33. Kantung Hamburger

7 4 0
                                    

Satu kerat Sumire ambil sebelum mengunyah hidangannya. Tidak buruk, meski masih lebih baik buatan Hinako.

"Bagaimana. Apa rasanya cocok untuk Sumi Hime?"

Terkesiap, mendengar suara Tiba-tiba. Sejak kapan lelaki ini kembali.

Mulut perempuan itu masih sibuk mengunyah, saat suaranya berdengung, dan kepalanya mengangguk.

"Syukurlah!"
Kelihatan sekali wajah lega dari lelaki berkostum kaktus besar itu.
"Maaf, jika aku tidak terlalu banyak tahu selera Yoshida San."

Cukup!

Ini sudah kali ketiga. Tohru tidak tahu, membolak-balik panggilan dari Sumi Hime, ke Yoshida San, sama saja memelintir perasaan Sumire jadi tak karuhan.

Seketika, tatapannya menajam. Meski mendapati Tohru kebingungan mencari tempat duduk. Pihak penyelenggara sepertinya tidak menyediakan benda seperti itu banyak-banyak di sini. Mungkin berniat mengurangi pengunjung yang cuma ingin nongkrong, malas gerak.

Lelaki itu mendongak, dan mendapati tatapan tajam menghunus ke arahnya.
"...Yo...Yoshida San. Kenapa? Atau, perlu sesuatu?"

Sumire menyelesaikan kunyahan. Selera makannya surut seketika. Perempuan itu memasukkan sisa Hamburger ke dalam kantung makan, lagi.
"...Kau tahu. Apa bedanya?"

Tohru senang, Sumire lebih dulu membuka percakapan, meski sedikit tegang dengan tatapan tajamnya. Lelaki itu urung mencari kursi kosong. Bola matanya mengarah ke atas. Pikirannya terputar kembali. Mencari satu kejadian, sekecil apapun, yang berhubungan dengan pertanyaan barusan.
"Beda. Apanya?"

"Dua panggilan itu."

"Ah."
Tohru mendapat pencerahan.
"Yoshida San. Itu terasa formal, dan berjarak. Tapi, ini caraku menghargai. Sedangkan Sumi Hime. Yang satu ini, kesalahanku. Harusnya aku panggil Yoshida Hime. Tapi, panggilan itu kupikir, jauh lebih berjarak daripada Yoshida San, karena itu panggilan untuk Tuan Putri sesungguhnya. Sedangkan, Sumi Hime, paling pas kurasa. Aku tetap menghormati, sembari mendekatkan jarak."

"Lalu. Kenapa, panggilanmu berubah-ubah?"

Ketimbang pertanyaan, ini lebih terasa seperti introgasi. Hawa penekanannya begitu kuat. Sampai-sampai, keringat dingin mengalir di dahi Tohru.
"Karena, awalnya aku pikir itu hanya penguat karakter Cosplay saja. Antara Tuan Putri, dan Cactuar. Karakter kaktus ini. Selebihnya, aku kira Yoshida San, tidak suka."

Sumire mengerat erat sisi atas kantung makanannya. Satu sisi dia tak mau menghancurkan isinya. Disi inisi lain, rasa gemas ingin membuat perhitungan dengan lelaki ini, harus dicarikan pelampiasan.
"Bisa-bisanya kau membuat kesimpulan tentangku, tanpa bertanya."

"...Maafkan aku, Yoshida San."
Tekanan yang dirasa kian meningkat. Refleks, Tohru membungkuk, berkali-kali. Menghadapi Sumire, harus jeli membaca setiap simbol yang ditebar.
"Ma..maksudku, Sumi Hime."

Ibarat kata, perempuan bergaun Putri Raja itu, serupa gunung es tahan api. Perlu mukjizat melumerkan. Sekarang saja, meski tidak setajam tadi, tak ada berkas senyum di bibir.

Yah, paling tidak, sebutan Sumi Hime, sedikit, bisa melumerkan hatinya.

"Tung...tunggu. Sumi Hime, mau kemana?"
Tohru tergeragap.

Sumire, tiba-tiba bangkit. Perempuan itu sudah tidak ada alasan berlama-lama di sini. Terlebih, urusan lain sudah menanti.
"Aku, punya pekerjaan."

"Tapi. Aku belum makan."

"Nanti saja."
Sumire melangkah dengan dingin. Melewati lelaki berkostum kaktus.
"...Di mobil."

"Paradenya juga belum usai."
Membelah kerumunan untuk menyusul. Tohru meski bersinggungan dengan pengunjung lain karena ukuran kostumnya yang lumayan memakan tempat.
"Puncak acaranya, bahkan belum mulai."

Strawberry MoonWhere stories live. Discover now