35. Kalah Langkah

5 3 0
                                    

"...Kalau sudah merasa lebih baik. Bagaimana, bila Sumi Hime makan malam dulu."
Tohru bersiap hendak berlalu.
"Keperluanku dengan kamar Sumi Hime cukup untuk hari ini. Aku yakin, Umemura San pasti menyiapkan hidangan istimewa, lagi."

Iali ini, Sumire tidak menahannya. Dia hanya menyesap teh dalam diam. Bukan sepi lagi yang mendiami kamarnya. Seperti yang sudah-sudah.

Melainkan suasana menenangkan, yang hadir menggantikan. Lumayan, mengendurkan urat syaraf karena pekerjaan.

Sepertinya, Tuan Putri yang selama ini selalu was-was dalam menara pelindungnya, bakal bisa tidur penuh senyum, malam ini.

Dengan pemikiran itu, Sumire beranjak. Dari balkon, keluar kamar.

Baru saja pintu di buka. Sumire sudah berdiri kaku di tempat.

"...Te. Yetapi, Umemura San. Aku benar-benar tidak melakukan hal yang kamu tuduhkan."

Melihat pemandangan, tepat di depan mata. Tohru sudah berdiri menghimpit dinding. Tampak kesulitan melakukan apapun. Baik berucap, atau bernapas sekalipun.

"Benarkah~ kalau begitu, kenapa Nii~San ada di sini?"
Berkebalikan dengan nada ceria menggemaskan yang terucap.

Satu bilah pisau, kecil, berkilau, dan sepertinya tajam, Hinako tempelkan tepat di nadi leher Tohru. Lengkap dengan hawa kelam, penuh intimidasi yang menguar dari punggung perempuan tersebut.

"A. Aku, hanya menunggu Sumi Hime keluar kamar."
Panik luar biasa. Tohru benar-benar tidak ingin berakhir seperti ini.
"Jika Umemura San tidak percaya, tanyakan saja sendiri."

"Sumire~ apa benar, yang..."
Mengalihkan pandang, Hinako tertegun menatap Sumire. Tatapannya lekat menelusur dari ujung kepala, hingga pucuk kaki.
"...Hey, hey. Hey serius kau mau pakai kostum Cosplay itu lagi. Bukannya, sudah hampir satu pekan?"

Merasa pisau itu sedikit menjauh, cepat-cepat Tohru mengambil jarak aman.

Sedangkan, Sumire berjalan melewati Hinako setelah menutup pintu kamar.
"...Selamanya. Mungkin."

Gaun Putri milik Sumire berayun-ayun mengikuti pergerakan langkah kaki. Meski berganti, tapi masih baju dengan model yang sama yang perempuan itu kenakan, hampir sepekan.

Memangnya tidak sulit bergerak, atau kepanasan dengan pakaian seberat itu, pikir Hinako.
"Kau. Tidak sedang demam, kan?~"

Tidak ingin menjawab, Sumire hanya melihat Hinako dari ekor mata.

Tohru mendekat, berjalan bersisihan saat Hinako berjalan lebih cepat. Melewati mereka berdua.

Sorotnya menatap tajam Sumire, dan Tohru secara bergantian. Ketika berbalik, dan berjalan mundur.
"Kalian, berdua. Jangan-jangan aku kalah langkah?~"

"Bicara saja, sesukamu. Hina."

Dengan dingin, Sumire melangkah. Melewati Hinako yang tiba-tiba melambat. Di samping, Tohru tidak berani buka suara. Keringat dingin mengalir di dahi. Andai salah buka suara, Hinako tidak akan berpikir dua kali untuk menancapkan pisau di dahinya.

"...Eh! Jadi benar, aku keduluan.~"
Hinako kembali menyusul. Setelah mata lebarnya meneliti Sumire, yang tanpa ekspresi, tatapannya berpindah pada Tohru.
"Aku akan berjuang. Nii~San!"

Susah payah Tohru menelan liurnya sendiri. Pernyataan Hinako barusan, terasa seperti akan ada masalah baru di hidup lelaki itu.

Hinako berjalan dengan ceria. Sesekali melompat kecil, selayak kelinci di padang rumput. Mata bulat, pipi menggemaskan, juga pita besar yang setia tersemat di kepala, membuat perempuan tersebut kian mirip dengan mamalia pengerat bertelinga panjang itu.

Tidak salah, jika stasiun-stasiun televisi di luar sana berebut jasa Hinako sebagai Cook Artisant, atau sekedar pengisi acara. Sikap cerianya, benar-benar menular.

Ketiganya, melewati tangga. Turun dari lantai 22 ke 21.

"Ah.~ biasanya, cuma aku sendiri yang berada di sini.~"
Hinako merentangkan kedua tangan di udara.
"Biasanya, cuma ketemu Nii~San saja bila pulang syuting. Benar begitu, Nii~san."

"...Eh. Ah. I...iya."
Tidak siap dilempar pertanyaan semacam itu, Tohru gelagapan. Mirip ikan koi yang megap-megap keluar kolam.

Lantai 21. Tak lebih dari lantai keramat bagi Tohru. Di tempat inilah, dia salah naik lift. Dan, berbuntut, harus menikahi empat perempuan, sekaligus. Karena, melanggar zona pribadi hukumannya sangat berat bila terbukti di pengadilan.

Tidak lebih dari 1/5 bagian, yang digunakan. Selebihnya, luas lantai dua kali lapangan Rugby ini, dibiarkan kosong, begitu saja.

Sumire memilih duduk tenang di meja makan, yang lebih mirip meja perjamuan. Hinako, mengarah pada Kitchen Area, yang terhampar persis di samping tangga. Bersiap menyiapkan makan malam.

Tohru sendiri, bingung mau melakukan apa, memilih mengambil Remote TV. Ada Plasma layar besar yang tertempel di dinding, tak jauh dari meja makan.

"Nii~San. Bisa aku minta bantuan?~"
Dari arah dapur. Hinako menguatkan suara.

"...Baik!"
Pergi bergegas.

Tohru meletakkan sembarang remote begitu saja. Seperti yang sudah dia ketahui. Meski dengan nada riang Hinako berucap, tindakannya bakal jauh dari kata itu. Besar kemungkinan, perempuan tersebut, melempar semua benda tajam dari dapur.

Sumire, yang menatap langkah terburu Tohru, duduk manis di tempat duduknya. Saat beralih pandang, dia menangkap benda persegi yang ditinggal pemuda tadi, tak jauh darinya. Merasa bisa mengurangi sedikit bosan ketika hidangan datang, memencet salah satu tombol di sana.

TV menyala!

Keluar dari satu bosan, masuk ke bosan yang lain. Tak urung, perempuan itu terus mengganti kanal. Dengan cepat. Tanpa ada niat, benar-benar menonton.

"...Silakan. Dinikmati!"
Tohru kembali dengan nampan, dan piring lebar penuh makanan.

"Hei, Nii~San."
Dengan pita besar yang terus berayun, Hinako muncul belakangan.

Tepat, bersama Sumire yang sudah memutuskan kanal TV-nya. Atmosfir makanan segera menggelitik penciuman. Lewat kepulan asap tipis yang memudar di udara. Sangat menggoda bila tidak segera di habisi.

"Iya, aku tahu. Aku tahu."
Meletakkan nampan, lelaki itu memilih duduk di kursi samping Sumire.
"Meski rekomendasiku bahan segar untuk Sumi Hime. Sekali-sekali, menyantap hidangan fast food, tidak buruk juga. Bukan begitu?"

Merasa dia yang terkena pertanyaan yang Tohru, Sumire terdiam. Sebelum mengangguk. Berbanding jauh dengan tatapan yang terus menempel pada layar plasma.

Satu demi satu hidangan keluar nampan di meja panjang, dan enam kursinya. Beberapa saat berselang, ketiganya sudah berhadapan dengan piring dengan isi penuh.

Sayangnya, Sumire tertangkap basah, cuma mengaduk-aduk makanannya. Melihat sebentar, mereka mengikuti arah pandangnya.

"...Oh. Berita tentang tabrakan beruntun di lintasan F1, kemarin."
Satu suap, Tohru mengunyah setelahnya.

"...Ke. Kecelakaan!?"
Gemanya terdengar begitu terpantl. Niat satu suapan Sumire, batal seketika. Perempuan itu terkejyut luar biasa.
"Lalu, korbannya?"

Dengung samar terdengar ketika lelaki itu mencoba mengingat. Dia baru bicara setelah mendorong kunyahan ke dalam lambung.
"Cukup banyak. 6 pembalap, seingatku. Tidak ada satu mobil pun yang utuh. Semua hancur."

Sumire terperenyak. Pertanyaan lanjutan siap dilontarkan. Tepat di ujung lidah.

"Lalu. Aina, Bagaimana!?"
Ketika terpotong pertanyan dari Hinako.

Terlihat, paras gemasnya, serius. Menatap Tohru dengan intens. Seolah menebar ancaman tak kasat mata, kqlau-kalau mulut lelaki itu berdusta.

"Ai Chan. Tidak terlibat insiden itu.*
Tohru terkekeh mengulang berita itu di dalam benak.
"Tentu saja. Karena dialah penyebab tabrakan beruntun itu."

!?

Strawberry MoonWhere stories live. Discover now