It's In His Kiss 8/3

204 24 6
                                    

Sudah tiga lagu.

Off memegang gelas vodkanya, memutar-mutar isinya, dengan mata berfokus pada sesosok yang bergerak bebas di bawah sana, di dance floor. Seseorang yang sampai beberapa saat lalu yakin bahwa dia berbadan kaku seperti lidi.

Mungkin maksudnya lidi pasta yang sudah direbus, sehingga menjadi begitu lembek dan mudah digerak-gerakkan. Sebab, dari apa yang Off lihat, badan itu tidak kaku sama sekali.

Kanan ke kiri, sesekali bergerak naik, dibalas turun, lalu satu putaran penuh dengan tangan terangkat. Memang gerakannya berulang-ulang seperti itu, tetapi keselarasannya dengan musik adalah yang paling meyakinkan Off bahwa Gun tidak berbadan kaku, apalagi sekaku lidi.

"Eyes speaks louder than words."

Seorang pria menginterupsi kegiatan Off yang asyik mengagumi kekasihnya yang keluar dari zona nyaman malam ini.

"Your eyes, Bro... kau sangat mencintainya, ya?"

Off tersenyum, matanya tidak teralihkan dari sosok Gun yang sepertinya tidak sadar bahwa dia sudah pada lagu ketiganya. "Never felt this strong."

"Got it... ini." Sebuah kotak berwarna biru disodorkan kepadanya. "Pesananmu cukup rumit, sulit membuatnya, tetapi karena kau meminta khusus, aku buatkan."

Off menerima dengan senyuman. "Terima kasih banyak."

"Berlian cukup sulit dibentuk, apalagi bentuk kelopak bunga... Blue Star, kan?"

Off mengangguk, membuka kotak itu, dan tersenyum puas. "Blue Star."

Temannya tersenyum. "Kapan kami menerima undangan?"

Off menutup kotak itu lagi. "Dia belum tentu menerimaku."

"Oh come on!" seru temannya. "Dia akan menerimamu. Kalau dia tidak menerimamu, aku akan sangat kecewa. Susah payah aku mendesain cincin itu, buatnya juga susah, kau pun meminta blue diamond. Itu uang yang sangat banyak."

"Money isn't my problem."

"Ah sialan! Kau tahu caranya menyombongkan diri."

Off tersenyum lagi. "Aku sedikit gugup." Matanya kembali fokus pada Gun yang semakin lupa diri di bawah sana.

"Wajar, akan sangat aneh kalau kau tidak gugup."

"Dia akan menerimaku, kan?"

"Seratus persen."

Off menunduk, menggeleng-geleng sembari tertawa. "Aku tidak pernah berpikir hatiku—"

Pundaknya disentuh. "Le cœur a ses raisons que la raison ne connaît point."¹ (The heart has its reasons, which reason doesn't know)

Off mengangguk. "Pendapat itu belum pernah terasa sangat masuk akal sampai aku merasakannya sendiri sekarang. Pikirku cinta dapat dikaji secara ilmiah, jadi akan ada penjelasannya."

"Omong kosong," tanggap pria bermata biru pucat di sebelahnya. "Selain Tuhan, cinta itu juga sesuatu yang transenden. Tidak ada manusia, sejenius apa pun mereka, yang bisa menjelaskan soal cinta. Mulai dari para filosof seperti Plato, Aristoteles, Socrates, dan lain-lain, hingga para pakar psikologi seperti Freud, Lacan, Fromm, dan lain-lain. Aku tidak berpikir kajian mereka perihal manusia dan segala yang bisa dirasanya, terutama cinta, itu seratus persen masuk akal dan berlaku universal. Kita manusia terlalu misteri dan istimewa untuk bisa dinalar menggunakan ilmu pengetahuan."

"Kita tidak boleh berpura-pura memahami dunia hanya dengan kecerdasan; kita memahaminya dengan perasaan. Oleh karena itu, penilaian intelek, paling-paling, hanya setengah dari kebenaran, dan jika jujur, harus juga sampai pada pemahaman akan kekurangannya."

The Love of A Heartless ManOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz