And The Wind Keeps Blowing 15/1

208 20 3
                                    

Off tidak melanjutkan lukisan dari mimpinya tujuh tahun lalu, tentang salju dan lancip-lancip biru yang turun bersamaan. Mungkin itu alasan ia kembali melihat hal tersebut, dan kali ini ada hal baru dari mimpinya, yakni suatu suara yang sangat dikenalnya, membaca suatu cerita yang juga dikenalnya.

Cerita tentang seorang wartawan muda petualang yang memiliki anjing berbuluh putih, menjalankan misi mengambil sebongkah batu meteor yang jatuh di laut Arktik untuk diteliti seorang profesor freak, perjalanan itu dilakukan bersama dengan beberapa orang lainnya, termasuk seorang kapten kapal pemabuk yang memiliki sumpah serapah andalan; demi topan geledek!¹

"Nirin..."

"Uncle Off!" Nirin berseru senang. "Uncle Off sudah bangun, yeai!"

Off tersenyum, tetapi ia menyadari dirinya cukup lemah sekarang. "Nirin..."

Tiba-tiba saja si kecil itu menangis. "Maafkan aku, Uncle, aku sudah bersalah padamu. Aku minta maaf."

Off menggeleng, mengelus-elus rambut gadis yang kecil hanya kelihatan kepalanya karena tertutup ranjang rumah sakit. "Jangan minta maaf... di mana Madam Belle?"

"Madam Belle menunggu di luar, aku harus berani menghadapimu sendirian katanya, untuk meminta maaf," lirih Nirin.

Off berusaha terkekeh. "Tidak ada yang perlu dimaafkan... kemarilah."

Nirin mengangguk, meletakkan buku ceritanya, kemudian duduk di atas kursi, barulah dia terlihat lebih jelas. "Kenapa kau sampai di rumah sakit, Uncle?"

"Aku melakukan kebodohan, Nak," jawabnya. "Sebut saja aku melakukan sesuatu yang bersifat tidak menghargai hidupku sendiri."

Ia ingat dirinya mengomsumsi anti depresan dengan tujuan agar bisa segera mengakhiri penderitaannya dengan kematian. Ketika percakapan dengan Madam Belle membuatnya sadar, ia tahu itu sudah cukup terlambat karena obat itu akhirnya mulai bekerja. Hari itu puncaknya, selepas pulang lebih awal dari TPF atas saran Tay, obat itu mulai menunjukkan cara kerjanya.

Off merasa jantungnya berdebar kencang, paru-parunya seperti diperas, menghalanginya untuk bisa menghirup dan menghembuskan nafas, perutnya terasa sangat tak nyaman, membuatnya ingin muntah. Ia tertatih mencoba melangkah ke dapur untuk mengambil air, tetapi jangkauannya hanya sebatas ruang tamu penthouse, lalu ia ingat dirinya ambruk dengan menghantam sudut meja ruang tamunya.

Terakhir yang dirinya ingat adalah Blue Star yang bermekaran di glass rooom seakan setiap kelopak memiliki wajah yang tersenyum ke arahnya.

"Hope..."

Dan obat yang memang memberi efek halusinasi itu membuatnya berhalusinasi mendengar suara harapannya mengatakan, "Bawa aku bertemu Off..."

Lalu semua gelap.

"Sekarang kau menyesal?"

Suara Nirin mengubur ingatan akan kebodohan itu. Off mengangguk. "Sangat, Nak.

Nirin menghapus air matanya. "Kau tidak boleh melakukan itu lagi, Uncle. Kau tidak boleh bertindak bodoh lagi," tukasnya.

"Tidak akan, Nak." Sekarang Off akan menunggu saja sampai kematiannya datang sendiri.

"Jangan pedulikan apa pun yang aku katakan hari itu, aku hanya anak kecil, aku tidak mengerti apa-apa." Nirin berbicara lagi.

"Kau anak kecil paling cerdas yang pernah aku jumpai." Suara Off cukup lemah. "Perkataanmu ada benarnya, kok."

Nirin menggeleng. "Tidak, Uncle. Kau bukan penipu, kau tidak menipu aku dan Uncle Gun, kau tulus pada kami." Sekarang pipi tembemnya dibasahi air mata lagi.

The Love of A Heartless ManDonde viven las historias. Descúbrelo ahora