15. Cenayang Magang

11 6 0
                                    

"Yuka Chan. Kau yang tertua di sini. Aku harap kau bisa mendampingi mereka. Terutama. Tohru."

"...akan saya usahakan.

"Satu lagi."
Ibu menghela napas.
"Pekerjaanmu yang terlalu sering terpapar matahari, harus menjadi perhatianmu. Kesehatan kulit itu penting. Aset wanita juga."

"...ba...baik."

Itu sebuah perpisahan yang indah, sepanjang Tohru tahu. Semua orang menampilkan kehangatan terbaik, sebelum saling meninggalkan.

Kehangatan yang juga Tohru terima. Ketika Ibu bicara dengannya.
"Cepat buat kehamilan. Keempat-empatnya, kalau perlu."

Yah, andai memiliki anak sesederhana itu. Bukan membuat kehamilan yang jadi masalah. Karena, berani taruhan, semua orang suka proses itu.

Tapi, memiliki anak itu masalahnya. Tidak sekedar menyediakan makan, dan minum saja. Cukupnya perhatian, kasih sayang, dan kehangatan juga menjadi pekerjaan sendiri. Dan, Tohru tak tahu dengan itu semua.

"...kita, berpisah di sini."

"...!"

Perkataan barusan, membuat Tohru tersadar dari kenangan berpamitan di Bandara Nagasaki.

Sekarang, mereka berlima telah mendarat di Bandara Kansai, Osaka. Perjalanan kembali harus di tempuh menuju Kyoto, lewat darat. Bukannya tak ada bandara di sana. Tapi, tempat seperti itu di Kyoto hanya digunakan oleh pesawat non komersil saja.

"Aku harus mengurus sesuatu."

"Tung...tunggu dulu, Yoshida San. Lalu, bagaimana dengan sisa barang bawaanmu?"
Tohru mencoba mengingatkan.

Kelimanya sedang berdiri di ruang cargo. Melihat dengan seksama, mungkin saja yang berikutnya diseret oleh roda-roda berjalan itu adalah bawaan mereka.

Menanggapi pertanyaan Tohru, tidak ada reaksi apapun dari Sumire.

Perempuan itu hanya menatap lurus, tepat di kedua mata Tohru. Membuat lelaki itu gelisah. Rasanya, dia tidak salah ucap sama sekali.

Juga, sama sekali tidak paham tentang reaksi semacam itu. Oh, ayolah. Perlu pemahaman tingkat dewa untuk melihat ekspresi pada tatapan datar.

"Tidak apa-apa, Sumi."
Helaan napas terdengar dari pihak lain.
"Biar Tohru yang mengurus bawaanmu. Kau, berangkat saja."

Yukako kembali menjadi jembatan. Mengingat Sumire belum pernah berbicara lebih dari 10 kata, setelah peristiwa itu. Parahnya, sedikitnya ekspresi wajah membuat pihak lain sulit mengerti kemauannya.

Di keadaan seperti itu, masih sempat bagi Aina melempar celetukan pada Sumire.
"Cepat pergi. Yukiona."

"Aina. Jangan mulai."
Yang langsung mendapat peringatan dari Yukako.

Sumire menahan kesal di tempatnya. Terlalu membuang waktu meladeni kegilaan Aina. Lagi pula, perempuan gila adu kencang itu, sebentar lagi, bakal meninggalkan negara ini.

Dia menatap bergantian Yukako, dan Tohru.
"Terima kasih."

Semua orang masih memperhatikan Sumire. Perempuan datar itu tidak segera beranjak.

Lebih dulu dia mengambil kotak kecil dari dalam sakunya. Mengeluarkan isi, dan memakainya di jari manis sebelah kiri. Sebelum pergi tanpa berucap satu patah kata pun.

Dia menyematkan sendiri cincin itu. Paling tidak Sumire adalah perempuan pertama yang mengakui pernikahan ini.

Tohru menatap punggung Sumire yang semakin hilang. Membaur di keramaian bandara. Bagaikan suara latar pengiring, pengeras suara yang mengabari beberapa pengumuman, termasuk kedatangan, serta keberangkatan, menemani pikiran Tohru yang sangat jarang sekali berinteraksi dengan Sumire.

Strawberry MoonOnde histórias criam vida. Descubra agora