His Dark Materials 3/2

245 29 3
                                    

Asap rokok mengepul, bersatu dengan udara dingin yang menggerogoti Denver. Dari balkon penthouse-nya, Off dapat melihat fasad beberapa enis gedung yang ada di ibu kota Colorado itu.

"Tay, kau percaya pada karma?"

Tay hampir tersedak brendinya saat mendengar pertanyaan Off yang tiba-tiba. "Kenapa kau bertanya perihal karma?"

"Tinggal jawab saja apa susahnya?"

Susah sekali bagi mereka berdua untuk berbicara tanpa berdebat. "Aku percaya, kenapa memangnya?"

Off menghisap rokoknya lagi. "Bertanya saja, aku juga percaya. Kau percaya ketika mendengar pikiranmu memberitahu kapan dirimu akan mati?"

Kadang-kadang, Off memang dapat menjadi aneh. Entah perkataannya, pun prilakunya.

"Kau bicara apa, sih?"

"Saat kau terus diingatkan kapan kematianmu tiba, kau akan percaya?"

Tay meletakkan gelas brendinya yang sudah tandas dengan kasar. "Aku tidak mengerti maksudmu, tapi kalau aku diberi kemampuan istimewa semacam itu, untuk bisa tahu kapan diriku akan mati, mungkin saja aku akan bersyukur."

Off mengernyit. "Bersyukur?"

"Ya, aku bisa mempersiapkan diri. Akan kulakukan segala yang ingin aku lakukan, jadi aku tidak mati jadi arwah penasaran karena belum melakukan keinginanku."

Tay hanya asal-asalan, sebenarnya dia tidak tahu kenapa topik semacam itu dibahas oleh orang seperti Off. Sepanjang yang dapat diingatnya, sahabatnya itu merupakan orang yang pragmatis.

Off terlalu praktis untuk mau merepotkan diri memikirkan apa yang belum terjadi, belum tentu terjadi. Apalagi untuk percaya pada pikiran-pikiran tak perlu di saat dirinya sudah cukup sibuk memikirkan hal yang jauh lebih penting, seperti kalau untuk sekarang ini, bisnisnya. Di masa kuliah dulu, pendidikannya.

Jawaban asal-asalan itu ternyata malah menjadi bahan permenungan bagi Off. "Apa yang paling ingin kau lakukan sebelum kau mati?"

Mata Tay melayangkan tatapan yang benar saja kepada Off, tetapi tidak ada salahnya untuk merespon pria yang terus-terusan merokok itu.

"Apa saja."

"Beri aku jawaban spesifik," desak Off.

Tay menuangkan lagi brendi ke dalam gelasnya. "Mengubah anglo saxon¹ di Amerika ini, jury trial² tidak perlu ada, dalam sudut pandangku, hukum Amerika masih rawan rasisme karena adanya sistem ini."

Off mendengus kesal. "Aku serius, Tay! Aku juga tahu itu bukan jawabanmu yang sesungguhnya."

Tay balas mendengus kesal. "Lagipula pertanyaanmu sangat tak berbobot. Sejak kapan kau peduli hal-hal semacam ini?" tanyanya penasaran.

"Orang dapat berubah, Tay. Itu salah satu bagian dari pragmatisme, percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah, tak selalu sama."

"Aku akan menghabiskan waktu bersama orang yang aku sayangi. Itu yang terlintas di kepalaku." Akhirnya Tay memberikan jawaban.

Jawaban yang membuat Off tepekur sesaat, tak pelak lagi dari kebisuannya, dengan alis hampir bertaut seiring dengan keningnya yang mengkerut, tanda bahwa otaknya sedang bekerja keras di balik tengkoraknya.

Distraksinya adalah bunyi notifikasi ponsel. Ia mengecek dengan dugaan itu adalah email masuk dari sekretarisnya.

"Ada apa?"

Tay bertanya karena Off tersenyum sesaat sesudah mengecek ponselnya. "Bukan apa-apa."

"Kau jarang tersenyum pada ponselmu. Jelas ada apa-apa, aku kepo," jujur Tay.

The Love of A Heartless ManWhere stories live. Discover now