To Kill A Mocking Bird 18/1

193 17 1
                                    

It lies not in our power to love or hate,

For will in us is overruled by fate.
When two are stripped, long ere the course begin,

We wish that one should love, the other win;

And one especially do we affect
Of two gold ingots, like in each respect:

The reason no man knows; let it suffice

What we behold is censured by our eyes.

Where both deliberate, the love is slight:

Who ever loved, that loved not at first sight?¹

"Puisi yang bagus."

Off menoleh cepat mendengar suara yang sangat dikenalinya. "Precious, sudah pulang?"

Gun berjalan masuk. "Sudah... kau menulis puisi?"

"Tidak, ini puisi Christopher Marlowe."

Gun mengecup pipi Off kanan dan kiri bergantian. "Tentang cinta pada pandangan pertama, ya?" tanyanya sembari meletakkan totebag-nya di atas sofa.

"Iya.. bagaimana kegiatanmu di sekolah hari ini?"

"Sama saja seperti hari kemarin," jawab Gun, kemudian setelah melepas sepatunya, memutuskan untuk berbaring di sofa dengan paha Off sebagai bantal. "Apa kabarmu hari ini?"

Off tersenyum. "Bosan. Aku baru saja selesai sesi terapi kelompok beberapa menit yang lalu."

"Ada cerita baru?"

"Ingat Miss Nox?"

Gun mengangguk. "Mahasiswi yang skizofrenia sepertimu juga, kan?"

Off balas mengangguk. "Dia sudah keluar rumah sakit hari ini." Ia menginformasikan.

"Really? Wah, I feel happy for her," ujar Gun.

"Aku juga mau keluar dari rumah sakit, aku tak lagi betah di sini."

Gun bangun, duduk menghadap Off. "Bersabarlah, kan baru dua bulan. Dokter bilang, masa percobaanmu adalah enam bulan, dua bulannya remisi terapi dan obat, setelahnya akan diberhentikan total untuk menguji apakah nanti kau akan episode lagi atau tidak," tuturnya.

Off menghela nafas. "Aku sudah tidak akan melihat Nirin lagi, aku sudah mengucapkan perpisahan dengannya."

Gun tersenyum, meraih tangan Off. "Kami semua percaya padamu, tetapi tetap saja kau harus mengikuti peraturan dokter," lembutnya mencoba membuat Off mengerti.

"Ya sudah."

"Lagipula, progresmu sangat baik, kau benar-benar membantu dirimu sendiri." Gun beralih memainkan rambut kekasihnya. "Berusahalah untuk betah."

"Masalahnya, Love. Berada di sini malah membuatku merasa aku berjalan di tempat, aku bertemu orang yang sama denganku, sakit jiwa," tukas Off.

"Lalu?"

Off menghela nafas lagi. "Pada akhirnya, karena kami semua sama, kami menilai diri kami ini lebih normal dibanding orang-orang yang tidak didiagnosis sakit jiwa. Pada akhirnya, kami menganggap penyakit kami bukan penyakit. Kami tidak akan terdorong untuk sembuh, malah merasa keenakan karena toh di sini kami tidak perlu melakukan apa-apa. Tidak ada tanggung jawab karena kami dinilai tidak mumpuni."

"Begitukah pendapatmu?" tanya Gun cukup terkejut dengan pola pikir kekasihnya.

"Ya, Brain," jawab Off. "Aku butuh kembali ke masyarakat sehingga aku bisa melihat orang lain yang tidak punya penyakit kejiwaan sepertiku, dengan begitu aku akan melihat perbedaan dan jadi tahu bahwa aku sakit, dan karena aku sakit, aku butuh pengobatan. Berada di sini seperti aku membentuk duniaku sendiri, dengan orang-orang yang sama, aku kemudian lupa aku orang sakit," tuturnya panjang lebar.

The Love of A Heartless ManWhere stories live. Discover now