His Dark Materials 3/3

230 29 5
                                    

"Ke mana perginya adikku itu?"

Gun menggeliat, gusar di dalam mobilnya, berkali-kali menengok ke arah Paradise, sebuah bar terkenal yang tak pernah sepi pengunjung, yang beberapa bulan lalu ia kunjungi bersama New—lebih tepatnya diseret paksa masuk ke sana.

Sebelumnya, mengenai mengapa Gun ada di depan bar itu adalah karena Pim dua hari yang lalu meminta izin untuk ikut merayakan ulang tahun teman kuliahnya di bar tersebut. Gun memberi izin dengan syarat ia akan menjemput adiknya itu tepat jam sebelas malam.

Dan sekarang,

"Sudah jam sebelas lewat sepuluh menit, dia belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Pim, kau membuatku cemas."

Bagaimana jika Pim mabuk? Orang mabuk sangat rentan.

"Ponselnya juga tidak aktif." Hal yang paling menggelisahkan.

Gun enggan masuk kembali ke dalam tempat yang adalah lautan manusia itu, dengan musik gegap gempita yang dipercayanya dapat membuat copot jantung. Namun, keengganannya tidak lebih penting dari sang adik.

Sepersekian menit, ia sudah berada di dalam bar itu, persis seperti dugaannya, manusia berkerumun bagai semut berebut permen tanpa pembungkus.

"Di mana adikku itu?"

Matanya kanan-kiri menengok, mencari-cari adiknya di antar banyaknya manusia di sana, bergerak-gerak bagai cacing kepanasan. Memang mereka agaknya kepanasan, tidak ada satu pun yang memakai baju hangat padahal sedang musim dingin.

Nihil.

"Pim, kau di mana?"

Gun turun ke lantai bawah, tempat orang-orang meliuk-liuk mengikuti bagaimana musik membuai saraf mereka. Badannya sangat kecil sampai-sampai tenggelam dan sesekali terjepit, syukurnya tidak terinjak.

"Well, kau nampak seperti bocah, badanmu mungil sekali."

Kaki Gun berhenti menyeret-nyeretnya. "Demi semesta ini, Gun, punya malulah sedikit. Kenapa kau malah mengingat perkataan pria itu?"

Gun memarahi dirinya sendiri, dirinya memang patut dimarahi.

"Fokuslah pada Pim, adikmu tidak tahu keadaannya sekarang bagaimana, kau tidak punya waktu mengingat seseorang yang bahkan tidak mengingatmu."

"Alone, huh?"

Gun mendongak melihat pria berbadan perkasa dan tinggi di hadapannya. "Kau berbicara padaku, Sir?"

Pria itu mengangguk. "Ya, aku melihatmu seperti kebingungan dan tersesat di sini. Butuh ditemani?"

Pria itu bukan orang Amerika, itulah yang Gun simpulkan dari dialegnya. Dia pasti orang Italia. Kenapa Gun menduga begitu? Dialeg pria itu seperti dialeg pembalap kesukaan Gun, Rossi.

"Tidak masalah, Sir. Aku lebih baik sendirian saja, terima kasih atas kemurahan hatimu." Sopan Gun menolak pria yang menatapnya dengan tatapan I'm so gay and I think I want you tonight.

Gun mesti cepat-cepat mengakhiri urusan dengan pria itu, berbahaya sekali.

"Can you please excuse me?"

Syukurlah pria itu bukan tipe yang suka memaksa, karena setelah Gun meminta diri untuk pergi, dia mengizinkan saja, meski ada raut terhina karena ditolak.

"Pim, kau bahkan sudah membuat aku hampir dikarungi pria mabuk!"

Pria tadi jelas mabuk, dari aroma minuman yang tak bisa Gun identifikasi menyeruak menusuk indra penciuman, dari merah padam wajahnya, dari kantuk di matanya, dia jelas mabuk.

The Love of A Heartless ManWhere stories live. Discover now