60. Kau Curang

8 0 0
                                    

Beberapa abad setelah VOC mampir ke Pulau Dejima, stroberi jadi populer sampai ke pelosok negeri, tahu kenapa bisa begitu?

Karena tanah ini benar-benar miskin varietas buah.

Masalahnya domestifikasi itu bukan perkara mudah. Perlu orang berdedikasi tinggi untuk menjalankannya. Dan Tohru, rasa-rasanya dia tak punya tingkat serius setinggi itu.

"Huwah! Suhunya sudah serendah ini. Gawat, gawat, nol derajad celcius, mana pemanas belum juga dinyalakan. Bagaimana ini Kiba?"

"Kenapa kau tanya aku, bukannya tempat ini rumah kaca keluargamu?"

Mizutani Tohru berlarian ke sana kemari di dalam rumah kaca, tanpa tujuan jelas. Kiba sahabatnya sejak kecil, cuma berdiri diam di salah satu sudut. Menatap kehebohan yang tersaji.

"Aku akan mati, aku benar-benar akan mati. Wanita itu bakal membunuhku?"
Ujar Tohru melihat petunjuk temperatur ruangan digital, sebelum meneruskan kegaduhan.

"Siapa yang akan membunuhmu, ibumu atau perempuan kota itu. Aku tahu, sejak SMP kau itu sudah payah, tapi tidak pernah sekacau ini. Ya ampun, apa yang orang-orang kota itu lakukan padamu. Tohru, hei awas, perhatikan langkahmu!"

Salah satu kaki Tohru masuk ke dalam ember. Seseorang lupa mengembalikan ke tempatnya setelah mengganti ulang media tanam. Mengabaikan seseorang itu bisa dirinya sendiri, dengan terpincang Tohru memaksa melepaskan diri.

Keseimbangan yang gagal terjaga, berbuah Tohru terjungkal ke depan. Segala penderitaan berakhir setelah wajah lelaki itu menghantam dinding kaca, tanpa ampun.

"Ah iya, aku baru ingat,"
Gumam Tohru dengan mata berputar-putar.
"Batubara, di mana briket batubaranya, Kiba?"

"Otak encermu itu baru bisa bekerja benar kalau sudah terhantam sesuatu, ya ampun. Padahal tahu, aku kemari karena permintaanmu dibawakan benda itu. Tunggu sebentar, kuambil dulu di Pickup."

Tanpa bantuan, yang bisa jadi Kiba enggan mengulurkan tangan, Tohru mencoba berdiri. Tangannya merayap pada obyek yang telah ditabrak. Kacanya dingin, wajah Tohru panas, dan perasaan yang ada di dalam hatinya, bukan perpaduan dari keduanya. Rumitnya melebihi instalasi pengairan rumah kaca tercanggih sekalipun.

Tohru mengerang, entah untuk nyeri yang perlahan terasa, atau karena merutuki kebebalannya sendiri, atau merencanakan balas dendam terefektif pada Kiba yang terlihat berjalan menjauhi rumah kaca. Teman terbaik apanya, bila tidak setia kawan begitu.

Ah benar, mana kertas laporannya. Kondisi seperti apapun, Tohru harus tetap mencatat. Nyaris semua benih buah di sini ditembusi profesor cantik itu pada pihak Universitas Kyoto. Lagi-lagi, Tohru sedikit percaya komentar Kiba soal kekacauannya belakangan ini.

Di tengah kesibukan memilah pikirannya sendiri, sebuah suara memasuki bidang pendengaran Tohru.

"Sudah kuambilkan, dan sudah kuletakkan langsung ke ruangan pemanasan. Kau, sebaiknya segera periksa semuanya dari pada berpandangan kosong seperti itu. Hei Tohru, apa kau masih ada di Bumi?"

"Ah i-iya, tentu aku masih ada di Bumi. Ruangan pemanas bukan, aku dengar itu. Aku ke sana dulu. Kau, di sini sendiri, tak akan menangis kan, Buldozer?"

Dengan geraman, berani-beraninya kau memanggilku Buldozer, Kiba yang belum benar-benar menutup pintu masuk, melesat ke arah Tohru. Menangkap aura, kemarikan lehermu biar kupatahkan, Tohru berlari keluar lewat pintu lain. Sempat tadi, dia menyambar tas bawaannya.

"Mei...!?"
Tohru terkesiap, pandangannya menangkap satu sosok begitu lelaki itu memasuki ruangan pemanas.
"Kau, kenapa bisa ada di dalam sini?"

"Menurutmu, kenapa?"
Entah kenapa wajah Mei terlihat kesal.
"Tentu saja membawa sekarung briket batubara kemari. Padahal aku sudah rapi begini, malah dijadikan buruh angkut. Huh, dasar!"

"Tunggu Mei, buruh angkut? Bukanya itu Kerjaan Kiba. Terlebih lagi, apa itu artinya kalian kemari bersamaan?"

"Tentu saja bersamaan, dasar Tohru,"
Mei menoleh pada lawan bicara dengan bara menyala di mata.
"Ini menjelang malam natal, tahu. Kiba memintaku menemani ke Nagasaki. Ada parade menara lampu di Van Den Bosch."

Mengangguk-angguk, mengabaikan Mei yang menatap tajam, Tohru mulai membongkar isi karung.
"Waduh gawat juga kalau tidak segera berangkat. Bakal terlambat lihat kembang api nanti."

"Dengan Kiba yang nangis-nangis setelah melihatmu di rumah kaca, mana bisa langsung berangkat begitu saja. Angkat satu karung orang itu tidak sanggup, apalagi mesti mengemudi Pickup sampai Nagasaki. Kalau harus aku juga yang membawa mobil dingin-dingin begini, lebih baik pulang saja."

Tohru mendengarkan gerutuan Mei, sambil mengamati indikator pemanas. Pemanas yang sedikit mirip dengan lokomotiv kereta. Batubara dinyalakan dalam tungku dengan ketel penuh air menyatu di atasnya. Air bergolak, uap mengalir ke pipa-pipa, menggerakkan indikator pada angka tertentu.

Angka yang bisa dia bayangkan, bagaimana hangatnya di dalam rumah kaca. Tidak seperti Kiba. Memiliki tubuh gempal, tapi bisa-bisanya menangis, sampai-sampai tak sanggup mengangkat sekarung batubara. Benar-benar sulit dibayangkan.

Lega seketika menjalar. Untuk beberapa jam ke depan, rumah kaca bakal baik-baik saja. Mendekati titik beku seperti ini yang namanya bencana bisa terjadi tanpa peringatan. Bermula seperti ujung penyiram otomatis yang tersumbat air beku, misalnya. Atau, ratusan tanaman yang bisa mati beku. Satu kesadaran membuat Tohru menuliskan semuanya pada kertas laporan. Kesadaran lainnya, ada suatu ganjalan yang mesti dia tanyakan pada pihak lain.

"Mei...aku, apa aku mengacau?"

"Hal itu...,"
Mei tidak begitu yakin dengan lanjutan kalimatnya. Pandangannya tak pasti, antara ujung sepatu kulitnya atau kulit wajah Tohru yang kehilangan cahaya.
"Kalau membuat orang lain khawatir itu masuk dalam kategori mengacau, ya, kau melakukannya."

Mei masih ingat kedatangan Tohru kembali ke Nakaoyama. Auranya begitu kelam, benar-benar tak ada cahaya. Senyumanya hilang, keramahanya lenyap. Kalaupun bercanda, itu hanya pada orang yang dekat saja.

"Kau terlalu tenggelam pada tugasmu, pada strawberry eksperimen itu. Lupa waktu, lupa jalan keluar dari rumah kaca ini, lupa kalau masih orang yang bisa kau ajak bicara di Desa Nakaoyama kalau hatimu sedang kacau. Kau curang, Tohru. Terlalu egois. Kau simpan semuanya sendiri, sampai-sampai kita semua hanya tahu ledakan besarnya. Kau menyebalkan, Tohru...."

Mei tak bisa melanjutkan ucapannya. Gadis itu hanya bisa bersandar pada sembarang dinding. Hatinya lega, napasnya tercekat, dan air di matanya membasahi ketidakberdayaan seorang sahabat.

Genggaman Tohru pada alat tulis mengeras. Bila Mei yang selalu berpikiran optimis itu sampai menangis, itu berarti dirinya sudah sangat keterlaluan.

"Aku tidak tahu, apa kata, maaf, masih ada gunanya atau tidak,"
Tanggapan lirih Tohru, sebelum menata kembali pikirannya.
"Harusnya aku tahu, matahari masih akan terbit esok pagi. Terima kasih, Mei."

"Terima kasih apanya, aku merasa tidak melakukan hal besar,"
Mei menghapus air mata dengan punggung tangan, dan memaksakan senyum. Detik berikutnya dia menolak pemberian Tohru yang lelaki itu ambil dari tasnya.
"Strawberry Koi Minori-nya, kurasa kau yang pantas memakannya. Legenda yang melekat pada buah itu, kau tidak lupa kan?"

Berikutnya, panik menyelimuti Mei. Penyebabnya, jawaban Tohru soal jam berapa sekarang. Gadis itu buru-buru melesat, sambil berpesan dengan nada memerintah, agar Tohru pulang untuk merayakan malam natal di rumah.

Setelah sunyi merambah, Tohru mengamati strawberry dalam genggaman, sebelum memakannya. Dengan lembut, rasa manis memenuhi rongga mulut, menghangatkan hati.

Ringan, kaki Tohru melangkah. Menuju mobil pickup ayahnya, setelah memeriksa ulang kondisi rumah kaca.

Mengeluarkan kalung dengan jalinan empat buah cincin pernikahan, Tohru berharap yang terbaik untuk empat nama yang terukir di sana.

Entah Tohru masih dianggap suami, atau tidak.

आप प्रकाशित भागों के अंत तक पहुँच चुके हैं।

⏰ पिछला अद्यतन: Nov 05, 2023 ⏰

नए भागों की सूचना पाने के लिए इस कहानी को अपनी लाइब्रेरी में जोड़ें!

Strawberry Moonजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें