While You Were Sleeping 12/2

158 15 7
                                    

"Sialan!"

Off tidak peduli semua orang di club malam itu memandangnya seperti monster yang sedang mengamuk, ia tidak dalam kondisi yang bisa membuatnya punya kapasitas yang cukup untuk memusingkan pandangan orang lain tentangnya saat ini.

Segala yang ia lakukan adalah menyerang dengan membabi buta pria yang hampir ditindihnya.

"Bagaimana rasanya, Dik, ketika milikmu direbut?"

Off bonyok di beberapa tempat, tetapi gelap mata membuatnya lupa akan rasa sakit, karena yang ia punya hanyalah amarah.

"Kau selalu merebut apa yang seharusnya milikku sejak kecil, sekarang saat milikmu direbut, kau marah?"

Off meraih kerah pria itu. "Merebut, huh?" tanyanya meremehkan. "Kalau kau sejak awal punya sedikit saja keahlian, tidak akan ada yang direbut darimu."

Kalimat itu berhasil membalikkan keadaan, sekarang Off yang terhuyung jatuh ke belakang setelah menerima satu dorongan.

"Kau berani menghinaku sekarang?!"

Off tertawa, dan pria babak belur yang tertawa akan selalu nampak seperti seorang psikopat. "Kau terhina, Am?"

Satu tinju mendarat pada hidungnya, lalu hidung itu bereaksi dengan membuka saluran bagi cairan berwarna merah untuk mengalir deras.

"Bagaimanapun..." Am lebih babak belur dari adiknya, Off, tetapi dia masih bertenaga penuh saat ini. "...aku berhasil merebut sesuatu yang berharga bagimu, iya, kan?" Nadanya mengejek.

Ejekan selalu membuat siapa saja geram, tak terkecuali Off yang bangkit dengan brutal, lalu mendorong kakaknya hingga menabrak meja-meja di belakang mereka.

Orang-orang meringis, ketakutan, tetapi tak kunjung melerai dua orang saudara kandung yang berpotensi membunuh satu sama lain di depan mereka.

"Kalau kau memang sebegitu inginnya menyingkirkan aku sebagai penerus perusahaan, bersainglah denganku secara sehat, kalahkan aku dengan kemampuanmu, dan bukan bermain kotor seperti ini!" Suaranya membubung tinggi, Off belum pernah memakai nada itu kepada siapa pun.

Am tertawa jahat. "Mau bagaimana lagi? Sudah terlanjur."

Kenyataan itu semakin menyingkirkan kemanusiaan dalam diri Off, sekarang ia tak peduli lagi jika harus menyamakan diri seperti binatang, berakal tetapi tidak punya kesadaran akan hal itu. Ia meninju satu, dua, tiga, sampai entah berapa kali.

"Aku selalu berusaha untuk memberimu kesempatan, tetapi kau yang selalu mengasingkan aku karena kau terus memandangku sebagai rival, dan bukannya adikmu!"

"Aku memang tak sudi memandangmu sebagai adik!" Am yang sudah menerima banyak tinju itu entah bagaimana berhasil bangkit, mendorong Off dan menghentak tubuhnya ke dinding dengan keras. "Sejak kau hadir, segala sesuatunya menjadi tidak adil bagiku!"

Off menggeleng. "Itu hanya ada di imajinasimu, kita disayangi setara!"

Suara tawa Am menggelegar. "Setara katamu? Ayah melupakan aku sebagai anak pertama, dan dia hanya melihatmu sebagai satu-satunya penerus. Setara dari mananya, katakan padaku!"

"Aku tak pernah ingin jadi pebisnis!"

"Tetapi kau yang sekarang berdiri sebagai CEO dan bukan aku!"

Off mencengkram tangan Am yang mencengkram kerah bajunya terlampau kencang hingga ia tercekek dan kesulitan bernafas, bahkan urat-uratnya menonjol seakan bisa menembus kulit wajahnya yang memerah.

"Kau sudah pernah berjanji akan menolak posisi itu sehingga aku berpeluang menempatinya, tetapi kau ke Harvard, dan kembali untuk mengisinya!"

Off kian tercekek. "Kau tahu Ibu meminta padaku, dan kau tahu aku tak bisa menolak permintaannya."

The Love of A Heartless ManWhere stories live. Discover now