Blue Star 2/2

303 28 4
                                    

"Off?! Kenapa berdiri saja di sana?"

Suara Gun menarik lurus benang kusut yang lika-liku di kepala Off, pria itu, dengan celemek coklat, sebuah kaos lengan panjang bergaris-garis, dan celana jeans biru navi, melangkah mendekati Off yang berdiri di depan pagar kedai.

"Kau sudah lama berdiri di sini?"

Off menggeleng. "Tidak juga."

"Kupikir kau tidak jadi datang."

"Kenapa?"

Gun tersenyum, tetapi bukan senyuman lebar andalannya, melirik jam di tangannya. "Sudah hampir jam tujuh malam. Aku tutup satu jam lagi. Kau bilang akan datang sore hari."

Entah hanya imajinasinya saja atau Gun memang benar-benar kecewa dibaca dari nada suaranya, Off tidak tahu, tetapi yang pasti, "Maafkan aku." Ia meminta maaf.

"Tak apa. Ayo, masuk."

Seminggu yang lalu, keramahtamahan Gun adalah sesuatu yang membuat Off merasa nyaman, tetapi sekarang ini tanpa sebab yang ia ketahui secara pasti, keramahtamahan itu meninggalkan perasaan gelisah yang nyata.

"Untukmu."

Mata Gun menatap bingung ke arah paperbag berwarna biru yang disodorkan Off kepadanya. "Ini apa?"

"Bingkisan," jawab Off.

Gun masih belum menerima benda itu. "Untuk apa?"

Gantian Off yang bingung sekarang. "Memangnya harus ada alasan untuk membawa bingkisan saat mengunjungi seorang kenalan?" Ia balik bertanya.

Sebuah senyuman tersimpul di wajah Gun, tetapi itu cukup getir, seakan enggan. "Baiklah, terima kasih banyak. Boleh nanti saja aku lihat isinya?"

"Tentu."

Paperbag itu diletakkan ke dalam bufet di bawa meja kasir, kemudian Gun menanyakan Off ingin minum menu coklat yang mana, dan jawaban pria itu adalah sama seperti yang diminumnya minggu lalu.

Ia duduk di meja dekat jendela, yang menghadap langsung ke arah taman, sehingga dari sana ia dapat melihat beberapa jenis bunga yang ada di taman itu meski tidak dapat mengklasifikasikan satu per satu karena dirinya tak banyak tahu tentang bunga.

Gun sudah selesai meracik minuman, dan dengan kehati-hatian yang sama seperti yang dapat diingat Off, dia meletakkan coklat panas itu di meja bersama dengan tatakan di bawahnya.

"Selamat menikmati."

"Bisakah kau duduk di sini juga?"

Langkah Gun tertahan saat mendengar Off bertanya. "Kenapa?"

Off memperhatikan sekitar. "Belum ada pengunjung lain lagi, aku hanya butuh teman ngobrol, nanti kalau ada pengunjung lain, kau boleh meninggalkanku."

Gun tidak menjawab apa-apa, tetapi dia menyatakan kesediaannya untuk menemani Off dengan menarik mundur kursi, kemudian duduk.

Sekarang Off bingung harus membuka obrolan dengan topik apa.

"Kau suka bunga?"

Semoga topik itu masuk akal.

"Tadinya tidak, sekarang iya."

Off menatap agak sendu. "Tadinya tidak?"

Gun mengangguk dengan kedua mata menerawang ke arah taman bunga. "Taman bunga itu milik mendiang ibuku. Kedai ini milik mendiang ayah sambungku, tadinya kedai kopi."

Sepertinya topiknya masuk akal dan akan cukup melibatkan mereka berdua dalam percakapan.

"Aku menebak kau tidak suka atau tidak bisa meracik kopi, jadi kau meracik coklat sebagai gantinya."

The Love of A Heartless ManWhere stories live. Discover now