
Lelaki itu bergumam untuk menguatkan diri sendiri.

Saat pintu digeser, tidak seperti di dalam, ribuan suara berbagai jenis langsung membekap telinganya. Juga pemandangan ratusan orang bergerak ke segala arah, jadi pengisi jarak lihatnya.

Tohru bergerak setelah memastikan pintu dia tutup, dan dikunci dengan benar.

Dia berjalan ke meja informasi.

"Selamat pagi."
Gadis berseragam resepsionis menyapa di meja counter.
"Ada yang bisa dibantu?"

Tohru membalas senyum gadis di depannya.
"Selamat pagi. Ano, saya ingin mengembalikan, ini."

Keycar itu Tohru letakkan di atas meja. Dengan wajah segar yang belum pudar, gadis resepsionis itu mengambilnya.

"Harap tunggu sebentar."

Setelah mengiyakan dengan anggukan, gadis resepsionis itu mulai bekerja di balik komputer. Menekan tombol keyboard sesuai keinginan.

"Semuanya, 1300 yen."

Harga yang lumayan untuk pemuda desa. Setelah menyodorkan uang, dan membungkuk, Tohru berlalu.

Dia harus bergegas keluar stasiun untuk mencari halte bus.

Sora sudah mengiriminya peta tadi, dan Tohru juga sudah membukanya.

"Naik bus metro jalur 36."
Tohru berusaha menelaah perjalanannya.
"Jadi harus ke halte dulu. 200 meter dari stasiun."

Berhenti sebentar di pintu keluar Stasiun Junior, mata lelaki itu berbinar saat melihat pemandangan di luar.

Lebih daripada di dalam, terlalu banyak orang melintas. Tidak hanya berjalan. Naik sepeda juga dilakukan orang-orang di jalan raya, selain kendaraan roda empat.

Tak henti Tohru menoleh kanan kiri, mengamati semua yang ada. Ini jelas jauh beda dari Nakaoyama. Yang melintas di jalanan bisa di hitung jari tiap jamnya. Paling sering Pick Up Kiba yang tidak boleh absen, karena dia pengantar hasil bumi, dan tembikar keluar desa.

Resepsionis satu-satunya, cuma Mei. Menjadi gadis kuil jelas bukan pekerjaan, karena itu tradisi turun temurun keluarganya. Bersama musium tembikar, dengan sabar gadis itu berbagi pengetahuan dengan wisatawan.

Tidak seperti di Kyoto. Sepertinya semua resepsionis di sini sudah terinstall hal yang sama.

Juga dengan resepsionis halte bus, yang membungkuk, tersenyum manis, sebelum menyapa ramah.
"Selamat pagi. Ada yang bisa dibantu."

"...eh!?"
Tanpa sadar Tohru sampai halte.

Sedangkan yang menyapa barusan bukan gadis resepsionis, melainkan, gadis loket.

Strawberry MoonWhere stories live. Discover now